LAPORAN: Zubairi Hasan
J5NEWSROOM.COM, Cirebon – Dengan telah hadirnya Undang-Undang Pesantren No 18 tahun 2019, maka terbukalah kesempatan besar bagi pesantren khas untuk eksis dan lebih berkembang lagi.
Demikianlah ungkap Anggota Majelis Masyayikh Pondok Pesantren, Hj. Badriyah Fayumi, ketika melakukan Sosialisasi UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, di Pondok Pesantren Khas Kempek, Cirebon, Sabtu (11/11/2023).
“Kini ada kesempatan besar bagi pesantren khas untuk eksis dan berkembang. Hal ini karena UU Pesantren telah mengakui eksistensi pesantren tersebut, tanpa harus mengikuti persamaan atau mencari mu’adalah (pengakuan) dari lembaga lain,”
Menurut alim ulama perempuan ini, berdasarkan UU Pesantren, pesantren khas yang berkembang di Indonesia sudah dianggap sebagai lembaga formal, meski tidak ikut ujian persamaan, tidak ikut Paket A, B, dan C, serta lain sebagainya.
“Ijazah pesantren khas, mulai dari tingkat ula, wustha, dan ula dianggap sama dengan ijazah MI, MTs, dan MA,” ungkap pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Quran wal Hadits, Kota Bekasi.
Kondisi itu, masih menurut Hj. Badriyah Fayumi, merupakan kesempatan besar bagi pesantren untuk fokus sebagai lembaga pendidikan khas, terutama dalam rangka melahirkan kader ulama yang ‘allamah (betul-betul alim), tanpa terlalu banyak berkompromi dengan ini itu yang dapat mengurangi independensinya dalam menyusun kurikulum, menentukan tenaga pendidik, dan lain-lain.
Hanya saja, menurut Hj. Badriyah Fayumi, pesantren khas itu harus tetap memperhatikan standar mutu yang disepakati, melalui perwakilannya, yaitu Majelis Masyayikh. Sesuai dengan ketentuan UU Pesantren, Majelis Masyayikh berwenang merumuskan standar mutu bagi pesantren, termasuk untuk pesantren khas.
Hanya saja, standarisasi itu berbeda dengan yang dilakukan Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan. Kalau Lembaga Pemerintah menentukan standar mutu seperti menentukan seragam, yaitu harus sama warna, bahkan bahannya. Kalau Majelis Masyayikh menentukan standar mutu seperti menentukan dress code.
Misalnya, bawahan hitam, atasan batik. Terserah, mau pakai batik Pekalongan, Batik Cirebon, batik Madura, dan lain sebagainya. Jadi, masih ada kesempatan bagi pesantren khas untuk menampilkan ciri khasnya.
“Saya kira, perbedaan antara seragam dan dress code merupakan perumpaan yang paling mudah disampaikan untuk membedakan antara standar mutu versi Pemerintah dan versi Majelis Masyayikh,” demikian ungkap ulama perempuan yag juga Pengurus MUI itu.
Sebagai informasi, pada 2023, jumlah pesantren diperkirakan berjumlah 35 ribu lembaga dengan 5 juta santri/wati. Namun seiring perkembangan zaman, sebagian besar dari pesantren itu berkompromi dengan kebutuhan terkini, dengan risiko harus mengubah kurikulum dan perangkat pendidikan lainnya.
Kini muncul kerinduan agar pesantren khas dapat eksis kembali, guna melahirkan alim ulama besar, sebagaima pesantren terdahulu melahirkan Syaikh Nawawi al-Bantani, KH. KH. Kholil, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya. Nah, UU Pesantren merupakan jawaban atas persoalan di atas, karena mengakui keberadaan pesantren khas serta alumninya.
Editor: Agung