J5NEWSROOM.COM, New Delhi – Gedung Putih menyebut penyelenggaraan KTT G20 tahun ini sebagai sebuah keberhasilan, dengan mengatakan bahwa komunike akhir pertemuan itu berisi “sejumlah paragraf penting” mengenai perang di Ukraina, meskipun Presiden Rusia dan China tak menghadiri pertemuan tersebut.
Persatuan menjadi tujuan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20 tahun ini dan para pemimpin negara-negara anggota kelompok itu mengaku telah berhasil mencapainya. Mereka bersama-sama menyerukan “perdamaian yang komprehensif, adil dan bertahan lama di Ukraina,” namun tidak menyebut Rusia sebagai agresor. Kelompok itu juga sepakat, penggunaan senjata nuklir “tidak dapat diterima.”
Profesor John Kirton, yang mengepalai Kelompok Riset G20 di University of Toronto, berbicara kepada VOA melalui Zoom di sela-sela konferensi.
“Dengan menghilangkan kata Rusia dan agresi, mereka tidak mempermalukan Putin, dan kini tinggal menunggu apakah ia akan membalasnya dengan melakukan apa yang semua anggota G20 – kecuali dirinya – sepakati, yaitu keluar dari seluruh wilayah Ukraina,” ujar Kirton.
Pada awal KTT, Perdana Menteri India Narendra Modi – yang memegang presidensi G20 tahun ini – mendesak tercapainya konsensus.
“Hari ini, sebagai presiden G20, India mengajak seluruh dunia untuk terlebih dahulu mengubah defisit kepercayaan global ini menjadi keyakinan, ini saatnya bagi kita semua untuk bergerak bersama,” kata Modi.
Kesepakatan yang mencakup banyak hal itu, dari perdagangan, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, perubahan iklim, reformasi lembaga multilateral, teknologi, perpajakan, kesetaraan gender dan lain sebagainya, tercapai pada hari pertama pertemuan, meskipun Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping tidak hadir. Keduanya diwakili oleh pejabat senior.
Dorongan Washington untuk mendukung Ukraina bergantung pada dampak ekonomi yang signifikan dari konflik tersebut, kata Gedung Putih kepada VOA.
John Kirby, koordinator Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, berbicara kepada VOA di sela-sela KTT di New Delhi. “Perang di Ukraina telah memberikan tekanan besar pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam hal ketahanan pangan, ketahanan energi, tekanan inflasi. Anda tidak dapat mengabaikan dampak perang yang disebabkan Putin terhadap perekonomian global. Apa yang ingin dicapai Presiden (Biden) – dan ia akan secara khusus menyebut perang di Ukraina dalam upayanya – adalah kesempatan bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ini untuk dapat memperoleh peluang investasi dan pinjaman untuk pembangunan infrastruktur yang berkualitas tinggi, transparan dan akan benar-benar memenuhi kebutuhan lokal mereka sebaik mungkin.”
Namun John Kirton menganggap para pemimpin 20 ekonomi terbesar dunia itu dapat bersikap jauh lebih tegas, khususnya menyangkut masalah perubahan iklim.
“Kita hidup di dunia yang dipenuhi pertemuan tingkat tinggi, ada G20, G7. Ada empat KTT PBB lagi di New York dalam beberapa minggu ke depan, Joe Biden juga sedang merencanakan KTT masa depan pada tahun depan. Tapi apa gunanya jika Anda hanya membuat komunike-komunike yang manis, janji-janji manis seperti ‘kami berkomitmen,’ ‘kami setuju,’ tapi tidak ada hasilnya begitu para pemimpin negara ini pulang?,” tanya Kirton.
Sebelum kembali ke AS untuk memperingati 22 tahun peristiwa 11 September yang kelam, dalam kunjungannya ke Vietnam, Presiden Joe Biden memperkuat hubungan AS dengan negara Asia Tenggara yang bersengketa di Laut China Selatan itu.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah