J5NEWSROOM.COM, Yerusalem – Perang Israel-Hamas dipenuhi dengan narasi palsu yang ingin diluruskan oleh para jurnalis. Namun aturan darurat yang dikeluarkan Israel, untuk melarang stasiun televisi Al Jazeera berpotensi menghadirkan sensor ke lansekap pemberitaan dan informasi yang genting.
Bersamaan dengan peningkatan respon militer Israel terhadap Hamas, pemerintah negara itu bergerak untuk menindak media yang mereka sebut mendukung grup militan tersebut. Tertuang dalam aturan darurat yang baru, Israel berencana untuk menutup biro lokal Al Jazeera atas klaim propaganda Hamas. Para kritikus berpendapat, langkah-langkah untuk membungkam jusnalis atau organisasi pemberitaan secara keseluruhan, sama dengan penyensoran.
Direktur Eksekutif Quinn McKew dari organisasi kebebasan pers, Article 19, mengatakan, “menutup akses informasi dan agensi berita resmi seperti Al Jazeera, seharusnya tidak pernah dianggap enteng, dan ini adalah langkah yang mengkhawatirkan dari kehilangan sumber berita yang kredibel dan kesenjangan informasi yang akan terjadi dana pa yang akan disebarkan lebih luas kepada khalayak di seluruh dunia dan di Timur Tengah.”
Konflik Israel-Hamas dipenuhi dengan disinformasi dan misinformasi yang dijadikan senjata untuk perang. Narasi yang keliru menonjol secara daring, khususnya melalui media sosial. Pengawas media mengatakan, bahwa peran organisasi berita untuk menghilangkan disinformasi sangat penting dan karena itulah tidak ada suara yang harus dibungkam. Komite untuk Perlindungan Jurnalis dan lembaga pembela media yang lain mendesak Israel untuk tidak mengambil langkah drastis semacam itu.
BACA JUGA: Israel Bom Kamp Pengungsi, Anak Istri dan Cucu Wartawan Al Jazeera Mati Syahid
Lembaga penyiaran publik Amerika Serikat, NPR memiliki tim dengan delapan jurnalis di lapangan untuk meliput perang ini. CEO-nya, John Lansing, yang pernah menjadi pimpinan organisasi induk VOA, US Agency for Global Media, mengatakan bahwa kewajiban utama bagi para jurnalis adalah kebenaran.
“Waspadalah. Pahami bahwa apa yang Anda miliki hanyalah kredibilitas, apakah itu bagi VOA, NPR atau New York Times. Apapun yang mengancam kredibilitas dari apa yang orang baca atau lihat, adalah sebuah kesalahan, dan kita harus selalu mengutamakan audiens kita,” jelasnya.
Kementerian Komunikasi Israel tidak merespons surat elektronik VOA terkait permintaan komentar. Tetapi arahan dari Kementerian Komunikasi dan Pertahanan negara itu menuduh Al Jazeera bias mendukung Hamas dan menyebarkan propaganda. Israel mengatakan, pihaknya menganggap laporan Al Jazeera sebagai ancaman terhadap keamanan nasionalnya, tentara dan warga sipilnya.
Al Jazeera tidak merespon surat elektronik VOA yang meminta komentar. Tetapi lembaga penyiaran itu telah mempublikasikan kode etik yang sebagian menyatakan bahwa jurnalis mereka harus mematuhi nilai-nilai keadilan dan independensi. Sejumlah lembaga pengamat media mengatakan, Al Jazeera bukan organisasi berita yang menyebarkan disinformasi.
Quinn McKew, direktur Article 19 menambahkan, “mereka mampu menghadirkan sudut pandang yang sangat menarik dan berimbang, serta unik. Menutup agensi berita ini dan mengusir mereka akan menjadi langkah yang sangat mengancam bagi kebebasan berekspresi di media dan di kawasan itu sendiri, yang akan membuka pintu untuk jenis pembatasan dan penindasan yang lain.”
Seiring konflik yang meningkat, analis media mengawasi dengan cermat langkah-langkah yang membatasi peliputan berita di kedua pihak yang terlibat perang.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah