J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Regulasi di Indonesia dinilai belum kuat untuk melindungi anak-anak dari terpaan iklan rokok di internet. Pelarangan perlu dilakukan untuk mencegah kenaikan prevalensi perokok anak yang dikhawatirkan dapat mencapai 15 persen pada 2030.
Kementerian Kesehatan tengah menyusun rancangan peraturan pemerintah yang akan mengatur iklan, promosi dan kegiatan sponsor produk rokok di media daring (online) sebagai upaya menekan prevalensi perokok anak.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan pengaturan itu meliputi pelarangan iklan rokok di media teknologi informasi atau internet, pengendalian iklan di media cetak, media penyiaran dan media luar ruang.
Selain itu, produsen rokok akan dilarang mensponsori kegiatan yang melibatkan masyarakat umum, seperti kegiatan sosial, olahraga, pendidikan dan musik.
Eva mengatakan peraturan pemerintah (PP) yang ada terkait kesehatan akan dicabut dan diintegrasikan ke dalam PP Kesehatan yang baru.
“Di sini kita akan mencoba dan sudah membuat rancangan terkait hal-hal yang ingin kita atur. Yang terpenting untuk merokok anak ini,” kata Eva Susanti dalam webinar Lingkungan Aman dan Jiwa Sehat untuk Anak Indonesia, Selasa (18/7/2023).
Rancangan peraturan pemerintah tentang pengaturan promosi rokok diharapkan bisa menurunkan prevalensi perokok anak-anak di Indonesia dengan mengendalikan iklan, promosi, dan kegiatan sponsor rokok di internet.
Iklan Rokok di Internet
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi perokok anak usia 10 hingga 18 tahun pada 2018 mencapai 3,2 juta anak (9,1 persen) atau dua kali lebih tinggi dari target penurunan 5,4 persen yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Tren ini diprediksi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan meningkat terus mencapai 15 persen atau 15,8 juta anak pada 2030 tanpa ada komitmen dan regulasi yang kuat untuk mencegah perokok anak
“Survei menyatakan bahwa iklan promosi merupakan yang paling banyak digunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab sehingga terjadinya peningkatan prevalensi merokok pada usia pemula. Jadi ini yang harus kita bentengi,” papar Eva
Menurut Eva, pihak pemasang iklan sudah secara masif memasang iklan rokok di media daring yang sering diakses oleh remaja yakni YouTube, Instagram dan website berita.
Remaja yang tidak merokok memiliki kemungkinan untuk merokok setelah melihat iklan rokok di media online, sedangkan remaja yang merokok akan tetap merokok setelah melihat iklan tersebut.
Merujuk hasil survei London School of Public Relation (LSPR) Jakarta pada November 2018, tiga dari empat remaja mengetahui iklan rokok di media online. Sebanyak 47 persen remaja mengatakan bahwa iklan rokok sangat kreatif. Selanjutnya 44,5 persen remaja mengetahui pesan yang ada pada iklan rokok.
“Remaja mengetahui sebenarnya pesan iklan rokok, dan ada 11 persen remaja tertarik pada iklan rokok dan 12,1 persen cenderung menikmati tayangan iklan rokok tersebut,” jelas Eva.
Peran Keluarga dan Masyarakat
Research and Communicative Officer Yayasan Lentera Anak, Umniyati Kowi mengatakan regulasi yang dimiliki Indonesia seperti Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang PERS dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 baru sebatas mengatur, dan tidak melarang iklan, promosi dan kegiatan sponsor rokok.
Ditambah lagi, kata Umniyati, Omnibus Law Undang-Undang Kesehatan yang disahkan pada 11 Juli lalu tidak mencantumkan pasal-pasal yang mengatur tentang pelarangan iklan, promosi dan sponsorship rokok. Akibat lemahnya regulasi, masalah rokok di Indonesia, yang sudah rumit, makin pelik dan kompleks.
Menurutnya, di tengah kondisi regulasi yang lemah saat ini, masyarakat berperan dengan mendesak pemerintah agar memperkuat regulasi pelarangan iklan rokok. Selain itu masyarakat dapat membuat jaring pengaman dalam kehidupan sehari-hari dengan budaya menegur anak merokok serta tidak menjual rokok kepada anak.
“Di sini lah peran keluarga dan masyarakat di mana kita sudah harus mulai dari keluarga itu sendiri untuk mulai tidak merokok di depan anak. Untuk tidak mulai merokok seutuhnya sehingga anak-anak, yang peniru paling baik itu, tidak akan meniru kebiasaan merokok dari orang tuanya,” imbau Umniyati Kowi.
Umniyati menambahkan berdasarkan laporan sensus penduduk Badan Pusat Statistik 2020, rokok adalah pengeluaran terbesar kedua di kalangan keluarga miskin di Indonesia
Laporan Tobacco Atlas Seatca 2019 juga menemukan belanja rokok per tahun keluarga miskin di Indonesia pada 2013 mencapai dua kali lebih besar dari pengeluaran untuk membeli sayur dan ikan; enam kali lebih besar dari pengeluaran untuk membeli susu dan telur; tujuh kali lebih besar dari pengeluaran untuk Pendidikan; dan 11 kali lebih besar dari pengeluaran untuk kesehatan.
Anak dari keluarga miskin yang perokok berpotensi menderita tengkes (stunting), putus sekolah dan tidak bisa mengakses layanan kesehatan.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah