Pintu Perbatasan Rafah Dibuka, Ratusan Warga Palestina dan Asing Tinggalkan Gaza Menuju Wilayah Mesir

Warga Palestina yang memiliki dwi kewarganegaraan berjalan melalui pintu perbatasan Rafah di Jalur Gaza selatan, dengan harapan mendapat izin meninggalkan Gaza menuju Mesir, di tengah konflik Israel-Hamas yang sedang berlangsung, 1 November 2023. (Foto: REUTERS/Arafat Barbakh)

J5NEWSROOM.COM, Gaza – Ratusan warga asing, termasuk yang memiliki dwi kewarganegaraan, dan warga Palestina yang sebagian diantaranya luka serius, akhirnya diizinkan meninggalkan Gaza menuju wilayah Mesir melalui pintu perbatasan Rafah, setelah menunggu selama lebih dari tiga minggu. Sementara itu Israel masih terus memborbardir Gaza, termasuk di daerah padat penduduk.

Selain empat sandera yang dibebaskan Hamas dan lainnya yang diselamatkan pasukan Israel, ratusan warga asing dan warga Palestina yang meninggalkan Gaza Rabu pagi (1/11/2023) adalah kelompok pertama yang melintasi perbatasan Rafah menuju ke wilayah Mesir. Ribuan orang telah terpaksa meninggalkan rumah mereka seiring meningkatnya serangan udara Israel ke Gaza, di tengah kelangkaan air bersih, makanan dan BBM. Belum jelas berapa banyak lagi warga yang akan diizinkan meninggalkan Gaza dalam beberapa hari ke depan.

Rania Hussein, warga Yordania yang tinggal di Gaza mengatakan, saya berhasil melewati semua perang. Ketika perang ini terjadi, kami pikir masalah utama adalah pemadaman listrik dan air bersih, tetapi ternyata masalahnya jauh lebih besar. Kami melakukan perjalanan panjang dan hanya Allah SWT yang tahu bagaimana kami meninggalkan Gaza untuk sampai di sini. Kami sempat tinggal di sebuah tempat penampungan di sekolah.

“Saya tidak percaya ketika semalam Kementerian Luar Negeri Yordania menghubungi kami sekitar pukul 2.30 malam, meminta kami bersiap untuk keluar. Lalu telepon terputus, demikian pula internet dan lainnya,” ujar Rania Hussein.

“Kami tidak tahu apakah pintu perbatasan ini sudah dibuka atau belum. Kami hanya bersandar pada Allah SWT dan berharap dapat keluar. Ini masih negara kami, dan kami sangat sedih dengan kehancuran yang terjadi, juga teman-teman dan keluarga yang meninggal. Seluruh keluarga lenyap. Semua menjadi martir. Jika bukan karena perang ini, kami tidak akan meninggalkan Gaza,” lanjutnya.

Hal senada disampaikan warga negara Kanada, Asil Shurab. “Kami tiba di perbatasan Mesir ini dengan harapan dapat meninggalkan Gaza. Tetapi kantor Kedutaan Kanada belum berhasil menghubungi kami lagi karena buruknya jaringan telpon. Tetapi kemarin kami mendengar bahwa pintu perbatasan ini akan dibuka pukul tujuh pagi. Jadi kami datang dengan harapan bisa pergi. Kami hanya punya sedikit harapan untuk meninggalkan Gaza dan menyelamatkan nyawa kami,” komentarnya.

Al Jazeera Tayangkan Gambar Apartemen di Kamp Pengungsi Jabaliya yang Hancur Diserang Israel

Stasiun televisi Al Jazeera, salah satu dari sedikit kantor media yang masih mengirim laporan dari bagian utara Gaza, menayangkan gambar sejumlah gedung apartemen di kamp pengungsi Jabaliya yang padat, rata dengan tanah diserang Israel. Kamp ini terletak di dekat Gaza City. Sejumlah orang luka-luka, termasuk anak-anak, yang segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Pemerintahan di Gaza yang dikelola Hamas mengatakan serangan udara itu menewaskan dan melukai banyak orang, tetapi belum diketahui angka pastinya.

Gambar-gambar Al Jazeera itu menunjukkan pemandangan yang sama persis dengan yang terjadi sehari sebelumnya ketika puluhan orang menggali puing-puing reruntuhan gedung bertingkat yang hancur, untuk menemukan mereka yang selamat.

Pengambilan gambar yang diambil dari rekaman video AFPTV ini menunjukkan suasana di kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza, pasca serangan Israel, 1 November 2023. (Foto: AFP)

Jumlah korban tewas akibat serangan hari Selasa (31/10/2023) juga belum diketahui, meskipun direktur sebuah rumah sakit mengatakan ratusan orang tewas atau luka-luka.

Israel mengatakan serangan udara itu menewaskan puluhan militan, termasuk seorang panglima senior Hamas yang terlibat dalam serangan berdarah ke Israel pada tanggal 7 Oktober lalu. Serangan udara itu juga menghancurkan terowongan-terowongan di bawah gedung-gedung itu.

Yordania Panggil Pulang Dubes di Israel

Dalam suatu isyarat yang menunjukkan peningkatan kekhawatiran terjadinya perang di antara negara-negara Arab, Yordania, Rabu (1/11/2023) memanggil pulang duta besarnya dari Israel, dan meminta duta besar Israel untuk tetap berada di luar negara itu. Yordania, yang merupakan sekutu dekat Amerika, telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel tahun 1984, negara Arab kedua setelah Mesir yang melakukan hal itu.

Wakil Perdana Menteri Yordania Ayman Al Safadi mengatakan pemanggilan duta besar itu terkait dengan “penghentian perang Israel di Gaza… dan bencana kemanusiaan yang ditimbulkannya.” Ia memperingatkan potensi meluasnya konflik, yang mengancam “keamanan di seluruh kawasan tersebut.”

Israel Perluas Serangan di Gaza

Pasukan darat Israel merangsek ke pinggiran Kota Gaza, beberapa hari setelah meluncurkan tahap baru perang, yang menurut para pemimpin Israel akan berlangsung lama dan sulit. Layanan internet dan telepon terputus selama beberapa jam pada hari Rabu (1/11/2023), sama seperti saat putusnya komunikasi sementara ketika pasukan darat Israel pertama kali bergerak maju dalam jumlah besar ke Gaza pada akhir pekan lalu.

Lebih separuh dari 2,3 juta penduduk Gaza telah meninggalkan rumah mereka, dan persediaan makanan, obat-obatan, air dan bahan bakar semakin menipis. Pemadaman listrik di seluruh wilayah membuat rumah sakit-rumah sakit bergantung pada generator yang akan segera ditutup.

Serangan di kamp pengungsi Jabaliya menggarisbawahi lonjakan korban yang diantisipasi oleh kedua belah pihak ketika pasukan Israel bergerak maju ke pinggiran Kota Gaza dan lingkungan pemukiman yang padat. Para pejabat Israel mengatakan infrastruktur militer Hamas, termasuk ratusan kilometer terowongan bawah tanah, terkonsentrasi di kota yang menjadi rumah bagi sekitar 650.000 orang sebelum perang meluluhlantakkan kota itu.

Pintu Perbatasan Rafah Dibuka, 335 Warga Asing Diizinkan Keluar dari Gaza

Juru bicara Otoritas Penyebrangan Palestina Wael Abu Omar mengatakan enam bus yang membawa 335 pemegang paspor asing meninggalkan Gaza melalui penyeberangan Rafah menuju Mesir Rabu sore.

Ditambahkannya, menurut rencana lebih dari 400 pemegang paspor asing akan berangkat ke Mesir. Mesir telah mengatakan tidak akan menerima masuknya pengungsi Palestina karena kekhawatiran Israel tidak akan mengizinkan mereka kembali ke Gaza setelah perang.

Puluhan orang terlihat memasuki penyeberangan Rafah, satu-satunya yang saat ini beroperasi, dan ambulans yang membawa warga Palestina yang luka-luka keluar dari sisi Mesir.

Mesir sebelumnya mengatakan lebih dari 80 orang Palestina, dari ribuan orang yang terluka dalam perang, juga akan dibawa masuk untuk mendapatkan perawatan. Seorang pejabat Kementerian Kesehatan di Gaza Mohamed Zaqout mengatakan kepada Associated Press bahwa 10 pasien meninggal sebelum mereka dapat dievakuasi ke Mesir. Belum jelas apa kriteria untuk evakuasi medis ini.

Pemutusan Aliran Listrik dan Komunikasi Perburuk Situasi di Gaza

Mereka yang masih bertahan di Gaza masih harus menghadapi berbagai krisis, yang semakin memburuk pada hari Rabu (1/11/2023) dengan pemutusan saluran komunikasi. Perusahaan telekomunikasi Palestina, Paltel, mengatakan layanan internet dan telepon seluler secara bertahap dipulihkan di Gaza setelah “gangguan total” yang berlangsung selama beberapa jam.

Komite Palang Merah Internasional ICRC mengatakan pemadaman listrik seperti itu mempersulit warga sipil untuk mencari tempat yang aman. Juru bicara ICRC Jessica Moussan, mengatakan “bahkan tindakan yang berpotensi menyelamatkan nyawa seperti memanggil ambulans menjadi tidak mungkin dilakukan.”

Sementara itu, Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan Rumah Sakit Turki-Palestina, satu-satunya fasilitas di Gaza yang menawarkan perawatan khusus untuk pasien kanker, terpaksa ditutup karena kekurangan bahan bakar, sehingga menyebabkan 70 pasien kanker kini berada dalam situasi kritis.

Korban Tewas Terus Melonjak

Kementerian Kesehatan Palestina, Rabu (1/11/2023) mengatakan lebih dari 8.700 warga Palestina tewas dalam perang tersebut, sebagian besar perempuan dan anak di bawah umur. Sementara lebih dari 22.000 orang luka-luka. Data ini tidak merinci berapa jumlah korban warga sipil dan militan Hamas. Yang pasti jumlah korban sebesar ini belum pernah terjadi dalam beberapa dekade kekerasan Israel-Palestina.

Lebih dari 1.400 orang telah tewas di pihak Israel, sebagian besar warga sipil yang terbunuh dalam serangan awal Hamas, yang juga merupakan angka yang belum pernah terjadi sebelumnya. Militan Hamas juga menculik sekitar 240 orang selama serangan itu dan terus menembakkan roket ke Israel.

Lima belas tentara Israel telah terbunuh di Gaza sejak dimulainya operasi darat.

Israel tidak menjelaskan secara gamblang mengenai operasinya di Gaza, namun penduduk dan juru bicara kelompok-kelompok militan mengatakan tentara Israel tampaknya berusaha menguasai dua jalan utama di utara-selatan.

Diperkirakan 800.000 warga Palestina telah mengungsi dari Kota Gaza dan wilayah utara lainnya ke selatan menyusul perintah Israel untuk mengungsi, namun ratusan ribu lainnya masih bertahan di utara.

Israel telah mengizinkan kelompok-kelompok bantuan internasional untuk mengirimkan lebih dari 200 truk yang membawa makanan dan obat-obatan dari Mesir selama 10 hari terakhir, namun para pekerja bantuan mengatakan bahwa hal tersebut masih belum cukup.

Israel telah bersumpah untuk menghancurkan kemampuan Hamas untuk memerintah Gaza atau mengancamnya, meskipun juga mengatakan bahwa mereka tidak berencana untuk menduduki kembali wilayah tersebut, tempat mereka menarik tentara dan pemukim pada tahun 2005. Namun tidak banyak yang bisa dikatakan tentang siapa yang akan memerintah Gaza setelah itu.

Saat memberi kesaksian di Kongres pada hari Selasa (31/10/2023), Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyarankan “pada titik tertentu, yang paling masuk akal adalah Otoritas Palestina yang efektif dan direvitalisasi untuk memiliki pemerintahan dan pada akhirnya tanggung jawab keamanan untuk Gaza.”

Hamas mengusir pasukan Otoritas Palestina dari Gaza dalam pertempuran sengit selama satu minggu pada tahun 2007. Hal ini membuat Otoritas Palestina hanya memiliki kendali terbatas atas beberapa bagian Tepi Barat yang diduduki Israel. Dukungan Palestina untuk Presiden Mahmoud Abbas telah merosot sejak saat itu, di mana banyak warga Palestina yang menganggap Otoritas Palestina tidak lebih dari sekadar polisi Israel karena membantu menekan Hamas dan kelompok-kelompok militan lainnya.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah