Menlu Akui Krisis Myanmar Masih Jadi PR Besar ASEAN untuk Diselesaikan

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi (kanan) berbincang dengan Sekjen ASEAN Kao Kim Hourn dalam pertemuan ke-34 Dewan Koordinasi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN Coordinating Council), Jakarta, Senin, 4 September 2023. (Foto:Willy Kurniawan/Pool Photo via AP)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-43 yang akan diselenggarakan mulai besok, 5 September hingga 7 September, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengakui bahwa konflik Myanmar masih menjadi salah satu pekerjaan rumah (PR) terbesar untuk diselesaikan oleh ASEAN.

Menlu Retno menyampaikan hal itu dalam pidatonya ketika membuka ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) Foreign Ministers Meeting (AMM) di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Senin (4/9/2023).

Menurutnya, Indonesia yang saat ini memegang keketuan telah bekerja keras untuk mendorong solusi ASEAN yang bersatu. ASEAN, tegas Retno, hanya akan bisa maju dengan kekuatan penuh, apabila kelak bisa memastikan adanya solusi yang damai dan jangka panjang di Myanmar.

“Sebagaimana diamanatkan oleh para pemimpin, kami akan melakukan tinjauan komprehensif terhadap penerapan 5PC (point consensus) dan menyiapkan rekomendasi untuk pertimbangan para pemimpin kami,” ungkap Retno.

Lebih jauh, Retno menyatakan bahwa saat ini kawasan dihadapkan kepada berbagai situasi yang sulit. Meski begitu, ia menegaskan hal tersebut jangan sampai mempengaruhi kerja keras mereka pada KTT ASEAN mendatang.

“Mata masyarakat tertuju pada kita untuk membuktikan bahwa ASEAN masih penting dan dapat berkontribusi terhadap perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan,” tuturnya.

Selama sembilan bulan terakhir, kata Retno, pihaknya telah bekerja keras untuk mencapai kemajuan dalam upaya pembangunan komunitas ASEAN. Pihaknya juga telah mempersiapkan landasan yang kuat untuk menuju visi Komunitas ASEAN 2045 dalam ASEAN Concord IV.

“Kami terus memimpin dalam membentuk dinamika regional dan memastikan kawasan Indo-Pasifik yang damai dan inklusif,” tambahnya.

Selain itu, Retno pun menyoroti semakin banyaknya negara yang mengakses Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) dan menjadi mitra ASEAN. ASEAN, katanya juga akan menandatangani kerja sama antarsekretariat dengan Asosiasi Negara Lingkar Samudera Hindia (Indian Ocean Rim Association/IORA) dan Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Island Forum/PIF).

“Hal ini menunjukkan kekuatan ASEAN dalam menyatukan norma-norma dan nilai-nilai ASEAN,” tegasnya.

Apakah ASEAN Masih Relevan?

Pertanyaan apakah ASEAN masih relevan pun mencuat ketika konflik dalam negeri Myanmar tidak terselesaikan dalam tiga kepemimpinan Ketua ASEAN sebelumnya, yakni Kamboja, Brunei Darussalam dan Indonesia saat ini.

Pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pandu Prayoga, menilai bahwa relevansi dan kredibilitas ASEAN dalam konteks Myanmar akan dipertanyakan mengingat belum ada penyelesaian konflik di negara tersebut.

“Masih (relevan), dalam aspek diplomasi multilateral, politik keamanan, lalu aspek ekonomi, dan social cultural, tetapi dalam aspek Myanmar, ASEAN harus bekerja keras. ASEAN bisa kehilangan kredibilitasnya bahwa ASEAN ternyata tidak sentral-sentral sekali. Tidak terlalu dianggap oleh anggotanya sendiri,” ungkap Pandu.

Menurutnya, Indonesia sebagai Ketua ASEAN saat ini bukan hanya harus memperkuat kesatuan tetapi juga harus membuat sentralitas. Dalam penelitian BRIN, bukan hanya sekedar sentralitas hubungan ASEAN dengan negara-negara mitra, tetapi ASEAN di mata negara anggotanya sendiri.

“Kita secara bulat ASEAN (menyepakati adanya) 5PC, tetapi kenapa negara anggotanya tidak menerapkan terutama Myanmar. Artinya apa? ASEAN tidak sentral-sentral amat bagi negara anggota. Ini yang perlu menjadi evaluasi secara menyeluruh pada KTT ini,” jelasnya.

Jadi, meski sentralitas dikenal sebagai hubungan negara anggota ASEAN dengan negara mitra, peran ASEAN bagi negara-negara anggotanya sendiri belum pernah dibicarakan, imbuh Pandu.

Pandu menambahkan, seharusnya Indonesia sebagai Ketua ASEAN kali ini bisa mengambil langkah lain untuk menyelesaikan konflik Myanmar tersebu, yaitu dengan cara mengundang junta militer Myanmar dalam pertemuan informal.

“Bagaimana kita bisa mengevaluasi kinerja dari junta dalam menerapkan 5PC kalau kita tidak pernah undang mereka untuk evaluasi? Ini kan persoalan. Jadi undang mereka, entah itu di luar Indonesia, ataupun paling penting di luar Myanmar, untuk menanyakan apa kendalanya sehingga 5PC tidak dijalankan,” jelasnya.

Selain itu, kata Pandu, dalam jalur informal tersebut ASEAN harus menyepakati siapa yang ditunjuk untuk menjadi utusan khusus (special envoy) dari ASEAN untuk bisa berdiskusi dengan pihak Myanmar.

“Jadi ketika misalnya Thailand berinisiatif mengundang pihak junta secara informal itu seharusnya dalam kerangka ASEAN dan disetujui oleh Indonesia. Tapi, dalam pertemuan informal yang dilaksanakan oleh Thailand, Indonesia diundang tapi tidak datang. Mungkin sakit hati karena dilangkahi, kenapa tiba-tiba Thailand mengundang. Seharusnya ada koordinasi dengan pihak Indonesia,” jelasnya.

Menurut Pandu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh karena ASEAN, terutama Menlu Retno terlalu fokus pada perannya sebagai Ketua ASEAN dan sebagai utusan khusus atau special envoy. Dari awal kepemimpinan, Indonesia seharusnya sudah menyertakan pemangku kepentingan lain, misalnya, China dan India yang wilayahnya berbatasan dengan Myanmar.

“Kemudian jangan hanya Menlu, tapi sertakan dari militer Indonesia untuk berhubungan dengan kelompok militer dari Myanmar dan sebagainya,” pungkasnya.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah