Politik Dinasti vs Dinasti Ustman bin Affan

Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Batam L. Nur Salamah, S.Pd. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh L. Nur Salamah, S.Pd

MENYOROTI tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai berbagai pihak merupakan praktik politik dinasti, lantas benarkah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan menjalankan politik dinasti? Mengingat pada masa kekuasaannya banyak dari kerabatnya menduduki posisi strategis pemerintahan.

Sebelum berbicara tentang politik dinasti, penulis mencoba menyampaikan perbedaan antara politik dinasti dan dinasti politik. Mengutip pendapat Dr. Riyan, Pengamat Politik Islam, bahwa politik dinasti (dynasty politics) merujuk kepada kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang mempunyai hubungan kekerabatan.

Sedangkan dinasti politik (political dynasties) mengacu kepada kondisi yang sengaja dikonstruksi agar kekuasaan hanya bisa dikuasai oleh satu keluarga.

Selanjutnya, mengutip pendapat dari Bayu Dardias Kurniadi, Ph.D., Pakar Politik Keraton dan Dinasti Fisipol UGM, yang diwawancarai oleh Jurnalis Media Umat menjelaskan bahwa bisa dikatakan sebagai dinasti politik, apabila sudah tiga generasi. Dia mencontohkan Dinasti Limpo. Dinasti Limpo sudah tiga generasi. Sedangkan masa pemerintahan Jokowi belum dinasti karena masih dua generasi.

Berdasarkan penjelasan di atas berarti kita tidak bisa menyebut masa pemerintahan atau kekhalifahan Utsman sebagai dinasti politik Utsman bin Affan.

Kemelut Masa Ustman bin Affan

Ustman memangku jabatan kekhalifahan selama dua belas tahun lamanya. Enam tahun pertama pemerintahannya tidak ada yang menyatakan kebencian bahkan konon lebih disukai kaum Quraisy daripada Umar. Hal itu karena Umat bin Khatab lebih keras dan sangat tegas. Sedangkan Ustman bersikap lembut dan lunak kepada mereka. Sehingga wajar lebih bisa mengambil hati masyarakat yang dipimpinnya.

Akan tetapi berangsur-angsur sikapnya makin lamban dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Terlebih lagi, ia menunjuk kerabat-kerabat dekatnya untuk menduduki berbagai posisi strategis enam tahun terakhir pemerintahannya. Bahkan Marwan diberikan kekuasaan seperlima wilayah Afrika.

Sepanjang enam tahun terakhir masa jabatannya Ustman lebih mengutamakan anak-anak pamannya. Banyak pejabat yang diangkat diantara mereka dan orang-orang yang dekat dengan mereka. Mereka memerintahkan agar bertakwa kepada Allah.

Dari sini bisa dilihat seorang khalifah termasuk Khalifah Utsman bin Affan memiliki hak prerogratif untuk mengangkat orang yang kababel  dan memenuhi syarat pengangkatan seseorang diangkat menduduki jabatan tertentu. Orang tersebut boleh saudaranya khalifah ataupun bukan saudaranya khalifah, yang penting memenuhi dua syarat tersebut.

Apabila khalifah termasuk Khalifah Utsman bin Affan lebih memilih saudaranya menjadi seorang pejabat dengan pertimbangan karena saudaranya tersebut kapabel dan memenuhi syarat pengangkatannya menjadi pejabat, lantas di mana letak permasalahannya?

Kalau demikian berarti tidak ada masalah dan sah. Sehingga bisa dipastikan yang mempermasalahkannya itulah yang bermasalah. Bukan khalifahnya, bukan Khalifah Utsman bin Affannya. Jadi sangat jelas ya.

Pada prinsipnya jika seseorang punya capability, integrity dan acceptable layak dijadikan pemimpin. Apakah itu keluarga sendiri atau bukan dari keluarganya dan tidak dilakukan dengan cara brutal dengan mengubah-ubah hukum.

Dalam Islam, syarat untuk menjadi seorang khalifah/ imam/ sultan dan para penguasa daerah ada tujuh yaitu: Lelaki, Muslim, berakal, baligh, merdeka, adil, dan mampu menjalankan amanah jabatannya.

Demokrasi yang Unik

Satu hal lagi yang unik dalam sistem demokrasi saat ini, rezim suka-suka mengubah hukum semata-mata demi keluarganya agar memenuhi syarat menjadi pejabat. Inilah yang namanya rezim brutal alias ugal-ugalan.

Jika rezim ini konsisten mengambil atau menerapkan sistem kufur demokrasi, boleh-boleh saja mengubah syarat cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun, tetapi pelakunya harus DPR bukan MK. Karena MK tidak boleh membuat norma hukum baru.

Dalam sistem kufur demokrasi, ketika DPR itu melakukan perubahan syarat cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun, maka berlakunya bukan untuk Pilpres 2024, tetapi untuk Pilpres 2029. Dengan demikian, terhindarlah membuat hukum untuk kepentingan orang tertentu/penguasa. Karena, dalam sistem kufur demokrasi juga, hukum itu dibuat untuk mengatur penguasa/semua orang, bukan dibuat untuk kepentingan penguasa/orang tertentu.

Ini menunjukkan bahwa rezim ini menganggap sesuatu yang salah adalah lumrah karena membawa negara hukum menjadi negara kekuasaan. Menggeser negara demokratis menjadi otoriter.

Oleh karena itu saatnya masyarakat melek politik. Bukan persoalan pemimpinnya, tetapi sistem kufur sekuler demokrasi lah yang harus dienyahkan. Karena, selama mengadopsi sistem atau aturan yang bersumber dari akal manusia yang terbatas yang sarat akan kepentingan dan hawa nafsu, maka terwujudnya kehidupan yang damai sejahtera dan penuh berkah hanya ilusi belaka.

Saatnya kita kembali kepada aturan dari Sang pemilik jagad raya yang tidak ada kepentingan dengan apapun dan siapapun. Satu-satunya aturan yang paripurna itu adalah Islam yang akan mengantarkan kepada kebaikan hidup dunia dan akhirat.

Wa Allahu’alam Bisshowwab.

Penulis adalah Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Batam