Oleh Prijanto
KALIMAT kunci: “Sifat guyub, rukun, seduluran, saklawase yang dijadikan semboyan Alpajuli Darat, hakikatnya merupakan budaya bangsa Indonesia. Founding Fathers and Mothers Indonesia menggali nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, dijadikan fundamental norm Negara Kesatuan Republik Indonesia, salah satunya Persatuan Indonesia.”
Pemilu 2024 sudah diambang pintu. Hiruk-pikuk Pilpres secara langsung memenuhi atmosfer media yang patut dinilai penuh dengan pembelahan paradigma dalam kehidupan masyarakat, nyaris di semua strata.
Kehidupan sebelum reformasi dengan nilai-nilai sebagaimana yang dituntunkan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, saat ini terkubur, tenggelam oleh nilai liberalisme atau kebebasan dan individualisme, sehingga membelah kehidupan Persatuan Bangsa.
Alumni AKABRI Darat lulusan tahun 1975, yang membentuk Sekretariat Bersama Alumni Perwira Tujuh Lima Darat, disingkat dengan Sekber Alpajuli Darat, dalam reuni pada 17 Januari 2024 di Gedung Persada Halim Perdanakusuma Jaktim, selain melepas rasa kangen antarsesama teman, juga mengumandangkan pesan moral untuk bangsa dan negara.
Nama wadah Sekretariat Bersama dipilih, karena sewaktu taruna mereka terbagi dalam jurusan Tempur, Bantuan Tempur dan Bantuan Administrasi dan kini, sekretariat masing-masing jurusan bergabung menjadi satu, bersatu dengan semboyan: Guyub, Rukun, Seduluran, Saklawase.
Alpajuli Darat, dilantik Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pada 12 Desember 1975 di AKABRI Udara Yogyakarta, sejumlah 304 orang. Dalam perjalanannya, gugur 10 orang, wafat 126 orang, sehingga sampai dengan Januari 2024 masih ada 168 orang.
Lulusan AKABRI Darat 1975, memiliki tokoh sampai jenjang Panglima TNI, yaitu Jenderal TNI Djoko Santoso (alm). Sedang yang mendapat kepercayaan negara sebagai perwira tinggi pangkat Letnan Jenderal TNI ada 5 orang, yaitu Letjen Erwin Sudjono, Letjen Syaiful Rizal, Letjen Liliek AS Sumarjo, Letjen Rasyid Qurnain (alm) dan Letjen Syarifuddin Tippe (alm).
Walaupun usia sudah 72 tahun ke atas, namun baik pasangan suami istri maupun sudah sendirian, tampak sehat segar bugar. Semangat pengabdian kepada bangsa dan negara terekspresikan pada acara reuni ke-48 dengan menyanyikan lagu Hymne Taruna dengan background film Latihan Pertempuran Gabungan TNI, yang mampu menggugah semangat nasionalisme dan patriotisme.
Lagu yang mengutarakan sumpah kesetiaan dan kerelaan berkorban kepada bangsa dan negara, telah membangkitkan kembali jiwa korsa mereka sebagai sesama purnawirawan, demi persatuan Indonesia.
Petikan lirik lagu Hymne Taruna: Demi Allah Maha Esa; Kami nan bersumpah; Setia membela nusa dan bangsa; Tanah tumpah darah; dibawakan seluruh yang hadir, dengan nada yang penuh khidmat dan tulus.
Memang mereka bukan taruna lagi; namun sumpah yang mereka lantunkan dalam hymne sejak tahun 1972 ketika masuk AKABRI Darat tak pernah tercerabut dari hati sanubarinya. Sejak lulus menjadi perwira, sampai kini purnawirawan, akan terus melekat sampai dengan tembakan salvo di samping telinganya tak bisa lagi didengarnya.
Tagline di akhir film hymne: Mari Kita Kawal dan Laksanakan Pancasila dan UUD 1945 Dalam Berbangsa dan Bernegara, sebagai ajakan Alpajuli Darat, kiranya patut menjadi bahan untuk direnungkan dan diresapi bagi siapa pun yang membaca dan mendengarkannya.
Kecintaan terhadap Indonesia pun diekspresikan oleh 23 orang purnawirawan dan istrinya; si bapak berjaket kulit bak macan tidar menutupi usia senjanya, menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa secara artistik, lirik demi lirik dinyanyikan secara bersahutan penuh rasa cinta kepada tanah air.
Ketika pada akhir refrain, musik yang dimainkan oleh Band Aula Telur dari purnawirawan Alpajuli Darat, merupakan pemain band semasa taruna, yaitu Mayjen Wing Wirjono Budiharso, Mayjen Cecep Djiwapradja, Brigjen Adi Suranto dan Brigjen Santosa Maha, menghentikan musiknya, dan Mayjen Prijanto menyisipkan pesan moralnya:
Ernest Renan, filsuf Perancis, pada abad 18, mendefinisikan Bangsa sebagai kehendak untuk bersatu dan bernegara dengan penuh rasa kesetiakawanan yang agung. Semboyan keluarga besar Alpajuli Darat, guyub, rukun, seduluran, saklawase, merupakan budaya bangsa Indonesia, yang oleh founding fathers and mothers Indonesia dikristalisasikan sebagai salah satu fundamental norm Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Persatuan Indonesia.”
Tatkala kata terakhir, Persatuan, seluruh yang hadir menyahut dengan penuh semangat “Indonesia!” Yah, Persatuan Indonesia salah satu sila dari Dasar Negara Indonesia, merupakan faktor utama terbentuknya Bangsa dan Negara Indonesia, telah dikumandangkan pada Reuni ke-48 Alpajuli Darat.
Jika masa lalu untuk menguasai Indonesia, Belanda menggunakan politik adu domba untuk memecah belah atau devide et impera, kini, pada masa perang modern atau perang asimetris pun, politik adu domba untuk memecah belah dan menguasai Indonesia, dilakukan dalam bentuk mengubah paradigma bangsa.
Nilai-nilai Pancasila, diganti liberalisme dan individualisme. Cara “musyawarah” diganti dengan “debat”, yaitu adu segalanya, dengan segala cara tidak peduli haram atau halal, dengan prinsip tujuan harus tercapai karena memang debat bagian dari sistem liberalisme atau kebebasan dan sifatnya individualistis.
Dari hasil debat, para ahli komunikasi, psikologi, politik, sosiologi, hukum, lembaga survei, buzzer dan influencer politik, netizen, dukun, paranormal dan lain-lain, berhamburan menganalisa dan memberi nilai sesuai kemampuan, dan kepentingannya.
Yang pasti menurut pendapat penulis dari perbedaan-perbedaan dan cara-caranya, telah memberikan dampak terjadinya pembelahan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Persatuan Indonesia saat ini, ada gelagat nyaris terbelah. Apabila kita ingin Indonesia tetap bersatu, tinggalkan sistem liberalisme dan individualisme, dengan cara kembali ke UUD 1945, untuk disempurnakan dengan adendum.
Dengan demikian, Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap berdiri tegak dan kokoh. Insyaallah. Aamiin.*
Penulis adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012