Saat Para Capres Adu Jurus Tarik Minat Gen Z Jadi Petani

ak ada anak muda di tengah kesibukan petani memanen tanamannya. (Foto: voaindonesia.com)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Permasalahan terkait semakin menurunnya minat anak muda tanah air untuk menjadi petani mencuat dalam Dialog Capres bersama Kadin: Menuju Indonesia Emas 2045 di Jakarta pada Kamis (11/1) dan Jumat (12/1).

Para pengusaha ini melontarkan pertanyaan yang sama kepada tiga calon presiden (capres) ini mengenai bagaimana strategi untuk meningkatkan produksi pangan dan mewujudkan kemandirian pangan, serta bagaimana strategi untuk meningkatkan pendapatan petani melalui modernisasi pertanian dan mewujudkan kemandirian industri pertanian.

Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo mendapati permasalahan ini nyata terjadi di lapangan. Para petani yang rata-rata sudah senior, katanya, bahkan tidak mau anak-anaknya untuk meneruskan jejak mereka menjadi petani.

Ketika ia menemui kalangan anak muda dan bertanya apakah mereka berminat menjadi petani, jawaban yang didapat Ganjar pun beragam. Ada sebagian kecil anak muda yang memiliki ideologis mau untuk nyemplung di sektor pertanian asalkan diberikan insentif. Menurutnya, jawaban dari permasalahan ini adalah modernisasi dan insentif.

“Anak muda saya tanya kenapa Anda tidak mau ke sawah, kenapa tidak mau beternak? Jawabnya, bau dan kotor dan tidak menjanjikan. Tapi ketika saya menemukan anak muda yang ideologis itu (jawabnya) “Pak, kasih kami pelatihan dan teknologi, mudahkan bibit dan lain-lain’,” jelas Ganjar.

Ia menyatakan apabila semua pemangku kepentingan, seperti kementerian/lembaga, akademisi, dan pebisnis, mau bersatu, bukan tidak mungkin minat-minat dari generasi muda tersebut bisa meningkat.

Data pertanian yang akurat, katanya, dibutuhkan untuk memperoleh informasi terkait seberapa luas lahan, dan di mana saja lahan pertanian ini berada. Dengan begitu, menurutnya, insentif yang kelak akan diberikan kepada para petani ini bisa tepat sasaran.

Capres nomor urut 1 Anies Baswedan mengungkapkan anak muda Indonesia cenderung tertarik untuk terjun di hilir ketimbang di hulu seperti membuka kafe atau restoran karena sektor pertanian dianggap sama sekali tidak menjanjikan.

“Artinya apa? Di situ prospek usahanya baik, tapi di hulu karena prospek usahanya tidak baik, maka tidak banyak anak yang mau ke situ. Ini adalah reasonial behavior, selama di situ tidak menguntungkan, tidak memberikan kesempatan tumbuh, tidak ada anak muda yang akan mau masuk ke sektor ini,” ungkap Anies.

Permasalahan ini, kata Anies, diperberat dengan tidak tersedianya pupuk dan benih yang berkualitas dan murah bagi para petani. Apabila terpilih jadi presiden, ia pun akan mendorong penerapan cooperative farming — suatu bentuk kerja sama kelompok tani yang berorientasi agribisnis komersial melalui perwujudan konsolidasi pengelolaan lahan.

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah memperbaiki rantai pasok yang seringkali tidak efisien. Praktik ini, katanya, sudah ia lakukan ketika menjadi gubernur DKI Jakarta, di mana perusahaan milik Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan sentra produksi pangan di daerah, agar para petani memiliki kepastian terkait penyerapan produksi mereka.

“Dalam jangka panjang, urbanisasi is unstoppable. Kita tidak bisa memaksa orang tinggal di desa lagi. Diperkirakan di tahun 2045, 73 persen penduduk Indonesia ada di perkotaan. Sehingga kita harus mulai memikirkan secara serius tentang tata niaga ini ketika jumlah orang yang berada di pedesaan ini jumlahnya akan sedikit. Ini fakta yang akan kita temui karenanya kenapa modernisasi diperlukan, cooperative farming diperlukan, perbaikan tata niaga diperlukan sehingga desa tetap menjadi supplier dan tidak kalah penting karena kita berhadapan dengan climate crisis,” tegasnya.

Sementara itu, capres nomor urut 2 Prabowo Subianto berjanji akan membuat para petani lebih makmur dari sebelumnya. Caranya, kata Prabowo, dengan memenuhi kebutuhan dasar para petani dan keluarga mereka yang selama ini tidak difasilitasi oleh negara.

Menurutnya ketika petani sejahtera, akan makin banyak generasi penerus bangsa yang mau terjun di sektor ini. Ia mencontohkan Jerman, di mana para petani yang berasal dari kalangan anak muda bisa hidup sangat layak.

“Saya pernah ke desa di Jerman, (petaninya) bau kotoran sapi, tapi mobilnya bagus, rumahnya bagus. Sore-sore dia sudah langsung, ganti baju, malam-malam dia dansa di disco. Anak-anak muda mau jadi petani di Jerman. Makanya kita harus mau bikin anak-anak muda di Indonesia mau jadi petani di Indonesia,” tegasnya.

Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyatakan permasalahan di sektor ini tercermin dari hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 tahap I. Sensus pertanian yang dilakukan setiap 10 tahun sekali ini hasilnya tidak menggembirakan.

Ia menyoroti turunnya jumlah unit usaha pertanian di Indonesia 7,42 persen dari 2013 yang sebanyak 31,71 juta unit menjadi 29,36 juta unit di 2023. Di tengah penurunan unit usaha pertanian, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) pada 2023 justru meningkat 8,74 persen dari 26,14 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 28,42 juta rumah tangga pada 2023.

Hal ini membuat rasio usaha pertanian perorangan (UTP) terhadap RUTP turun dari 1,21 pada 2013 menjadi 1,03 pada 2023. Ini berarti dalam 10 tahun terakhir dari 100 petani yang memiliki usaha pertanian berkurang dari 21 petani menjadi 3 petani.

“Tampak kian banyak petani yang meninggalkan sektor pertanian. Entah sukarela atau terpaksa oleh keadaan,” ungkap Khudori.

Jumlah petani muda pun kian menurun. Dari hasil ST 2023 diketahui bahwa petani yang mengelola UTP berusia 55-64 tahun meningkat dari 20,01 persen pada 2013 menjadi 23,3 persen pada 2023. Selain itu, petani berusia 65 tahun ke atas juga meningkat dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen dalam kurun waktu 10 tahun.

Sebaliknya, petani berusia 25-34 tahun menurun dari 11,97 persen pada 2013 menjadi 10,24 persen pada 2023. Begitu pula petani berusia 35-44 tahun proporsinya menurun dari 26,34 persen pada 2013 hanya tersisa sebesar 22,08 pesen pada 2023.

Khudori menilai, selama ini pemangku kepentingan tidak bersikap adil pada petani. Kebijakan yang ada, katanya terus menggerus jumlah petani kecil dan pertanian keluarga. Sebaliknya, kebijakan lebih berpihak pada korporasi swasta, bahkan asing, dengan cara memberi karpet merah, terutama terhadap penguasaan lahan.

“Para calon presiden dan calon wakil presiden perlu memastikan kebijakan yang berbau kolonial ini harus diakhiri. Kalau tidak, pada saatnya kita semua harus menerima akibatnya: pertanian kian terpuruk, pelakunya kian miskin, dan pelan-pelan sektor ini ditinggalkan. Ketika itu terjadi, impor membengkak, banyak devisa melayang. Sementara menggantungkan pangan pada impor atau pasar dunia amat riskan. Kecenderungan sikap proteksionis negara-negara eksportir pangan akan membuat instabilitas harga pangan jadi keniscayaan dan krisis pangan bakal berulang,” pungkasnya.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah