Oleh Saibansah Dardani
AWAL tahun 1992 lalu, saya mengenal sosok wartawan muda bertubuh subur, tapi enerjik. Ade Adran Syahlan. Saat kami masih sama-sama menjadi wartawan muda Harian Pagi Riau Pos Pekanbaru Riau. Kantor kami saat itu masih di sebuah gudang di Jalan Kuantan Raya.
Ade, demikian putra pegawai negeri sipil itu biasa disapa, menjadi wartawan muda desk olahraga di Riau Pos, sambil kuliah ekonomi di Universitas Riau (Unri). Saya, juga wartawan muda, tapi desk ekonomi sambil kuliah manajemen di Universitas Terbuka (UT).
Meski beda desk liputan, tapi kami selalu berinteraksi saat rapat redaksi sore hari. Juga waktu malam hari, saat sama-sama menulis berita. Kantor kami saat itu, di lantai dua. Hanya seukuran sekitar 20 x 25 meter. Di lantai satu, gudang untuk tempat mesin cetak koran merek Heidelberg buatan Jerman.
Meski bekas, tapi saat itu, inilah mesin cetak koran satu-satunya yang ada di Pekanbaru Riau. Dengan mesin cetak bekas Jawa Pos itulah, kami para wartawan Riau Pos yang rata-rata masih berusia muda, begitu semangatnya membangun perusahaan pers yang sehat dan menjadi yang terbesar di Sumatera.
Ada Kazzaini Ks, ada Mostamir Thalib, ada Taufik Muntasir alias Ace, ada Helmi Burman, ada Harianto, ada Sofyan Samsir, ada Amzar, ada Mai Irianta dan beberapa nama wartawan muda lain lagi.
Pemimpin Redaksi Riau Pos saat itu masih dijabat langsung oleh Rida K Liamsi. Sosok wartawan senior alumni Majalah Tempo. Saya memanggilnya Pak Rida. Ade adalah wartawan olahraga yang selalu dibanggakan oleh Pak Rida. Karena ketekunannya dalam meliput berita-berita olahraga. Juga produktif sekali.
Untuk bisa menulis satu berita sepak bola saja, Ade sanggup meliput dari sejak pertandingan belum dimulai, sampai selesai. Begitu sampai kantor, Ade pasti sudah membawa pulang 5-10 berita olahraga. Begitu produktifnya. Maka, tak heran jika sebagai bos, Pak Rida sayang dan bangganya dengan Ade.
Persahabatan kami semakin erat, karena selain selalu bertemu di kantor, rumah Ade juga dekat dengan kos saya di Jalan Cemara Gobah Pekanbaru. Di tahun 1992 itu, Ade meliput berita dengan naik sepeda, saya masih jalan kaki. Dari Gobah saya jalan kaki ke Jalan Kuantan Raya. Kalau pas lagi beruntung, saya dibonceng Ade naik sepeda genjotnya.
Kadang-kadang, Ade naik sepeda motor ayahnya, kalau pas lagi tidak dipakai kerja. Ade biasa pulang dari kantor di Jalan Kuantan Raya Pekanbaru pukul 10 atau 11 malam. Sedangkan saya, lebih memilih jadi “doktor” alias mondok di kantor. Saya lebih suka nginap di kantor, meski bising dengan suara mesin cetak.
Lima tahun kemudian, pada 1997 saya ditugaskan oleh Pak Rida menjadi Kepala Perwakilan Riau Pos di Jakarta. Saya berpisah dengan Ade yang tetap bertugas di Pakanbaru. Melihat dinamika dunia pers di Jakarta, akhirnya pada 1998 saya memutuskan untuk pindah kerja di Majalah Warta Ekonomi yang saat itu masih dimiliki oleh Jusuf Kalla bersama dengan Ir. Fadel Muhammad.
Di tahun 1998 itulah, Ade ke Jakarta untuk tugas beberapa hari. Menginap di Hotel Saleh di kawasan Utan Kayu Jakarta, bersebelahan dengan markas wartawan Tempo. Kebetulan, saat itu saya menyewa rumah di depan Kampus Universitas Islam Jakarta (UIJ) Utan Kayu Jakarta. Saya memilih kontrak di sana, karena istri saya sedang kuliah di Fakultas Hukum UIJ.
Di tahun 1998 itulah saya kembali berjumpa dengan Ade. Pertemuan singkat, hanya beberapa jam, untuk melepas kangen dan saling bertukar kabar saja. Masih seperti yang dulu, Ade adalah sosok yang penuh semangat dalam berbicara, khas wartawan olahraga. Menyenangkan. Berbincang denganya tidak terasa waktu berlalu.
Setelah pertemuan di Jakarta itu, saya baru bertemu lagi dengan Ade saat saya pindah ke Batam menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian LANTANG. Pertemuan kami semakin sering, untuk sekadar ngopi dan berdiskusi banyak hal. Saya senang ngopi dengan Ade, karena banyak sekali ide-ide dan gagasannya.
Kami seumuran, Ade kelahiran 1971 dan saya kelahiran 1972. Kami satu angkatan saat memulai karir jurnalistik di Harian Pagi Riau Pos, bersama satu orang lagi sahabat kami, Ir. Amzar, mantan Pemimpin Redaksi Batam Pos. Amzar lebih dahulu mendahului kami berdua. Allahummaghfirlahuu.
Sebelum saya bekerja di media siber, BATAMTODAY.COM dan jauh sebelum saya membangun J5NEWSROOM.COM, Ade telah menyampaikan gagasanya membangun media siber. Termasuk, mengenai bagaimana pengembangan dan sumber-sumber penghasilannya. Ade memang unik, liputannya dari sejak muda sampai tua, adalah desk olahraga. Tetapi, naluri bisnisnya terbangun sejak dia kuliah ekonomi di Unri.
Maka, wajarlah jika manajemen Riau Pos menugaskannya berangkat ke Batam untuk membangun koran Batam Pos dan Posmetro Batam. Ade pensiun saat di Posmetro Batam. Seluruh perjalanan karirnya, di Jawa Pos Group. Ade tidak pernah bekerja di media lain di luar group itu. Ade adalah sosok yang loyal, setia dan sayang pada keluarga.
Kami sering berbincang mengenai anak-anak kami. Ade begitu semangat saat berbicara soal anak gadis pertamanya yang masih kuliah di Jember, mengambil jurusan analis kesehatan. Lalu, disusul anak gadis keduanya yang kuliah di Undip Semarang.
“Macam mana anak gadismu yang kuliah di Jerman, Ban?” Begitulah gaya bicaranya.
Setelah pensiun, Ade harus kontrol kesehatannya di Rumah Sakit Awal Bros Batam. Kami pernah ngopi sebelum dia kontrol kesehatannya. Kami ngopi di kedai kopi bekas Kantor LANTANG di Sei Panas Batam. Masih seperti dulu, semangat. Meskipun Ade mengaku bahwa dirinya sudah tidak bisa seperti dulu lagi.
Terakhir, kami ngopi di Kedai Kopi Ameng Tiban, 11 Juli 2023, selang sehari sebelum hari ulang tahun saya ke-51 lalu, 11 Juli. Saat itu, Ade bercerita mengenai kegiatannya sekarang ini yang sedang menghafal Al Quran dan didaulat menjadi “imam cadangan” di masjid dekat rumahnya. Alhamdulillah.
Saat itu, saya mengulik kenangan kami berdua, termasuk dengan bu Syamsiah, ibunda Ade.
“Ado yang kirim salam, mak”.
Lalu, Ade mengirim foto kami berdua ke ibundanya tercinta.
“Saiban.” Wanita penyabar yang ramah itu pun langsung menyebut nama saya.
“Salam kembali, De”.
“Iyo, Saiban kirim salam tadi. Apa ingat ibumu sama aku, katanya.”
“Omak lah sampai Batam, tapi belum merapat,” jawab ibunda Ade.
Pertemuan saya terakhir dengan ibunda Ade di Rumah Sakit Awal Bros Batam. Saat itu, Ade sedang menjalani perawatan medis. Kami pun bisa saling melepas kangen dan kenangan, saat saya sering main ke rumah Ade di Gobah Pekanbaru. Kamar Ade penuh dengan koran-koran dan kliping koran. Maklum, ayah Ade yang bekerja di Pemprov Riau itu hobi membaca koran dan pernah bertugas menjadi humas.
Lalu, Rabu 17 Januari 2024 saya membaca pesan pendek yang dishare Bos Anto di grup WA Forum PWI Kepri. Isinya, sahabat saya Ade Adran Syahlan meninggal dunia di usianya ke-53 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Selamat jalan De.
Masih aku simpan WA terakhirmu, yang kau kirim 18 Desember 2023. “Kalau aku ikut milih maka menanglah Saiban.”
Ternyata, itulah suara hati terakhirmu De, untukku.
Sekali lagi, selamat jalan De. Sama seperti para tetanggamu yang bersaksi, sebelum melepas jenazahmu, kau adalah orang baik.
Aku pun demikian. Aku bersaksi persabatan kita 30 tahun lebih, cukuplah menjadi bukti bahwa kau memang orang baik De.
Allahummaghfirlahuu ya rabb.
Editor: Agung