Puncak Pengorbanan Putra Arjuna, Wisanggeni!

Wartawan senior Hendro Basuki. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Hendro Basuki

KEGELISAHAN menimpa Hastinapura. Bukan hanya Duryudana. Durna juga gelisah. Prabu Salya apalagi. Kegelisahan serupa juga terjadi di Amartapura, tempat para ksatria Pandawa bersemanyam.

Kresna, yang digadang-gadang jadi pengatur strategi perang Baratayudha nantinya tak punya banyak opsi. Tidak ada satu pun strategi baik di Pandawa maupun Kurawa yang akan mampu mengalahkan Wisanggeni.

Seluruh cara sudah ditempuh. Belum satu pun memberi harapan. Para dewa, begawan, resi, wiku paham bahwa Wisanggeni tidak akan terkalahkan.

Resi Durna gelisah, karena tak satu pun dari ksatria Kurawa bisa mengalahkannya. Demikian juga kegelisahan Kresna. Sebagai titisan Batara Wisnu sangat percaya, tidak satu pun opsi yang mampu mengalahkan Wisanggeni. Jika Wisanggeni sampai terlibat dalam Perang Baratayudha, maka Wisanggeni lah yang akan jadi raja. Bukan anak Abimanyu, Parikesit.

Arjuna pun Tak Mampu

Merayu bapaknya Wisanggeni, Arjuna sudah dilakukan.

“Arjuna, kalau Wisanggeni sampai masuk kalangan Baratayudha, itu mengingkari takdir!” Kata Kresna kepada Arjuna.

” Wisanggeni tak jaluk patine (saya ingin dia mati),” pinta Kresna melanjutkan.

” Mboten kiyat (tidak kuat) kakang,” kata Arjuna terus terang. Dia merasa tak mampu dan tak sampai hati melenyapkan anaknya sendiri.

“Hati saya tak sampai…” katanya melanjutkan.

” Kudu mbok pateni (harus kau bunuh) ” kejar Kresna.

“Tidak bisa!” tegas Arjuna. Di dalamnya batinnya mengatakan, anak ini kupersiapkan sejak lama. Biarlah dia ini tumbuh sebagai gigih dan berani.

Kresna ciut nyali. Dia paham benar kesaktian anak ini. Anak Batara Guru, Dewa Srani saja kalah melawan Wisanggeni ketika masih kecil.

Dikisahkan, ketika Wisanggeni masih dalam kandungan, Dewi Dresanala yang merupakan istri Arjuna diculik. Batari Durga berhasil memboyong Dresanala untuk dikawinkanpaksakan dengan Dewa Srani. Anaknya.

Tetapi, usia kandungan belum genap 9 bulan 10 hari lahir jabang bayi. Oleh Durga yang bersekongkol dengan Srani, jabang bayi itu dibuang ke Kawah Candradimuka.

Begitu sampai di dasar kawah, bukannya mati. Jabang bayi ini malah cepat tumbuh menjadi anak yang luar biasa. Mampu keluar dari kawah dengan cepat, dan kemarahannya telah membuat Dewa Srani lari menghilang.

Dengan cepat pula ia menerima pelajaran dari Dewa Brama. Kakeknya sekaligus ayah dari Dewi Dresanala. Seluruh perhatian Dewa Brama, atau Brahma atau Agni dalam pewayangan, ditumpahkan kepada cucunya ini.

Kahyangan Duksinapati

Merasa lebih dekat dengan kakeknya, Wisanggeni lebih nyaman tinggal di Kahyangan Duksinageni. Ia dibesarkan dalam limpahan kasih sayang dan tidak pernah kekurangan apa pun. Tetapi pada saat yang sama Wisanggeni tumbuh sebagai anak yang kurang sopan. Kepada siapa pun tidak memilih bahasa. Seperti juga Bima, ketika dia bicara tanpa tedheng aling-aling. Bahkan, kepada para dewa sekali pun, ia menggunakan bahasa kasar.

Seluruh penghuni Kahyangan dibuat ketar-ketir. Termasuk Batara Guru. Mereka khawatir, bagaimana seandainya anak ini nanti jadi raja. Cara bicara tak punya unggah ungguh (sopan santun). Saat meminta sesuatu harus dituruti. Sementara, dia berilmu tinggi.

Kesaktiannya berulang-ulang diuji Batara Guru. Tubuh Wisanggeni mampu menyerap, sekaligus menyebarkan api. Ini adalah ilmu warisan Batara Brama yang juga sering disebut Batara Agni. Dewanya api.

Ketika ilmu menyerap api dipraktikkan, semua musuhnya lemas seketika. Begitu juga sebaliknya. Ketika pancaran panas dari tubuhnya bekerja, Batara Guru pun milih mundur teratur. Ini terjadi ketika Wisanggeni melabrak Kahyangan karena membiarkan Dewa Srani anak dari Batara Guru berbuat sewenang-wenang.

Durna pun ciut nyali. Telah lama mencari cara membunuh Wisanggeni. Semua cara telah dilakukan. Bahkan dengan cara paling licik sekali pun, Wisanggeni selalu menang. Begawan ini sudah berhitung, jangankan Duryudono bahkan dirinya pun tak akan mampu melawan Wisanggeni.
Sebagai bapak, Arjuna juga gelisah.

Kegelisahannya antara lain karena anak dengan Dewi Dresanala itu tak punya sopan santun. Angkuh. Dan setiap bicaranya selalu merendahkan. Jika sampai jadi raja di suatu ketika nanti, “Duh, Dzat Ingkang Maha Agung nyuwun ngunging pangaksami”. Mohon  beribu maaf Yaa Tuhan.

Mencium Telapak Kaki

Sayembara pun dibuka. Tak satu pun berani melawan Wisanggeni. Membicarakannya saja tak berani. Apalagi menantang. Paman Wisanggeni, Bima seolah memberi angin lebih luas dari lainnya. Bima merasa, keponakannya itu pantas jadi raja meski pun masih muda.

“Apa salahnya Wisanggeni?” tanya Bima ketika keponakannya diragunakan, bahkan ditolak.

Kresna pun mendapatkan wahyu tentang bagaimana cara mematikan Wisanggeni. Tidak ada salahnya dicoba.

“Wisanggeniii…”

” Ana apa (ada apa) Eyang?” jawab Wisanggeni ketika diminta Kresna menghadap.

“Kuanggap kamu muridku, legawa apa ora? “

” Iya. Kowe guruku .”

Karepmu apa, Guru?

Awakmu mituhu marang gurumu?

Iya!

“Jika engkau takdzim kepada Gurumu, bagaimana jika gurumu meminta sesuatu?” tanya Kresna memancing.

“Sagah, Eyang!” Sahut Wisanggeni menyatakan kesanggupan.

“Tenan?”

“Iya, Guru”

” Coba, cium telapak kaki kananmu” pinta Kresna.

“Cepat!”

Dan, diciumlah telapak kakinya sendiri.

“Aduh Guru…” Wisanggeni merintih.

Seketika dalam batin Kresna bersuka cita. Dia percaya, anak Arjuna segera menemui ajal. Mendadak Wisanggeni tertawa.

“Hahaha, aku ora mati Guru.”

Kresna bingung kehilangan rasa percaya diri. Sekejap, Kresna tak kurang akal.

“Ya wis Ngger, muliha ning (ya sudah, pulanglah ke) Kahyangan. Ditunggu eyangmu!”

Terdiam Kresna.

Pikirannya melayang-layang tak karuan. Cara yang diyakini sebagai wahyu sekali pun tak mempan menghabisi Wisanggeni.

Batara Brama

Waktu Baratayudha sudah mendekat. Padahal, Wisanggeni harus dimatikan sebelum perang itu digelar. Batara guru memanggil para wiku, pandita, resi, hajar, dwija, dwijawara, yogi, muni, suyati, dahyang, begawan, brahmana, juga brahmacari untuk halaqah mencari cara menghentikan, bahkan membunuh Wisanggeni.

“Jika Wisanggeni dibiarkan hidup, maka seluruh ksatria tak ada yang mampu menandingi!” seru Batara Guru.

Tak satu pun mampu memberi solusi. Lalu dibantu seluruh manusia suci itu memohon pada Jawata Agung.

“Mintalah kepada Batara Brama. Kakeknya”. Terdengar sanyup-sayup wahyu itu turun.

Tanpa mengulur waktu, Batara Guru menemui Brama.

“Brahma, anakku,” sapa Batara Guru pada putranya yang nomor dua itu.

“Apa yang bisa saya bantu, Bapakku”

“Tidak ada orang lain, termasuk aku yang bisa menghentikan kridaning Wisanggeni”

“Aku pasrah bongkokan ke kamu, Agni”

Bergetar tubuh Batara Agni. Dia bertanya-tanya, kenapa cucu kesayangan harus dibunuhnya sendiri.

Salahmu apa?

Salahmu apa, Wisanggeni?

Salahmu apa, cucuku?

Dipandangnya dari jauh cucu yang sakti mandraguna itu.

Betapa tinggi ilmunya yang dalam sekejap menyerap seluruh ilmu Sanghyang Antaboga. Ilmu yang mengajarkan bagaimana menyelinap sekejap ke dalam bumi. Bahkan, tanpa lewat rekahan tanah sekali pun. Dari seluruh tubuh, bahkan pucuk-pucuk rambut mampu mengeluarkan dan menyerap api sebesar apa pun.

“Wisanggeni”

“Injih, ngestokakan dhawuh?”

Bergetar suara Batara Agni.

“Misal awakmu berkorban agar Pandawa berjaya sanggup ngger, anak Arjuna?”

“Sagah Eyang” tegas Wisanggeni menyanggupi permintaan Eyang yang disayanginya itu.

“Manakala bersedia. Mari kita hening ing cipta “

Injih! Ngestoaken dhawuh.

“Ening cipta. Lihat dan konsentrasilah. Pejamkan matamu dan lihatlah bagian cakra ajna-mu. Fokuskan matamu sambil memejam. Lihatlah Ajna-mu yang terletak di antara dua maramu,” pinta Batara Agni.

Lalu, pelan-pelan tubuhnya Wisanggeni menyurut. Mengecil, dan tiba-tiba hilang…

“Bapa, Wisanggeni pejah?” rintih Dresanala.

“Tidak anakku, Dresanala”

“Anakmu wis netepi laku. Mulih hing kasidan jati,” kata Batara Agni lirih.

Dilihatnya langit. Kosong.

Tak sanggup ia melihat Dresanala menunduk.

Wisanggeni yang gigih berani itu tak bisa mati, kecuali atas kesadarannya sendiri mundur dari gelanggang perang Baratayudha Jaya Binangun.*

Penulis adalah wartawan senior bermestautin di Semarang Jawa Tengah