Mosthamir Thalib: Tak Sanggup Awak Mengulasnya

Penyair Riau Mosthamir Thalib sedang membacakan puisinya. (Foto: Abdurrab Foundation)

LAPORAN: Fifi Ch

Menggenggam Batu

Puisi Abah Alia – Pecinta Sang Kekasih

mudah bagimu menggenggam batu menjadi emas
tapi kau pilih batu jadi pengganjal perut nan lapar

mudah bagimu menggenggam batu menjadi intan
tapi lebih kau pilih donasi dari usman

mudah bagimu menggenggam batu menjadi zamrud
tapi lebih kau pilih butiran kurma dari kuli panggul

mudah bagimu menggenggam batu menjadi safir
tapi lebih kau pilih menjadi musafir nan fakir
musafir bersama fakir bukan para kikir
merengkuh hamparan bumi menebar cinta tak bertepi

mudah bagimu menggenggam batu menjadi…

batam 27122023

J5NEWSROOM.COM, Batam – Usai membaca puisi berjudul “Menggenggam Batu” karya Abah Alia si Pecinta Sang Kekasih, penyair Riau Mosthamir Thalib mengomentari singkat, bagus sekali.

“Dalam dan tinggi. Tak sanggup awak mengulasnya,” ujar penyair Riau yang kerap disapa Wak Atan itu kepada J5NEWSROOM.COM, Rabu (27/12/2023).

Meski begitu, sebagai penyair yang baru saja meluncurkan buku kumpulan pusinya berjudul “Banteng Bersayap Kupu Kupu” itu, tetap memberikan kritiknya atas puisi karya Abah Alia tersebut.

“Semua sudah bagus. Isi dan susunan bait. Kecuali baris terakhir agak mencacatkannya. Ada kata yang menggantung “menjadi”….bertitik-titik pula,” ungkapnya, kritis.

Mostamir yang hampir setiap tahun menghadiri undangan pertemuan budayawan Melayu di Singapura itu melanjutkan kritiknya, dengan membuang kata “menjadi” dan titik-titiknya, maka puisi Abah Alia ini sudah sangat bagus.

“Usah ada lagi titik-titik panjang pada puisi,” tegas Mosthamir Thalib.

Mosthamir Thalib adalah penyair kelahiran Desa Igal, Kecamatan Mandah, Indragirihilir, Riau,  5 Agustus 1963. Menyelesaikan pendidikan dasar hingga atas di kampungnya. Pada tahun 1985 ia melanjutkan studi di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau (PSBSI FKIP Unri) dan selesai tahun 1989.

BACA JUGA: Kolaborasi Lima Penyair, Semangat Riau-Pattani

Setamat kuliah ia menjadi wartawan SKM Genta (Pekanbaru), dan tahun 1991 ia pindah dan dicatat sebagai orang yang ikut merintis berdirinya Surat Kabar Harian Riau Pos. Selama menjadi wartawan, ia melanjutkan studi pada Program Administrasi Pendidikan Informal di Lembaga Pers Dr Sutomo (LPDS) Jakarta, dan selesai tahun 1993.

Mosthamir mulai belajar menulis cerpen dan puisi ketika duduk di bangku SMP, namun cerpen-cerpen dan puisi-puisinya baru dipublikasikan pada pertengahan tahun 1980-an ketika menjadi mahasiswa. Surat Kabar Kampus Bahana Mahasiwa menjadi kawah candradimuka – ia menjadi redaktur budaya di surat kabar yang didirikan oleh sastrawan Fakhrunna MA Jabbar dkk.

Bagi Mosthamir untuk menggodok diri sebagai sastrawan. Di surat kabar kampus inilah kali pertama tulisan-tulisannya mulai muncul, dan baru kemudian muncul di berbagai surat kabar daerah dan nasional, seperti Merdeka (Jakarta), Riau Pos, Genta, dan sebagainya.

Dua kumpulan puisinya adalah Bahang (1981) dan Rerama (1985), sementara cerpen-cerpennya terhimpun dalam berbagai antologi, seperti antologi Titian Laut III (1991), Teh Hangat Sumirah (1991) dan Pertemuan Kedua (1995), kumpulan cerpen-cerpen pengarang tiga kawasan, Singapura, Johor dan Riau. Cerpennya berjudul Nora-nora, Sabolimo, Bukan Telegram Bisnis, Wanita-wanita, Teh Hangat Sumirah cukup mendapat perhatian dari publik sastra di Riau.

Buku-bukunya yang lain yang sudah terbit antara lain Melancong Bumi Lancang Kuning (1995), sebuah novel wisata. Pencipta karakter Wak Atan dan Mak Joyah di rubrik “Telatah Melayu” di Bahana Mahasiswa dan “Celoteh Ramadan” di Riau Pos ini merupakan satu-satunya jurnalis asal Riau yang memenangkan penghargaan tertinggi bagi insan pers, yaitu Anugerah Adinegoro dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat pada tahun 1998.

Dua kali meliput Festival Tari Rakyat se-Dunia yang diselenggarakan Association Culturelle E’changes Internationaux di Prancis dan Spanyol (1995 dan 1996).

Selain menulis cerpen, puisi, esei dan laporan jurnalistik, Mosthamir juga pernah menulis skenario sinetron. Keluar dari Riau Pos ia mendirikan Surat Kabar Harian Riau Tribun (sebagai pemimpin redaksi) hingga sekarang (2008).

Mosthamir juga menjadi dosen terbang Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Pekanbaru, Fakultas Sastra Universitas Lancang Kuning (Pekanbaru) dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau (FKIP UIR) Pekanbaru.

Karya-karya pencipta pasangan tokoh komedi Melayu Wak Atan dan Mak Joyah ini, selain dimuat di berbagai media massa, juga terhimpun dalam antologi cerpen dan puisi, serta buku tunggal, di antaranya Titian Laut III, antologi cerpen dan puisi Dialog Utara III (1991) dan Teh Hangat Sumirah, antologi cerpen.

Lalu, buku puisi empat pengarang Riau (1992); Melancong Bumi Lancang Kuning – novel wisata, buku tunggal (1993); Seloroh Gaya Melayu, buku tunggal tulisan khas rubrik Harian Riau Pos (1993); Pertemuan Kedua, antologi cerpen dan puisi Sijori – Singapura-Johor-Riau (1995); Hang Tuah, cerita rakyat Melayu (Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2004); dan Hang Tuah Kesatria Melayu, cerita bergambar yang ditulisnya bersama Mahyudin Al Mudra (Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2004).

Editor: Agung