Kisah Perbudakan Modern di Indonesia, Jutaan PRT Bekerja Tanpa Perlindungan Hukum

Sejumlah PRT melakukan aksi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (24/7/2023) sore sebelum sidang putusan PRT korban kekerasan, Siti Khotimah dimulai. (Foto: VOA/Indra Yoga)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Ada indikasi kuat Indonesia masih mengamini praktik perbudakan modern. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga yang sedianya melindungi hampir lima juta pekerja rumah tangga, mandek di DPR selama hampir dua dekade. Sementara pengadilan yang mengadili kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga kerap menjatuhkan sanksi ringan yang tidak sebanding dengan dampak permanen yang ditimbulkan pada pekerja.

Siti Khotimah, perempuan berusia 23 tahun asal Pemalang, Jawa Tengah, tidak lagi dapat berkata-kata. Sambil menangis ia tertatih-tatih keluar dari ruang sidang tak lama setelah hakim Tumpanuli Marbun membacakan putusannya dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Senin sore (24/7). Luka di kaki kirinya belum lagi sembuh, kini hatinya berdarah.

Hakim memvonis Metty Kapantow (70 tahun) dengan hukuman empat tahun penjara, sementara suaminya, So Kasander (73 tahun) dan putri mereka, Jane Sander (33 tahun) divonis 3,5 tahun penjara.

Satu pekerja rumah tangga bernama Evi (35 tahun) juga divonis empat tahun penjara. Enam pekerja rumah tangga lainnya, yaitu: Sutriyah (25 tahun), Saodah (49 tahun), Inda Yanti (38 tahun), Febriana Amelia (20 tahun) dan Pariyah (31 tahun) divonis 3,5 tahun penjara.

Sebelum vonis dijatuhkan, pihak kuasa hukum tersangka memberikan uang tunai sebesar Rp 200 juta kepada Suparna, ayah Siti Khotimah. Uang bantuan ini di luar ganti rugi atau restitusi Rp 275 juta sebelumnya yang masih berada di pengadilan.

Pemberian ganti rugi ini menjadi salah satu faktor pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman para terdakwa, selain faktor usia lanjut, belum pernah dihukum sebelumnya dan telah menyesali perbuatannya.

Indikasi Kuat Perbudakan Modern

Vonis ringan terhadap terdakwa pelaku kekerasan pada pekerja rumah tangga, dengan berbagai pertimbangan hakim, dan mandeknya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) selama hampir dua dekade di DPR, menjadi indikasi kuat masih terus berlangsungnya perbudakan modern di Indonesia.

Ketua JALA PRT Lita Anggraini, yang puluhan tahun mendampingi berbagai kasus hukum yang menjerat pekerja rumah tangga dan 19 tahun terakhir ini aktif memperjuangkan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT di DPR, melihat indikasi kuat itu.

“Siti Khotimah tidak sendiri. Kami di JALA PRT setiap hari mendapat pengaduan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Yang terbaru kami terima adalah tuduhan merusak tas mahal, yang membuat pekerja dipaksa bekerja tanpa gaji selama empat tahun. Apa namanya ini jika bukan perbudakan?,” tanya Lita.

Ia juga merujuk peristiwa yang secara terang-terangan terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari Senin, ketika kuasa hukum terdakwa memberikan apa yang disebut sebagai “dana bantuan” pada keluarga Siti Khotimah.

“Ini jelas bukan dana bantuan, bukan ganti rugi, bukan restorative justice. Orang yang memiliki kuasa dan aset besar dapat berlaku semena-mena, dan ketika terjerat hukum, ia memberikan sejumlah uang untuk meringankan hukumannya. Ini yang ada dalam kasus-kasus perbudakan dulu, dan kini terulang,” tegasnya.

Anggota DPR dari fraksi Partai Nasdem Willy Aditya memahami kemarahan publik dan menilai “dengan adanya persamaan kondisi itu boleh saja masyarakat menamai hal ini sebagai perbudakan modern. Walaupun dua kata itu berlawanan. Modernitas tidak memberi ruang bagi ekspresi perbudakan. Tetapi tidak adanya aturan hukum yang melindungi pekerja rumah tangga dan kondisi tidak manusiawi yang terus dialami, memang menjadi penanda tidak adanya modernitas.”

Luluk Nur Hamidah: Kita Gagal Melindungi Pekerja Rumah Tangga

Luluk Nur Hamidah dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa PKB bahkan secara terang-terangan minta semua pihak mengakui bahwa memang perbudakan modern masih ada di Indonesia.

“Saya kira kita harus mengakui hal itu! Bagi saya memang ini sangat memalukan, tapi kita harus mengatakan bahwa kita memang masih gagal melindungi sebagian kelompok kerja yang sama sekali tidak ada pengaturan dan perlindungan. Padahal tidak ada hubungan kerja yang tidak ada pengaturan. Jika tidak ada pengaturan, ya berarti perbudakan,” komentarnya.

Lebih jauh Luluk mengatakan “ironisnya kita ini negara merdeka, yang tahun ini bahkan sedang memimpin ASEAN, dan tahun lalu G20, tapi kita membiarkan lima juta pekerja rumah tangga tanpa pengaturan dan perlindungan.”

Kedua anggota DPR ini mengatakan putusan ringan dalam kasus Siti Khotimah ini sedianya menjadi “wake up call” untuk kembali memperkuat upaya mengesahkan RUU PPRT.

Titik Terang Setelah Hampir 20 Tahun

Selama hampir 20 tahun, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang diyakini dapat mencegah segala bentuk eksploitasi, diskriminasi, kekerasan dan pelecehan terhadap pekerja rumah tangga yang jumlahnya saat ini mencapai 4,2 juta orang, tertahan di DPR.

RUU yang bertujuan melindungi pekerja rumah tangga dan menciptakan hubungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan itu pertama kali diajukan ke DPR tahun 2004. Ketika itu DPR dipimpin oleh Agung Laksono dari fraksi Partai Golkar. Setelah delapan kali pergantian ketua DPR dari beragam partai, dan keluar masuk dari daftar Program Legislasi Nasional, RUU PPRT mulai menemukan titik terang saat rapat paripurna DPR pada 21 Maret lalu sepakat menetapkannya sebagai RUU Inisiatif DPR.

Netty Prasetiyani dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyebut hal itu sebagai “kado terindah selama 19 tahun menantikan instrumen perlindungan hukum atas keberadaan mereka.”

Pemerintah bergerak cepat. Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menggelar sejumlah pembahasan dan pada pertengahan Mei berhasil menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU PPRT yang mencapai 367 poin. Saat menghadiri Rapat Koordinasi Percepatan Pengesahan RUU PPRT di Jakarta pada 15 Mei lalu, Ida merinci bagian-bagian RUU yang diajukan itu.

“Bab I berisi ketentuan umum, Bab II berisi asas dan tujuan, yaitu untuk perlidungan PRT dalam mencegah segala bentuk kekerasan. Bab III berisi perekrutan dan lingkup pekerjaan kerumahtanggaan, Bab IV tentang hubungan kerja, Bab V tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan Bab VI tentang peningkatan ketrampilan dan keahlian, Bab VII tentang Perusahaan Penempatan Pekerja Rumah Tangga, Bab VIII berisi pembinaan dan pengawasan, Bab IX tentang penyelesaian perselisihan. Bagian-bagian lain berisi ketenuan pidana, peralihan dan penutup,” jelasnya.

Kembali Senyap

Sejak penyerahan DIM itu, RUU PPRT kembali bak ditelan bumi. Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR yang juga anggota fraksi Partai Nasdem, Willy Aditya, mengatakan DIM RUU PPRT yang telah diserahkan pemerintah untuk dibahas bersama DPR “sampai saat ini di tangan Ketua DPR Puan Maharani. Belum masuk Badan Musyawarah.”

Tidak banyak anggota DPR atau tokoh-tokoh politik menaruh perhatian serius pada RUU ini. Selain karena isu ini bukan sesuatu yang menarik dan dapat membuat mereka mendulang suara dalam pemilu 2024 nanti, para politisi ini tampaknya juga mempekerjakan seorang atau lebih pekerja rumah tangga di rumah mereka – sebagaimana sebagian besar rumah tangga di Indonesia – dan menikmati situasi tanpa aturan hukum tentang hak dan kewajiban mereka.

Ketua DPR Puan Maharani hampir tidak pernah memberi pandangan tentang RUU PPRT ini. Hanya pada bulan Januari lalu, Puan menunjukkan keengganannya untuk mengesahkan RUU itu dengan alasan masih perlu membahas substansi dan menerima masukan dari berbagai pihak.

“Sejak awal periode (DPR) sekarang ini, kami mengedepankan untuk bisa melaksanakan pembahasan undang-undang itu secara berkualitas, tidak terburu-buru. Berkualitas daripada kuantitas dan ini tentu saja dengan membuka ruang seluas-luasnya untuk bisa menerima masukan dari publik dan elemen bangsa lebih dulu,” ujar Puan kepada wartawan di DPR pada 19 Januari lalu.

VOA berupaya keras untuk mewawancarai Puan Maharani, baik dengan mengirim surat ke Sekretariat DPR, menghubungi sejumlah orang dekat dan pembantu pribadi, hingga terbang langsung ke Jakarta. Semuanya tidak membuahkan hasil.

Pekerja Rumah Tangga dan Aktivis Siap Mogok Makan

Ratusan pekerja rumah tangga telah melakukan berbagai hal untuk terus menghidupkan kampanye urgensi RUU PPRT. Mulai dari menghadiri sidang-sidang dengar pendapat di DPR, unjuk rasa di depan gerbang DPR sambil membawa peralatan rumah tangga dan kain lap dapur, istigotsah hingga mengirim surat kepada Ketua DPR Puan Maharani.

Sebagian di antaranya mengatakan kepada VOA bahwa mereka siap mogok makan pada pertengahan Agustus nanti, menjelang dibukanya masa sidang DPR dan sekaligus merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-78 pada 17 Agustus nanti.

Lita Anggraini di JALA PRT mengatakan “mogok makan ini tidak saja merupakan simbol rasa lapar para pekerja rumah tangga yang tidak diberi makan majikannya, tetapi juga menjadi cara terakhir kami untuk mendapat perhatian serius para anggota DPR agar segera meloloskan RUU PPRT ini dan tidak membiarkan perbudakan modern ini berlanjut.”

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah