J5NEWSROOM.COM, Pekanbaru – “Pemerintah yang berlagak seperti Raja mustahil untuk diadili ketika dinilai melakukan kejahatan. Kasus di Pulau Rempang, Kepulaaun Riau adalah contohnya”, demikian penjelasan, Dr. Muchid Albintani yang dikemukakan dalam diskusi webinar dengan tema, “Kejahatan Pemerintah di Rempang: Siapa yang Mengadili?” yang diselenggarakan Akademia Noto Negoro, Selasa (26/9/2023).
Dosen Prodi Doktor Administrasi Publik Unri ini menambahkan jika karakter atau lagak Raja terjadi ketika empat pilar demokrasi, eksekutif, legislatif, yudikatif dan media pers terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif presiden sebagai kepala pemerintahan juga negara.
“Tiga pilar demokrasi terserap ke dalam kekuatan kuasa eksekutif. Dampaknya sistem demokrasi yang menghendaki keseimbangan menjadi hilang. Presiden bak Raja. Tidak ada oposisi ”, jelasnya.
Dalam kesempatan itu pula, mantan koresponden majalah Tempo di Malaysia ini mengingatkan ihwal persoalan di Rempang, perlunya mengubah cara pandang terkait istilah investasi, khususnya asing. Alumni Universitas Kebangsaan Malaysia ini mengatakan, jika investasi asing itu harus diwaspadai.
Menurutnya, dalam investasi asing selalu mengandung unsur: invasi, infiltrasi, intervensi, intimidasi, dan inflasi. Lebih lanjut katanya, mewaspadai bukan berarti anti investasi asing, melainkan menjaga agar investasi tidak merugikan negara apalagi masyarakat tempatan.
Pembicara lainnya, Prof. Abdul Malik menceramti kasus Rempang diulas dalam sudut pandang sejarah perjuangan masyrakat Rempang-Galang. Dia menjelaskann jika pada masa Kesultanan Rempang (1400-1526), orang Rempang-Galang menjadi terkenal sejak kesultanan Melayu Melaka.
Mereka, katanya, merupakan prajurit yang gagah berani dari Laksemana Hang Tuah dan selanjutnya Hang Nadim. “Mereka menjadi prajurit-prajurit kesayangan dan kebanggaan Sultan-Sultan Melayu,” tambah Malik.
Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji ini menjelaskan bahwa, Melayu Rempang pada masa Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1528-1824),pada masa itu menjadi Pasukan Pertikaman atau Prajurit Terdepan dalam perang Riau I melawan Belanda (1782-1784) yang dipimpin YDM IV Raja Haji (Pahlawan Nasional RI 1997). “Perang yang berakhir 6 Januari 1784 itu, dimenangi oleh Kesultanan Riau Lingga,“ jelasnya.
Mengulas realitas kesejarahan akan jasa dan keberadaan orang-orang di Pulau Rempang, alumni Universiti Sultan Idris Malaysia itu mengatakan, jika pemerintah dalam mengembangkan proyek strategis nasional perlu memahami sejarah penduduk asli Rempang. “Mereka, penduduk asli yang sejatinya adalah warga negara Indonesia yang berjasa”, Abdul Malik mengingatkan.
Sementara itu, pembicara lainnya, Ustadz Yusuf Muhammad Martak, menjelaskan jika pemerintah terlebih dahulu harus memperhatikan penduduk lokal sebelum mengundang investasi asing. Dalam kaitannya dengan investasi di Rempang ini yang menjadi tanda tanya adalah, mengapa harus satau pulau dan pulau itu kenapa harus dikosongkan,” tanyanya.
Lebih lanjut dia menegaskan, agar masyarakat memantau terus perkembangan kasus di Pulau Rempang. “Ini agar jangan sampai merugikan Indonesia khsususnya penduduk di kampong tua yang sudah ada sebelum Indonesia ada”, jelasnya.
Diskusi publik webinar yang rutin dilakukan Akademia Noto Negro ini diikuti kurang lebih dua ratus lima puluhan peserta yang berasal dari berbagai kalangan. Akademia Noto Negoro adalah perkumpulan sarjana dan praktisi dari berbagai bidang keahlian yang semula dipertemukan dalam WAG “Noto Negoro”.
Akademmi yang dibuat untuk sarana komunikasi para peserta webinar yang diselenggarakan oleh AsIAN (Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara) sejak Mei 2020 lalu tidak lama setelah pandemi Covid-19.
Kegiatan diskusi Publik webinar ini dipandu oleh moderator Sofyan Hadi, MSi dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip Unri. Diakhir acara sebagai penutup, Sofyan menjelaskan bahwa diskusi rutin akan terus dilakukan dengan mengusung tema-tema dan isu-isu terbaru yang aktual.
Editor: Agung