Oleh Tony Rosyid
“I LOVE you almost full abah”. Kalimat ini keluar dari mulut manis seorang remaja putri Gen Z. Usianya kira-kira 17 tahunan. Remaja putri ini tidak sendiri. Ia bersama komunitasnya. Jumlahnya puluhan juta. Komunitas Gen Z.
Mereka tampak begitu antusias dan mengagumi Abah, panggilan Anies Baswedan bagi TikTokers. Bicara bahasa Inggrisnya lancar, layaknya anak-anak remaja yang sadar akan masa depan bangsanya.
Kenapa mereka panggil Abah? Karena Anies telah mereka anggap sebagai “abah” atau “ayah” bagi mereka sendiri. Lihat bagaimana manjanya mereka ketika bicara dengan Anies. Layaknya bicara dengan ayahnya sendiri. Gak ada sedikit pun rasa canggung. Gak ada rasa sungkan dan segan. Betul-betul seperti ayah sendiri. Ayah yang begitu dekat, setia menemani dan mendengar perasaan serta pikiran anak-anaknya.
Abah hampir selalu ditemani istri tercintanya. Kemana pun pergi, istri sering sekali setia mendampingi. Ini mengesankan sosok Abah yang menjaga harmoni keluarga. Sesekali Mutiara, sang putri ikut. Sebuah keluarga yang ideal di mata anak-anak remaja. Mereka butuh keluarga yang harmonis. Dari sini kasih sayang akan mengalir untuk bisa mereka rasakan. Di usia remaja, mereka butuh kasih sayang nyata dari sosok abah untuk menjadi energi dan semangat.
Mereka betul-betul merasa menemukan ayahnya. Ayah masa depan. Ayah yang tahu hati dan perasaan mereka. Ayah yang mengerti akan masa depan mereka. Ayah yang melayani dan bisa tersenyum bersama mereka. Ayah yang selalu punya waktu untuk mereka dan mau berdiskusi tentang masa depan mereka. Ayah yang menjadi tempat mereka bersandar. Itulah kenapa Anies dipanggil abah.
Anies bukan hanya abahnya Mutiara (putri pertama Anies). Tapi Anies sudah menjadi abah buat anak-anak remaja Indonesia. Anies adalah abah bagi Gen Z. Abah yang akan mengantarkan mereka menapaki rute menuju masa depan bangsa.
Pertemuan Anies dengan Gen Z begitu alami. Natural sekali. Bermula dari live TikTok. Ini ruang yang banyak diisi anak-anak generasi Gen Z. Meledak! Jutaan yang nonton. Gen Z merasa menemukan sosok abah. Penyayang kepada anak-anak. Seorang abah yang sangat terbuka. Melayani dialog dengan tenang, sabar dan rileks. Membuat anak-anak remaja seperti berada dalam pelukan sang ayah. Terasa nyaman sekali. Kelihatan alami dan tidak dibuat-buat.
Setiap live Tiktok, pesertanya makin membeludak. Begitu banyak anak-anak yang ingin menemukan kembali ayahnya. Mayoritas anak-anak Gen Z. Anak-anak ini gak ada urusan dengan politik. Gak peduli dengan urusan pilpres. Mereka hanya tahu bahwa sosok abah ini begitu peduli terhadap mereka. Abah ini sangat mengerti dan mengayomi mereka. Ini yang membuat mereka merasa begitu nyaman dengan abah.
Untuk mengekspresikan rasa cintanya kepada abah, mereka “patungan”. Kumpul-kumpul uang. Mereka sewa space dan memasang videotron. Gak tanggung-tanggung. Mereka sewa space di Bundaran HI. Ini pusatnya pusat Ibu Kota Jakarta. Satu lagi di Bekasi. Sayang sekali, gak begitu lama, videotron itu di-takedown. Diturunkan.
Mereka patungan lagi dan pasang lagi. Kali ini, mereka pasang di kota-kota besar lainnya. Di Surabaya, Medan dan Maluku. Mungkin akan menyusul di kota-kota besar lainnya di Indonesia. “Turun Satu Tumbuh Seribu”, kata mereka.
Kontras! Abah mengayomi, yang lain memusuhi. Abah melindungi, yang lain menghantui. Abah mencintai, yang lain membenci. Inilah yang membedakan abah dengan capres lainnya. Di mata mereka, Anies memang abah yang berbeda. Ayah yang membuat mereka nyaman, bukan yang mengancam. Sangat masuk akal kalau kemudian mereka dengan sangat manja bilang: “Abah, i love you almost full”
Saat dimaki dengan kata “ndasmu etik” dan “bodoh”, abah malah merespons dengan kata “matur Nuwun Pak”. Makian kepada abah ditanggapi dengan senyum dan reaksi yang sangat tenang. Kesabaran dan kebersahajaan inilah yang menarik buat generasi Z untuk dijadikan keteladanan.
Anak-anak Gen Z ini pun rela berombongan datang ke acara “Desak Anies”. Mereka membawa foodtruck. Di saat pihak lain bagi-bagi uang dan sembako, anak-anak remaja ini justru membawa truk isi makanan. Sebuah perlawanan kreatif dan humanis ala Gen Z terhadap money politics yang dilakukan sosok lainnya.
Ada dua pesan yang ingin disampaikan oleh Gen Z ini: pertama, jangan bodohi kami. Bagi-bagi uang dan sembako itu pembodohan. Generasi muda butuh masa depan, bukan bagi-bagi uang. Itu sungguh merendahkan.
Kedua, jangan rusak mental kami. Kami butuh masa depan negeri ini. Karena itu, kasih semangat buat kami. Bagi-bagi sembako telah membunuh semangat dan etos kerja kami.
“Anies Bubble” telah menjadi fenomena baru yang secara alamiah telah menjadi perlawanan anak-anak Generasi Z terhadap mereka yang menjadikan Indonesia ini “horor” dan “menakutkan”. Anak-anak Generasi Z ini telah menyampaikan pesannya bahwa mereka butuh kasih sayang dengan mengangkat sosok “abah” di tengah banyak sosok yang selalu tampil dengan menebar ancaman terhadap masa depan mereka.
Turunkan baliho dan take down videotron. Sosok-sosok yang hanya tahu kekuasaan, tapi tidak mengerti arti masa depan buat mereka. Di saat gundah inilah mereka menemukan sosok idola yaitu Abah. “You are my idol, abah…”.*
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa