Oleh Dhimam Abror Djuraid
PEPATAH Inggris mengatakan, “There is no such a free lunch in the world”, tidak ada makan siang gratis di dunia. Ungkapan ini merujuk pada filosofi materialisme dalam masyarakat Barat yang mengukur segala sesuatu dengan materi dan uang. Di masyarakat Barat, waktu pun diukur dengan uang, “Time is money”, waktu adalah uang.
Jamuan makan siang yang diadakan Presiden Joko Widodo terhadap tiga calon presiden—Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto–di Istana Negara, Senin (30/10/2023), tentu gratis. Setidaknya tidak ada berita yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi mengirim tagihan kepada tiga capres. Juga tidak ada kabar yang menyebutkan bahwa salah satu capres membayar tagihan untuk mentraktir teman-temannya sesame capres.
Tetapi, sebagai sebuah even politik, acara makan siang itu tentu ada harga yang harus dibayar, dan ada tujuan yang ingin dicapai. Makan siang itu menjadi sebuah political show yang dipamerkan untuk menunjukkan kepada publik bahwa Presiden Jokowi sebagai tuan rumah memperlakukan ketiga tamunya secara sepadan, tidak ada yang diistimewakan, tidak ada yang dianak-tirikan.
Even makan siang itu menjadi sebuah political public relation (PR) yang dilakukan oleh Jokowi utuk meredam serangan yang sangat gencar pasca-keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) dan deklarasi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Jokowi dianggap sebagai aktor intelektual utama yang menjadi arsitek dua gerakan itu.
Jokowi berada pada tekanan yang sangat hebat. PDIP sebagai partai induk Jokowi merasa dikhianati oleh manuver ini. Para pendukung Jokowi terpecah menjadi dua kubu, ada yang mendukung dan ada yang mencaci maki. Jokowi juga menjadi sasaran kecaman keras oleh kalangan oposisi, yang menuduh Jokowi ingin memperpanjang kekuasaannya melalui politik dinasti.
Jokowi berada pada posisi defensif total. Ia berpikir keras untuk menghindari gempuran bergelombang itu. Acara makan siang itu menjadi manuver untuk menghindari gempuran sekaligus serangan balik untuk meredakan gempuran terhadapnya.
Makan siang itu adalah panggung dramaturgi politik yang menampilkan front stage, panggung depan, yang penuh dengan nuansa cerah yang riang gembira. Jokowi tidak henti-hentinya mengumbar senyum, menyilakan tetamunya untuk menikmati berbagai jenis makanan yang tersedia. Ketiga tamunya juga menunjukkan gesture yang gembira menerima undangan kehormatan itu.
Tetapi, di balik panggung depan itu ada panggung belakang, back stage, yang tersembunyi dari mata penonton umum. Panggung belakang itulah “the real stage, panggung yang sesungguhnya, yang berbeda 180 derajat dari panggung depan. Panggung belakang itu suram dan gelap, penuh intrik, dan penuh dengan skenario untuk menjebak dan menghabisi lawan-lawan yang tidak berada di kubunya.
Jokowi sedang mempertunjukkan manuvernya untuk melakukan pertarungan wacana dalam pilpres 2024. Dalam pertarungan wacana selalu muncul aktor yang menjadi “hero” dan yang menjadi “villain” atau penjahat. Wacana publik saat ini menempatkan Jokowi sebagai villain yang digempur dari berbagai sudut.
BACA JUGA: Makan Siang Bareng Jokowi, Anies Sampaikan Pesan Rakyat Indonesia Agar Presiden Jaga Netralitas
Jokowi ingin menghindari gempuran itu dengan menunjukkan sikap yang netral terhadap ketiga calon presiden. Perjamuan makan siang itu bisa dilihat dari tiga struktur dalam perspektif pertarungan wacana, yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.
Struktur makro dapat diartikan sebagai struktur makna, topik, atau tema global, yaitu Jokowi mengundang tiga capres untuk makan siang. Struktur super adalah rangkain teks atau peristiwa yang ingin ditunjukkan kepada publik, menyangkut pembukaan, isi, dan penutup. Adegan jabat tangan, adalah pembuka, adegan makan siang adalah isi, dan jumpa pers adalah penutup. Dalam superstruktur ini pesan yang disampaikan ada yang terbuka dan ada pula yang tersembunyi.
Struktur mikro melihat wacana dari kata-kata, kalimat, proposisi, dan anak kalimat yang digunakan dalam teks. Struktur mikro melibatkan penggunaan semantik, sintaksis, retoris, dan stilistik. Dalam even makan siang itu struktur makro yang ditunjukkan oleh Jokowi adalah realitas formal yang menunjukkan sikap netral, tidak berpihak, dan memperlakukan ketiga capres secara adil. Tetapi, struktur mikro yang tersembunyi menunjukkan gejala yang berbeda dengan yang tampak di permukaan.
Sebagai tuan rumah Jokowi ingin menjadi bintang pertunjukan dengan berusaha menguasai struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Tetapi, Anies Baswedan “stealing the show”, mencuri perhatian, dengan memainkan panggung kecil, side-show, yang tidak dimainkan oleh Jokowi.
Dalam acara jumpa pers dengan media Anies menguasai struktur mikro dengan mengungkapkan pesan halus tapi tajam, agar Jokowi netral dalam pilpres 2024. Netralitas dalam pilpres inilah yang menjadi struktur makro dalam perdebatan politik Indonesia akhir-akhir ini.
Anies Baswedan mempergunakan retorika dan semiotika yang halus tapi tajam untuk mengingatkan Jokowi. Sintaksis kalimat dan stilistik gaya bahasa yang dipakai Anies, halus tapi tajam langsung menghunjam ke jantung masalah.
Struktur mikro juga bisa dilihat pada susunan meja makan. Jokowi diapit oleh Prabowo dan Ganjar di sisi kiri dan kanan, sementara Anies berada paling jauh dan posisinya berhadap-hadapan. Hal ini menunjukkan bahwa di antara ketiga capres itu Anies paling jauh dan posisinya bersaing sebagai oponen.
Jokowi menjaga posisi dua capres itu di sisi kiri dan kanan. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa Jokowi bermain dua kaki dengan mendukung Prabowo, tapi tetap “nggandoli”, mempertahankan Ganjar Pranowo. Jokowi tidak ingin berhadap-hadapan sebagai oponen dengan PDIP yang mencalonkan Ganjar.
Prabowo dan Ganjar menunjukkan sikap anak manis. Ketika bersalaman, Prabowo dan Ganjar menunduk 65 derajat dan tidak menatap mata. Anies Baswedan berdiri tegak, tersenyum, dan matanya menatap Jokowi. Gesture ini menunjukkan bahwa Anies ingin menunjukkan posisi sejajar yang independen.
Apakah even makan siang itu akan mengubah lanskap politik Indonesia? Analisis wacana terhadap peristiwa itu menunjukkan bahwa acara itu hanya sebuah gimmick politik sebagai bagian dari pencitraan Jokowi untuk menguasai struktur makro.
Di balik itu, skenario di panggung belakang akan tetap jalan terus. The show must go on.*
Penulis adalah wartawan senior bermestautin di Surabaya