Remaja di Batam Jadi Mucikari, Bukti Rusaknya Generasi

Ilustrasi prostitusi anak dengan mucikarinya juga anak-anak. (Foto: Net)

Oleh Yulweri Vovi Safitria

MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Batam memutuskan vonis 10 bulan penjara terhadap remaja putri yang menjadi mucikari dalam prostitusi online. Gadis berusia 16 tahun itu diduga menjajakan rekan-rekan sebayanya kepada pria hidung belang. (Batampos, 5-11-2023).

Profesi mucikari hanya salah satu dari problem remaja hari ini. Berbagai kasus kekerasan, tawuran, kriminal, bullying, dan bahkan nekat mengakhiri hidupnya sendiri adalah deretan persoalan yang menimpa generasi, tidak terkecuali generasi Islam. Sebagian masyarakat mungkin akan bertanya-tanya apakah penyebab semua ini terjadi? Namun, tidak sedikit pula dari masyarakat yang tidak peduli, sebab hal tersebut adalah persoalan pribadi yang tidak perlu dicampuri.

Fenomena ini merupakan potret rusaknya generasi yang perlu mendapatkan perhatian serius dan membutuhkan solusi. Sekularisasi yang terus mencengkeram dan membajak segala potensi yang dimiliki generasi, makin menjauhkan mereka dari agama, perilaku bebas sebagai pengaplikasian kebebasan individu yang berlindung di balik HAM.

Baik orang tua, masyarakat, maupun negara seolah tak mampu mendidik putra-putrinya menjadi generasi terbaik dan berakhlak mulia, sebagaimana fitrah penciptaannya. Padahal tugas memberikan pendidikan tidak hanya oleh keluarga, melainkan ada peran masyarakat dan juga negara sebagai penanggung jawab terhadap rakyat.

Ya, keluarga memang memiliki peran penting dan utama dalam mendidik dan menanamkan akidah, tetapi negara memiliki tanggung jawab yang lebih besar, yakni menciptakan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam sehingga generasi memiliki akidah yang kokoh dan tidak tergoyahkan.

Sayangnya, semua itu tidak akan pernah didapatkan dalam kehidupan yang tidak diatur oleh aturan Islam. Justru sebaliknya, berbagai perilaku amoral akan terus meningkat tanpa bisa dibendung. Ditambah lagi sanksi yang diterapkan tidak sepadan dengan perbuatan sehingga menambah rumit persoalan.

Dengan dalih anak di bawah umur, pelaku pun mendapatkan keringanan hukuman. Alhasil, bukannya memberikan efek jera, malah kasus baru terus saja bermunculan dengan berbagai macam bentuk dan pola, padahal intinya sama.

Manusia merupakan makhluk yang unik dan berbeda dengan makhluk Allah lainnya. Selain unik, Allah menciptakan manusia dengan dua potensi, yakni sifat baik dan buruk. Oleh karena itu, dalam penciptaannya, Allah melengkapi manusia dengan seperangkat aturan yang akan menjadi problem solving. Di antaranya adalah sanksi (uqubat) terhadap seluruh manusia, baik muslim maupun nonmuslim.

Sanksi di dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir), yakni tertahannya manusia dari tindakan kriminal (kejahatan). Sanksi tersebut akan menebus dan menggugurkan sanksi di akhirat bagi pelaku dosa. Sekaligus menjadi pencegah bagi orang lain untuk melakukan perbuatan serupa.

Dalam memberikan sanksi, Islam tidak memandang berdasarkan usia, melainkan berdasarkan keadaan pelaku sudah baligh atau belum. Sanksi tersebut dijatuhkan kepada orang yang melakukan dosa tanpa membedakan antara penguasa dan rakyat, atau antara orang yang kaya dan miskin, juga antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak menerapkan sanksi terhadap anak meskipun usianya 16 tahun, padahal sudah baligh.

Bukan hanya itu, negara memasifkan dakwah melalui berbagai sarana yang ada. Menerapkan sistem pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam sehingga terbentuk generasi berakidah Islam, memiliki kepribadian Islam, serta memiliki tsaqafah Islam sehingga ia mampu mengarungi samudra kehidupan dan selamat dunia akhirat.

Berbagai perkara yang akan merusak generasi, seperti konten-konten porno, gim, dan berbagai budaya asing dilarang masuk ke wilayah kaum muslim. Hal tersebut dilakukan untuk membentengi umat dari perilaku maksiat yang akan membawa kepada kesengsaraan.

Wallahu a’lam.*

Penulis adalah Founder Kelas Menulis Muslimah Cemerlang