Longkang Reflektif Bangsa Pelupa, Serakah dan Hedonis

Judu Buku : Revolusi Longkang (Kumpulan Sajak Politik)
Penulis : Muchid Albintani
Penerbit : Deepublish, Yogyakarta
Tahun Terbit : September 2023
Tebal : 110 Halaman + xx

Oleh Saibansah Dardani

LAKON laku cinta dunia, cinta materi dan ingin selalu hidup bermewah-mewah adalah karakter bangsa lupa. Revolusi mental yang digaung-gaungkan dalam struktur kekuasaan gagal mengantisipasinya. Cara pandang tanpa berkemauan ‘berkerja keras’ musabab serakah menjadi sikap mental yang dipraktikan dalam kesehariannya.

Realitas ini menyebabkan menjadi bangsa lupa. Beraltar pelupa (terlupa, dilupakan) menjaga harga diri, teristimewa terlupa menjadi bangsa yang bersyukur terindikasi menjadi inkar nikmat.

Penjelasan berhubungan bangsa yang ‘ingkar nikmat’ terangkum dengan apik, elegan, kritis, dan komunikatif dari  buku yang berjdul, “Revolusi Longkang: Kumpulan Sajak Politik” karya Muchid Albintani. Kehadiran buku ini, menurut penulisnya merupakan ‘dakwah pengingat’ melalui sajak-sajak teristimewa pada kalangan  yang berminat, mengkaji pun penstudi sastra yang aktual dan kontekstual.

Tak kalah penting buku kumpulan sajak ini merupakan hasil proses kreatif yang diberikan kepada khalayak. Proses inilah yang dalam dunia akademis merupakan bagian integral melaksanakan salah satu kegiatan tridharma ‘seorang guru’ yang mengajar-mengabdi  di perguruan tinggi sekaligus ‘mantan pekerja jurnalistik’ yang juga seorang penyair.

Buku ini berdasarkan sistematikanya terdapat lima bagian yang menjadi tema utama dengan masing-masing sub-tema terdapat sepuluh sajak.

Tema pertama, ‘Sajak Revolusi Longkang’. Tema ini menyediakan sepuluh sajak yang esensinya merefleksikan suasana kekeliruan cara berpikir anak bangsa di negeri ini. Ketiadaan ketauladan kepemimpinan yang dimulai dari Orde Lama, Orde Baru sehingga Reformasi.

Ketiadaan ini plus ketidakjelasan keberadaan (posisi) negara dalam konteks struktur kekuasaan yang menyebabkan karakter feodalisme menjadi subur. Ihwal suburnya feodalisme menjadi asbab seorang kepala pemerintahan negara berkarakter seperti raja.

Tema kedua, Sajak Haloba. Esensi tema kedua ini, menurut merefleksikan perihal gegap-gempitanya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan atas nama keserakahan dibungkus investasi asing. Istilah lain dari keserakahan adalah Mental ‘Terabasbuna’.

Mental ini tak ada kaitannya sama sekali dengan revolusi. Mental Terabasbuna berkaitan dengan karakter yang diendus secara terus-menerus oleh sistem kapital dunia dengan semangat, ‘modal sekecil-kecilnya sementara untung sebesar-besarnya’. Riba adalah esensi  dari sistem kapital yang terkesan ‘diredoi’ penggunanya.

Ketiga, tema Sajak Hedonisme. Tema ini merupakan tindak-lanjut dari konsekuensi Mental Terabasbuna yang tak mengenal ‘halal-haram’. Yang penting modal kecil untung besar. Modal kertas selembar dengan kekuasaan yang dimiliki terbitlah ‘izin-izin illegal’. Yang penting upetinya [izin berkonsekuensi rente], misalnya.

Sehingga secara keberlanjutan mengkristal menjadi prilaku hedonis [ubud dunia] dengan bermewah-mewah. Pola bermewah-mewah menghasilkan karakter yang konsumeris. Karakter ini adalah produk dari Mental Terabasbuna. Yang pada akhirnya merefleksikan menjadi bangsa ‘kuffur nikmat’, enggan bersyukur.

Bagian atau tema keempat, Sajak Azab. Tema ini mempersonifikasikan kehancuran dan keruntuhan Indonesia. Sajak ini adalah refleksi dari bangsa yang ‘kuffur nikmat’, enggan bersyukur. Berlandas pada keengganan bersyukur menyebabkan bala-bencana selalu mengancam di hadapan yang kapan saja dapat menghampiri. Dalam kuffur nikmat ini apapun yang dihasilkan merupakan refleksi dari keseluruhan prilaku bangsanya.

Sedangkan tema kelima, Sajak Berwudhu. Tema ini merefleksikan pengakuan terhadap kekeliruan yang dilakukan. Penyadaran sebagai proses akhir [ending] merupakan sebuah upaya bertaubah dengan cara berwudhu. Ini  agar negara Indonesia beserta bangsanya yang mendiami wilayah yang disebut dengan istilah ‘negeri peninggalan para wali’ menjadi aman, tenteram dan bersyukur.

Buku ini secara komprehensif menggunakan personifikasi Longkang [parit, drainase, saluran pembungan limbah atau yang sejenisnya]. Longkang yang selalu terabaikan di negeri ini. Realitas inilah mempertotonkan kelupaan anak bangsa untuk membersihkan diri dengan berwudhu.

Secara hikmah kumpulan sajak politik mengingatkan melalui pertanyaan: mengapa sebagai anak bangsa lupa terhadap keberadaan longkang? Padahal membersihkan Longkang adalah wujud membersihkan diri dari keserakahan [mudah diiming-iming, disogok dan mengambil yang bukan haknya, pembangunan disamakan dengan materi atau proyek yang ujung-ujungnya fee atau rente].

Bermetaporakan Longkang, buku ini merangsang agar bangsa ini berpikir cepat, tegas, kristis dan sistematis terhadap betapa pentingnya kebersihan Longkang yang tanpa sampah. Kondisi tersbut menjadi indikator keberhasilan pembangunan negeri ini.

Peduli terhadap kebersihan Longkang, dan Longkang berbau wangi membuktikan bahwa yang perlu direvolusi sesungguhnya adalah ‘Longkang’ dari bau busuk menjadi mewangi. Itulah yang disebut dengan istilah ‘Revolusi Longkang’.

Buku ini layak dibaca tidak hanya oleh mahasiswa sastra, kalangan umum pun pemimpin negeri. Pertanyaan untuk seluruh pemimpin negeri: Bagaimana kondisi Longkangnya? Semoga pemimpin dan masyarakatnya tidak menjadi bangsa yang lupa, serakah dan hedonis. Apalagi lupa terhadap eksistensinya kebersihan Longkang.*

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Siber Indonesia J5NEWSROOM.COM