J5NEWSROOM.COM, Tel Aviv – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan militer Israel akan mengelola Jalur Gaza setelah perang berakhir nanti. Pihaknya akan menyiapkan kamp pengungsi bagi warga Palestina yang terpaksa mengungsi dari rumah mereka karena perang Israel-Hamas. Gagasan ini ditolak mentah-mentah oleh Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh.
“Pembicaraan tentang apa yang akan terjadi setelah perang berakhir baru akan dilakukan setelah Hamas dapat dihancurkan. Gaza akan didemiliterisasi sehingga tidak akan ada lagi ancaman dari Jalur Gaza terhadap Israel. Untuk memastikan hal itu, maka selama diperlukan Pasukan Pertahanan Israel akan tetap mengontrol keamanan di Jalur Gaza.”
Inilah petikan pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pidato yang disiarkan secara nasional dari Tel Aviv, Sabtu lalu (11/11/2023).
Netanyahu kembali menegaskan hal ini saat diwawancarai CNN di program “State of the Union” hari Minggu (12/11/2023). Ia jelas menolak proposal Amerika agar pengelolaan Gaza pasca perang nanti dikembalikan kepada rakyat Palestina, sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken dalam konferensi pers di Tokyo pada 8 November lalu.
“Jelas bahwa Israel tidak dapat menduduki Gaza. Kenyataannya, mungkin perlu ada masa transisi di akhir konflik, tetapi sangat penting bagi rakyat Palestina untuk memimpin pusat pemerintahan di Gaza dan Tepi Barat, dan sekali lagi, kami tidak melihat adanya pendudukan kembali (oleh Israel.red). Dan apa yang saya dengar dari para pemimpin Israel adalah bahwa mereka tidak berniat untuk menduduki kembali Gaza dan mengambil alih kendali atas Gaza,” sebutnya.
“Jadi pertanyaannya adalah, apakah ada periode transisi yang mungkin diperlukan, dan mekanisme apa yang dapat dilakukan untuk memastikan adanya keamanan? Yang pasti kami (Amerika.red) sangat tegas, tidak akan ada pendudukan kembali (oleh Israel.red). Hal ini sama tegasnya seperti sikap kami bahwa tidak akan ada pemindahan penduduk Palestina,” tandas Blinken.
Lebih jauh Blinken ketika itu juga menegaskan bahwa ini harus mencakup pemerintahan yang dipimpin oleh Palestina, dan bahwa Gaza bersatu dengan Tepi Barat di bawah kepemimpinan Otoritas Palestina.
Hampir 40 hari sejak berkecamuknya perang Israel-Hamas, lebih dari 11.000 warga Palestina di Gaza tewas. Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, wilayah yang dikelola Hamas, mengatakan dua per tiga dari jumlah itu adalah perempuan dan anak-anak. Sementara di pihak Israel, sedikitnya 1.200 orang tewas ketika Hamas melancarkan serangan awal 7 Oktober lalu.
Masih terus berlanjutnya serangan Israel ke Gaza, yang kini bahkan mulai memasuki wilayah pemukiman padat penduduk, memaksa ribuan warga di bagian utara kota itu melarikan diri ke bagian selatan untuk menyelamatkan diri. Sejumlah tenda pengungsian pun bermunculan di antara jalur itu.
Deretan tenda berwarna putih itu paling banyak terdapat di kota Khan Younis, di mana setiap pagi warga antri untuk mendapatkan makanan ala kadarnya, seperti roti dan satu kaleng biji-bijian atau ikan tuna.
PM Palestina Tolak Pendirian Kamp Pengungsi Baru, Serukan Pemulangan Warga
Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh, dalam rapat kabinet hari Senin (13/11/2023) di Tepi Barat, menolak pendirian kamp pengungsi bagi warga Palestina yang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Ia menyerukan pemulangan mereka yang terpaksa mengungsi ke rumah mereka.
“Kami menolak pendirian kamp-kamp sementara bagi para pengungsi, seperti yang diminta oleh tentara Israel pada organisasi-organisasi internasional. Kami ingin rakyat kami kembali ke rumah mereka, di mana mereka dipindahkan secara paksa. Dalam sejarah Palestina, tidak ada yang namanya ‘sementara’, karena pengalaman telah mengajarkan kita bahwa yang sementara itu bersifat permanen,” tegasnya.
Mimpi Buruk “Nakba”
Keberadaan warga Palestina yang dengan tergesa-gesa mendirikan tenda-tenda PBB di Khan Younis itu, membuka kenangan menyakitkan tentang eksodus massal, yang oleh warga Palestina disebut sebagai Nakba, atau “malapetaka”.
Pada bulan-bulan sebelum dan selama perang 1948, sekitar 700.000 warga Palestina melarikan diri atau diusir dari wilayah yang sekarang dikenal sebagai Israel. Banyak dari mereka yang berharap untuk kembali ke rumah mereka ketika perang berakhir, tetapi semua harapan itu sirna.
Tujuh puluh lima tahun kemudian, tenda-tenda sementara di Tepi Barat, Gaza, dan negara-negara Arab yang berdekatan telah menjadi rumah-rumah batako yang permanen.
Pakar studi Arab di Universitas Columbia, Rashid Khalidi, kepada Associated Press mengatakan “langsung teringat tahun 1948 ketika warga Palestina di Gaza diperintahkan untuk mengungsi, langsung teringat akan hal itu ketika Anda melihat gambar-gambar (tenda) itu. Para penulis Palestina telah mengukir hal ini ke dalam kesadaran orang Arab.”
UNRWA: Pendirian Kamp Pengungsi Tidak Bersifat Permanen
Badan PBB untuk urusan pengungsi Palestina UNRWA mengatakan kamp-kamp pengungsi itu tidak bersifat permanen. Juga bahwa mereka mendistribusikan tenda dan selimut kepada puluhan keluarga pengungsi di Khan Younis itu karena mereka tidak dapat ditampung di fasilitas PBB lainnya.
“Hal ini untuk melindungi mereka dari hujan dan memberikan martabat dan privasi,” demikian petikan pernyataan UNRWA.
Jalur Gaza telah menjadi rumah bagi delapan kamp permanen, yang selama bertahun-tahun telah berubah menjadi lingkungan perkotaan yang padat dan kumuh.
Namun kecemasan negara-negara di kawasan atas keberadaan tenda-tenda pengungsi di Khan Younis, dan peringatan evakuasi dari Israel telah meningkat, menambah bahan bakar bagi sejumlah demonstrasi berskala besar dan kemarahan yang melonjak di ibu kota-ibu kota di Timur Tengah.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah