Ketiga Cawapres Dinilai Belum Jamin Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Tiga Cawapres RI: Muhaimin Iskandar (tengah), Gibran Rakabuming Raka (kanan) dan Mahfud MD, dalam debat terakhir pemilihan wakil presiden di Jakarta Convention Center (JCC) di Jakarta, 21 Januari 2024. (Yasuyoshi CHIBA / AFP)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Masyarakat adat, yang merupakan salah satu kelompok minoritas di Indonesia, dari tahun ke tahun masih harus berjuang untuk mempertahankan ruang hidup mereka, akses pada lahan dan tentunya jadi diri serta nilai-nilai adat dan tradisi mereka. Semua ini terus tergerus seiring semakin cepatnya roda pembangunan yang mensyaratkan pembukaan lahan dan memicu konflik dengan kelompok masyarakat ini.

Isu masyarakat adat ini ikut dibahas dalam debat calon wakil presiden (cawapres) pada hari Minggu (21/11) di cawapres) pada Minggu (21/1) di Jakarta Convention Center JCC Jakarta.

Ketika itu cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, mengatakan salah satu upaya agar tidak terjadi konflik antara proyek pembangunan nasional dengan masyarakat adat adalah dengan tidak meninggalkan masyarakat adat dalam setiap pengambilan keputusan.

“Menghormati masyarakat adat adalah dengan memberikan ruang, hak ulayat, hak budaya dan hak spiritual, hak dan kewenangan menentukan cara mereka membangun,”ujar Muhaimin.

Gibran Rakabuming Raka, cawapres nomor urut 2 ingin, ketika itu menjanjikan upaya untuk terus mendorong RUU Masyarakat Hukum Adat yang hingga saat ini tidak kunjung disahkan. Menurutnya dialog harus sering dilakukan dengan para tokoh adat, kepala adat dan tokoh masyarakat setempat.

“Jadi jangan sampai ketika ada pembangunan yang masif atau ada PSN (proyek strategis nasional) jangan sampai masyarakat adat ini tersingkirkan, justru harus dirangkul dan diberikan manfaat yang sebesar-besarnya,” kata Gibran.

Sementara cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, menyampaikan sejumlah fakta bahwa masyarakat adat semakin tersingkirkan oleh pembangunan.

“Apa yang harus kita lakukan? Strateginya adalah penertiban birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum,” ujarnya.

AMAN: Belum ada Jaminan Solusi Bagi Masyarakat Adat

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menilai ketiga cawapres sebenarnya cukup tahu permasalahan masyarakat adat, namun tidak satu pun memberikan jaminan solusi nyata jika kelak mereka memimpin negara ini.

“Namanya orang sedang mencari dukungan pasti akan omong banyak. Kita sudah belajar dengan Jokowi bahwa ada nawacita 2014 itu, enam nawacita tapi kan karena justru tidak ada UU masyarakat adat, karena tumpang tinding UU dan peraturan lainnya, kemudian pembangunan yang bertumpu pada ekstraktif sumber daya dan perampasan wilayah adat jadi justru 8,5 juta hektar wilayah adat terampas,” ungkapnya kepada VOA, hari Senin (22/1).

Kondisi masyarakat adat saat ini, kata Rukka, semakin terhimpit. Berbagai produk hukum yang lahir justru melegalisasi agenda investasi dan pembangunan berskala besar; sebut saja UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara, UU Ibu Kota Negara, dan berbagai produk hukum lainnya yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat.

AMAN: 687 Orang Dikriminalisasi dalam Sepuluh Tahun Terakhir

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, AMAN mencatat ada sekitar 687 orang anggota masyarakat adat yang dikriminalisasi. Rukka mencontohkan kasus penangkapan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah, kasus perampasan wilayah adat O Hangana Manyawa di Halmahera Timur hingga ancaman pengalihan tanah masyarakat adat suku Balik di Penajam Paser Utara untuk menjadi Ibu Kota Nusantara.

Perampasan wilayah-wilayah adat ini, lanjutnya, juga memicu kekerasan terhadap perempuan adat dan membuat mereka semakin miskin.

Lebih jauh Rukka mengatakan AMAN sudah sepuluh tahun lebih memperjuangkan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang dinilai sangat penting untuk memberi kepastian hukum bagi kelompok minoritas ini, namun hingga kini tak kunjung disahkan.

“Karena ketiadaannya (UU tentang Masyarakat Adat), kemudian yang lahir selama ini adalah UU yang digunakan untuk ekstraksi khususnya UU sektoral yang itu kemudian karena tidak ada kepastian hukum masyarakat adat, tidak ada UU masyarakat adat maka wilayah-wilayah itu dianggap wilayah kosong, tidak ada pemiliknya dan diklaim milik negara. Dan itulah penyebab rampasan wilayah adat. Masyarakat adat kemudian banyak tergusur kemudian hilang wilayah adatnya,” kata Rukka dengan juga menjelaskan bahwa jika masyarakat adat menolak dan mempertahankan wilayah adatnya tambahnya dianggap melanggar hukum dan terjadilah kriminalisasi.

Rukka berharap pemerintah yang terpilih nanti dapat menggolkan Undang-Undang Masyarakat Adat dan sekaligus mereformasi hukum dan kelembagaan khusus tentang masyarakat adat untuk mengatasi sektoralisme.

Hingga laporan ini disampaikan upaya VOA untuk mendapatkan komentar Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya tentang isu ini masih belum membuahkan hasil.

Kelompok Minoritas Tanpa Kepastian Hukum

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal usul dan menempati wilayah adat secara turun menurun. Mereka memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan. Masyarakat adat hidup di dalam komunitas adat yang sarat nilai-nilai budaya dan tradisi tertentu.

Tantangan yang dihadapi kelompok masyarakat adat ini tidak kecil. Mereka membutuhkan perlindungan dan pengakuan atas keberadaannya, dan tentunya kepastian hukum. 

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah