Catatan Wina Armada Sukardi dari Kongres PWI Bandung 25-27 September 2023 (Bagian 2)

Wartawan senior Indonesia, Wina Armasa Sukardi. (Foto: Net)

HANYA DK (Dewan Kehormatan) yang memiliki kewenangan yudikatif, atau memeriksa dan memutuskan perkara. Tak ada lembaga atau perorangan lain yang boleh melaksanakan kewenangan DK. Keunggulan wewenang DK tujuannya agar tetap tercipta tertib hukum dan kepastian hukum.

Demikian pula agar tercipta ketertiban dalam kepastian hukum, keputusan DK harus efektif. Tak boleh diganggu gugat. Maka keputusan DK bersifat “final dan mengikat.”

Sesuai filosofinya, DK memegang bidang yudikatif, dan pengurus memegang bidang eksekutif, keputusan ilhwal penyimpangan berada di bawah kewenangan DK. Namun DK tidak memilik kewenangan eksekusi terhadap keputusan. DK tidak berhak  menjalankan sanksi yang telah dijatuhkannya.  

Pelaksanaan  sanksi merupakan tindakan eksitorial, maka kewenangan keputusan menjalan eksekusi keputusan DK kembali kepada eksekutif, yaitu pengurus harian. Pengurus yang wajib  melaksanakan eksekusi keputusan DK.

Sebagai perbandingan dalam ketatanegaraan Indonesia, segala perkara diputus oleh pengadilan sebagai pilar yudikatif. Sedangkan pelaksanaan putusannya dilaksanakan oleh eksekutif, baik jaksa maupun kementerian kehakiman, kini bernama kementerian hukum perundang-undangan dan HAM.

Demikian pula keputusan DK tidak dapat dieksekusi oleh DK sendiri, melainkan harus dilakukan oleh eksekutif dalam hal ini pengurus harian.

Lalu siapa yang membuat peraturan sebagai cabang legislatif? Disinilah trias politica di PWI dimodifikasi. Ada varian trias politica versi PWI sendiri.

Di PWI, cabang legaslatif dipegang sekaligus langsung oleh “rakyat.” Mekanismenya melalui kongres. Baik eksekutif (pengurus harian) maupun yudikatif (DK) bersama-sama seluruh perwakilan anggota merumuskan nilai konstitusional PWI dalam kongres. Dalam hal ini, kongres menjadi pemegang kewenangan tertinggi dalam merumuskan semua peraturan -peraturan di PWI.

Dalam pembagian kewenangan seperti itu, baik ketua umum maupun Ketua DK memikiki peranan  dan kedudukan masing-masing. Keduanya memiliki pembagian tugas yang berbeda-beda. Satu sama lain tidak dapat saling mencampuri bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

Dilihat dari sudut pandang ini, sulit hubungan antara cabang pemegang kewenangan disebut akan  memunculkan  “matahari kembar” dalam organisasi. Letak orbit dan koordinat masing-masing sudah diletakkan secara terpisah dan berbeda, sehingga tak mungkin ada kelahiran kembar.

Perkara pemimpin atau ketua siapa yang menonjol, itu urusan lain. Hal seperti ini lebih terkait soal leadership masing-masing, bukan lantaran sistem atau filosofi organisasi.

Dipilih Langsung Kongres

Pemahaman latar belakang ini, bakal membawa kita kepada  jawaban, mengapa ketua umum  maupun ketua DK sama-sama dipilih langsung oleh kongres. Pada hakekatnya keduanya sejajar. Mereka tidak saling membawahi. Keduanya bukan atasan dan bawahan. Keduanya adalah pilar penyeimbang demokrasi dalam organisasi .

Dalam kontek ini DK tidak boleh ditunjuk ketua umum. Sebab kalau ketua DK ditunjuk oleh ketua umum, seakan ketua DK berada di bawah ketua umum. Penunjukan ketua DK oleh ketua umum bakal bermakna merendahkan derajat DK sekaligus membuka peluang kewenangan tanpa pengawasan, alias memungkinkan terjadinya penumpukan kewenangan pada satu cabang, dalam hal ini eksekutif atau pengurus.

Demikian pula, ketua umum tidak mungkin ditunjuk ketua DK. Pengaturan ketua umum dapat dipilih oleh ketua DK pastilah menyebabkan pelaksanaan organisasi mandeg. Pengurus tak dapat bergerak tanpa “izin dan restu” dari DK. Oleh sebab itu memang tak mungkin ketua umum dipilih oleh ketua DK.

Maka ketua umum maupun ketua DK, keduanya harus dipilih oleh kongres. Soal mekanisme pemilihan ketua umum dan DK dalam kongres, itu sepenuhnya kekuasaan kongres. Terserah kongres. mau aklamasi, mau formatur, mau pemberian mandat kepada seseorang, seluruhnya menjadi kekuasaan kongres.

Melindungi Organisasi dan Anggota

Sesuai konstitusi PWI, DK dalam cabang “yudikatif” memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi.  Dan hanya DK saja yang memiliki kewenangan ini. Tiada satupun lembaga lain, baik di dalam internal organisasi, apalagi di luar organisasi. Kenapa begitu?

Ketentuan ini lahir bukan untuk membiarkan DK lahir menjadi “super bodi,” melainkan justru untuk menjaga ketertiban organisasi sekaligus melindungi organisasi.

Kewenangan menjatuhkan sanksi hanya ada pada DK, ke dalam menjadi jelas , hanya DK yang memiliki dan berhak menjatuhkan sanksi. Dengan begitu ada kepastian hukum, dan ketertiban: hanya DK yang boleh menjatuhkan sanksi. Hanya DK yang memiliki kewenangan yudisial.  Di luar DK tidak memiliki  otoritas lain yang boleh menjatuhkan sanksi.    

Kejelasan ini membuat  tak akan ada adu atau perebutan kewenangan dalam menjatuhkan sanksi. Tak ada multi tafsir. Hasilnya ada tertib dan efektifitas organisasi.

Keluar ketentuan ini “mengunci” adanya kemungkinan pihak luar organisasi yang boleh menilai warga organisasi  telah melanggar ketentuan-ketentuan di PWI. Ini melindungi organisasi dan anggota dari kemungkinan campur tangan pihak luar manapun. Melindungi PWI dari  intervensi pihak luar mana pun untuk menilai, apalagi menjatuhkan sanksi kepada anggota organisasi.

Walhasil pihak manapun yang ingin mempergunakan cakarnya menghukum anggota organisasi, sudah ditutup. Disinilah tujuan makna perlindungan dari adanya ketetapan DK satu-satunya yang berhak menjatuhkan sanksi

Tegasnya, ketentuan  yang mengatur hanya DK yang berhak menilai dan menjatuhkan sanksi tak lain untuk melindungi organisasi dan warganya dari penilaian pihak manapun yang mungkin dapat menghilangkan independensi organisasi.

Ruang Lingkup Sanksi

Persoalan selanjutnya, siapakah subjek yang dapat terkena sanksi DK? PWI  merupakan organisasi wartawan. Anggota dan pengurusnya haruslah wartawan.  Mereka yang bukan lagi wartawan tidak dapat menjadi anggota dan pengurus PWI, kecuali ditempatkan sebagai “anggota kehormatan” sebagai simbol kehormatan saja, tetapi tak meniliki kewenangan apapun.

Berangkat dari sana, subjek yang dapat terkena wewenang DK adalah semua yang berprofesi wartawan yang tergabung dalam organisasi  PWI. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara pemangku profesi wartawan yang menjadi anggota dan pemangku profesi wartawan yang menjabat sebagai pengurus. Baik anggota maupun pengurus sama-sama profesinya wartawan. Jadi, tak ada pembedaan.

Lebih dari itu, tidak tanggung-tanggung, sanksi pun dapat dijatuhkan pula kepada ketua DK sendiri.

Kalau ada pengaduan atau usulan untuk memeriksa ketua DK, maka DK sebagai lembaga harus patuh memeriksa ketua DK sendiri.  

Dalam  hal semacam ini, ketua DK tidak boleh ikut memeriksa kasusnya sendiri. Dengan kata lain, ketua DK yang diperiksa wajib non aktif dalam kasus yang dialaminya.

Seandainya dia tidak terbukti melakukan yang dilaporkan, dia bebas kembali sebagai ketua DK yang dapat menjalankan kewenangannya. Sebaliknya  jika dia dijatuhkan sanksi, dia harus mengundurkan diri dari posisinya. Selain sudah tidak kridibel lagi, juga telah menghianati amanah kongres.

Hal yang sama dapat terjadi pada sekretaris DK. Juga terhadap ketua umum, sekjen dan ketua bidang. Pada semuanya.

Tentu dalam menjatuhkan keputusannya DK perlu sangat berhati-hati, terutama jika menyangkut para petinggi organisasi. Harus ada wisdom dalam mengambil keputusan dan mempertimbangkan kemungkinan “menggoncangkan” keajegan ,stabilitas serta baik buruknya PWI ke depan.

Penulis adalah wartawan senior, pakar hukum dan etika pers.