Oleh Dhimam Abror Djuraid
“THE first casuality of war is truth”, korban pertama peperangan adalah kebenaran. Itulah ungkapan para aktivis media yang meliput peperangan. Ketika sebuah pertempuran terjadi, maka korban pertama yang jatuh bukan manusia atau tentara, tetapi kebenaran. Ungkapan ini menunjukkan bahwa perang bukan sekadar perang senjata, tetapi perang opini untuk merebut simpati publik.
Ungkapan itu muncul karena dalam setiap peperangan selalu muncul laporan yang simpang siur. Yang menjadi perselisihan bukan hanya soal berapa jumlah korban yang jatuh, tetapi masing-masing pihak mengaku sebagai pihak yang benar dan pihak lain salah. Satu pihak mengklaim sebagai korban dan pihak lainnya adalah pelaku. Satu pihak mengaku mempertahankan diri dan pihak lain adalah agresor.
Itulah yang terjadi dalam konflik Israel-Palestina kali ini. Bukan hanya perang roket dan peluruh kendali yang bekobar, tetapi perang opini berkobar lebih dahsyat. Masing-masing pihak mengklaim sebagai pemegang kebenaran dan pihak lain dituduh sebagai pendusta dan pengkhianat.
Sebagaimana perang senjata yang tidak seimbang, perang opini antara kedua pihak juga tidak seimbang. Israel mendapat dukungan penuh dari media-media mainstream Amerika dan Eropa, sementara Palestina mengandalkan perlawanan melalui media sosial.
Pemberitaan di beberapa media Barat dalam konflik ini sangat tidak berimbang. Dalam beberapa hari ini serangan terhadap Israel oleh pasukan Hamas digambarkan sebagai serangan teroris. Bangsa Israel yang menyerang balik disebut sebagai mempertahankan diri.
Pemerintah Israel mengakui bahwa pihaknya mengeluarkan anggaran besar untuk menyewa para pemengaruh, atau influencer, dan pendengung, atau buzzer, untuk memenangkan perang opini guna mendapat dukungan dari dunia internasional. Para pemengaruh dan pendengung ini disewa dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Indonesia.
Perang media sosial sangat ramai dan seru. Opini publik di Indonesia terpecah antara pro dan kontra. Banyak yang menuduh Hamas dan Palestina sebagai agresor dan menggambarkan Israel dan Yahudi sebagai korban yang mempertahankan diri.
Selama ini sudah ada polarisasi antara kadrun dan cebong. Sekarang, polarisasi itu berlanjut dalam konflik Israel-Palestina. Kelompok pendukung Palestina disebut sebagai kadrun alias kadal gurun, dan pendukung Israel disebut sebagai cebong bin kodok.
Dalam konflik Palestina vs Israel kelompok kadrun menjadi pendukung Palestina, dan kelompok anak kodok menjadi pendukung Israel. Polarisasi antara Islam politik vs kelompok liberal berlanjut dalam konflik Palestina-Israel ini.
Kelompok cebong biasanya disebut sebagai buzzer bayaran atau sering disebut sebagai buzzer RP. Kali ini buzzer bayaran itu disebut sebagai Yahudi Pesek. Kiai Luthfi Bashori dari Malang yang menemukan dan mempopulerkan istilah ini dan kemudian viral di media sosial. Penyebutan ini bagian dari stereotyping yang umum.
Bangsa Yahudi diidentikkan dengan orang bule yang berkulit putih dan berhidung mancung. Kelompok ini disebut sebagai penjajah, sementara bangsa pribumi identik dengan hidung mancung kedalam alias pesek, dan kulitnya gelap alias gosong. Maka sebutan Yahudi pesek merujuk pada orang-orang Indonesia—khususnya buzzer—yang dibayar untuk membela kepentingan Yahudi.
Caranya dengan mem-framing perang ini sebagai perang melawan teroris. Hamas diposisikan sebagai organisasi teroris dan Israel adalah korban serangan terorisme. Para pemengaruh dan pendengung—sangat mungkin—tidak mempunyai referensi yang cukup mengenai konflik Palestina. Hampir tidak mungkin mereka membaca berbagai referensi mengenai konflik ini. Biasanya para pemengaruh dan pendengung itu hanya mendapat pointers umum yang sesuai dengan kepentingan pembayarnya.
Harga pemengaruh dan pendengung Indonesia mungkin tidak terlalu mahal. Beda dengan media-media mainstream Amerika dan Eropa yang melakukan pembelaan terhadap Israel berdasarkan ideologi dan kepentingan nasional Amerika. Bahkan media sehebat The New York Times-pun dianggap sebagai bagian dari corong kepentingan pemerintah Amerika.
Noam Chomsky menyebut media Amerika sebagai bagian dari proyek besar untuk melakukan pabrikasi untuk mendapat dukungan rakyat. Dalam bukunya “Manufacturing Consent” Chomsky menyebut media-media Amerika menyebarkan berita yang tidak seimbang dengan tujuan untuk melanggengkan dominasi Amerika di luar negeri. Media Amerika, kata Chomsky, tidak berpihak kepada kebenaran dan objektivitas, melainkan kepada kepentingan ekonomi dan politik pemilik-pemiliknya.
Edward Said menyoroti media Barat melakukan bias dalam meliput konflik Palestina-Israel. Dalam buku “Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World” (1981) Said mengritik media Barat yang selalu melihat Islam dengan sudut pandang negatif. Covering Islam bisa diartikan sebagai “meliput Islam”, tetapi bisa juga disebut ‘’menutupi Islam’’. Menurut Said, dalam meliput Islam media Barat sekaligus menggelapkan fakta sejarah mengenai Islam.
Bangsa Yahudi yang lari sebagai pengungsi karena menghindari kekejaman Hitler setelah Perang Dunia II, sekarang justru bertindak lebih brutal dan biadab dari Hitler. Yahudi memperlakukan bangsa Palestina sebagai tawanan yang terkepung dalam kamp konsentrasi di tanah airnya sendiri. Kamp konsentrasi terbuka itu menampung sedikitnya dua juta orang di Gaza. Inilah kamp konsentrasi terbesar di era modern sekarang.
Bagaimana mungkin bangsa yang pernah menghadapi tragedi kemanusiaan seperti Holokaus bisa melakukan kekejaman yang sama terhadap bangsa lain? Bagaimana mungkin orang Yahudi yang pernah merasakan brutalnya penderitaan akibat politik rasis Nazi, melakukan hal yang sama terhadap bangsa Palestina.
Inilah pertanyaan besar yang diajukan oleh Edward Said dalam “The Question of Palestine” (Pertanyaan mengenai Palestina), yang menggugat siap diam komunitas intelektual dunia terhadap kejahatan kemanusiaan oleh Israel terhadap Palestina.
Palestina semakin teraleniasi dan dilupakan. Negara-negara Teluk seperti UEA dan Bahrain sudah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Godaan gelontoran triliunan petro-dolar dari Israel membuat negara mana pun meneteskan liur, termasuk Indonesia. Sudah banyak suara bermunculan di Indonesia mengenai kemungkinan menyambung hubungan diplomatik dengan Israel.
Opini publik yang terpecah dalam kasus penolakan Piala Dunia U-20 di Indonesia beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa sudah banyak publik di Indonesia yang lupa akan sejarah kebrutalan Israel terhadap Palestina.
Mereka inilah yang oleh Kiai Luthfi Bashori disebut sebagai “Yahudi Pesek”.
Penulis adalah wartawan senior Indonesia