J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada 5 Januari 2022 menandatangani kesepakatan dengan perusahaan asal Ceko, Czechoslovak Group (CSG), untuk membeli 12 jet tempur Mirage 2000-5 seharga 733 juta euro – atau kini setara Rp 1,2 triliun. Namun baru-baru ini Kememhan mengatakan akan menunda rencana pembelian pesawat bekas yang digunakan Qatar itu karena keterbatasan anggaran.
Juru bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak pada Jumat (5/1) mengatakan belum mengetahui sampai kapan penundaan pembelian 12 pesawat tempur Mirage itu dilakukan karena terkait dengan kapasitas fiskal atau ketersediaan anggaran yang merupakan domain Kementerian Keuangan.
Penundaan itu merupakan keputusan Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan, tegasnya. Tidak ada alasan lain yang mengakibatkan penundaan pembelian pesawat tempur itu selain karena keterbatasan anggaran.
“Kalau Kementerian Pertahanan, dalam hal ini Pak Prabowo, sama sekali tidak ada perspektif politik terkait dengan kebijakan pertahanan. Bagi Pak Prabowo terlalu murah kalau kemudian perspektif kebijakan pertahanan itu dibangun dengan pendekatan politik elektoral karena wilayah udara kita yang kosong itu sebenarnya sedetik pun tidak boleh terjadi,”ujarnya.
Ditambahkannya pembelian 12 pesawat tempur Mirage 2000-5 itu sudah dipertimbangkan dengan baik sebelumnya. Namun perkembangan geopolitik, geostrategis dan kebutuhan lainnya mengharuskan penundaan pembelian tersebut.
Dahnil memastikan tidak ada ganti rugi yang harus dibayarkan kepada Ceko dengan penundaan tersebut.
Pemerintah awalnya ingin membeli 12 Mirage bekas itu untuk menutupi kekosongan penjagaan wilayah udara Indonesia, sambil menunggu kedatangan sebagian dari 42 jet tempur Rafale yang telah dibeli pada 2022 seharga $8,1 milliar. Direncanakan pesanan pesawat Dassault Rafale baru tiba di Tanah Air lima tahun lagi.
“Sebagai gantinya, kita kembali ke upaya retrofit. Artinya kita memperbarui sistem-sistem pesawat lama kita supaya layak tempur. Misalnya F-16 kita, sistem-sistemnya diperbarui agar layak tempur,” ujarnya seraya menambahkan hal ini sebenarnya sudah dilakukan secara rutin.
Dahnil mengakui potensi penurunan kapasitas pertahanan udara Indonesia karena penundaan rencana pembelian 12 Mirage, yang sedianya menjadi bagian dari upaya untuk membentuk postur ideal untuk sistem pertahanan udara Indonesia.
Pengamat: Anggaran Pertahanan Terbatas
Menurut pengamat pertahanan sekaligus salah satu pendiri Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, Indonesia terpaksa harus membeli Mirage 2000-5 yang sudah tua dan bekas dipakai Qatar karena anggaran pertahanan terbatas. Idealnya Indonesia membeli pesawat tempur baru untuk memperkuat sistem pertahanan udara, tetapi tak bisa dicapai karena keterbatasan anggaran, ujarnya.
Beberapa negara sempat mengungkapkan keinginan mereka menawarkan pesawat tempur bekas kepada Indonesia. Namun, perang Rusia-Ukraina membuat mereka mempertimbangkan kembali tawaran itu.
“Kenapa di masa damai itu justru kita harus belanja (alutsista), karena kalau pas perang orang pada nahan atau kalah cepat sama negara-negara lain, udah nggak kebagian kita. Sementara kita sedang sangat butuh karena kapabilitas (pertahanan) udara kita sedang lemah karena ada beberapa (jet tempur) yang harus dipensiunkan karena usia,” ujar Khairul.
Retrofit menjadi satu-satunya jalan yang harus dilakukan sekarang, tambahnya, meskipun disadari bahwa pesawat yang sedang menjalani retrofit, tidak bisa terbang dan belum ada penggantinya. Kondisi ini berpotensi meningkatkan gangguan terutama ketika ada pesawat asing melintas tanpa izin di wilayah udara Indonesia.
“Kita tidak bisa mengamankan, tidak bisa dihadang, dihalau keluar, atau diturunkan paksa jika armada jet tempur tidak mencukupi,” ujarnya.
Khairul menyarankan Kementerian Pertahanan menyudahi rencana pembelian 12 Mirage 2000-5 bekas tersebut dan membahas dengan lebih teliti perencanaan pertahanan ke depan, di tengah keterbatasan anggaran saat ini.
Keputusan untuk menunda pembelian Mirage tersebut muncul meski Presiden Joko Widodo telah menyetujui peningkatan belanja pertahanan sebesar 20 persen hingga akhir tahun ini, untuk melipatgandakan piranti keras militer menjadi $25 miliar.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah