Oleh Tony Rosyid
BLUNDER! Debat kedua Gibran Rakabuming Raka super blunder. Bukan soal materi, tapi lebih ke masalah etika. Etika dalam debat. Terutama etika anak muda kepada orang tua.
Pencalonan Gibran yang dianggap publik cacat hukum, baik di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di debat terakhirnya justru Gibran dinilai cacat etik. Apalagi jika dikaitkan dengan unggah-ungguh dan sopan santun dalam tradisi Jawa.
Gibran melakukan tindakan yang jauh dari pantas kepada orang yang jauh lebih sepuh darinya. Mahfud MD adalah seorang profesor. Beberapa kali menjadi pejabat tinggi dan usianya sudah 67 tahun. Gibran yang usianya tidak lebih dari 37 tahun memperlakukan Mahfud sebagai orang tua yang seolah-olah bodoh.
Atraksi Gibran yang membungkuk dan kepala celingak-celinguk dengan tangan di depan dahi seolah fokus dan serius mencari jawaban dari Mahfud. Kata Gibran: “Saya cari kesana kemari, saya tidak menemukan jawaban dari Prof Mahfud”. Intinya: Jawaban Mahfud dianggap tidak nyambung. Mahfud tidak paham pertanyaan dari Gibran.
Kalau jawaban Mahfud direspons dengan komentar tidak nyambung, itu bukan sauatu masalah serius. Kalau toh masalah, itu tidak seberapa. Tapi yang membuat publik sangat marah karena Gibran merespons dengan aksi teatrikal. Ini dianggap publik sebagai sikap melecehkan.
Lihat mimik wajah Mahfud yang terpampang di kamera. Terlihat begitu tampak menahan marah. Rasa marah yang tertahan kemudian keluar dengan kata-kata: “ini pertanyaan recehan, gak perlu saya jawab”. Ketika moderator mempersilahkan Mahfud untuk meneruskan tanggapannya di sisa waktu yang masih ada, Menkopolhukam Pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi ini dengan tegas mengatakan: “tidak perlu saya jawab”.
Sungguh sebuah tontonan yang membuat publik terkejut. Sebuah tontonan yang memalukan dan memilukan. Tak menyangka tindakan tidak layak seperti itu bisa dilakukan oleh seorang cawapres.
Apalagi, itu di lakukan di depan kamera yang ditonton puluhan juta orang. Di acara resmi debat cawapres. Meski Gibran adalah anak presiden dan Mahfud adalah menteri yang ditunjuk oleh bapaknya, tapi tidak ada hak dan kepantasan untuk mempermalukan seorang profesor dan tokoh NU ini di depan publik. Dalam hal ini, posisi Gibran adalah cawapres. Satu level dengan Mahfud. Bukan sebagai anak presiden.
Andai saja Gibran merespons dengan kalimat: “mohon maaf Prof Mahfud. Bukan itu yang saya maksud. Mungkin Prof Mahfud agak salah paham dengan pertanyaan yang saya ajukan. Izin, kalau boleh saya ulang lagi pertanyaan saya Prof….” Kalau kalimat ini yang disampaikan Gibran, maka akan luar biasa. Tapi sayang…,
Publik mulai menebak-nebak kenapa Gibran bisa bertindak sefatal itu. Ada yang mengkaitkannya dengan masa pertumbuhan dalam hidup Gibran. Mungkin karena ia sejak kecil hidup dalam privillage sang ayah yang karirnya sangat bagus. Gibran jadi anak walikota dua periode, anak gubernur hingga anak presiden dua periode. Mereka yang terbiasa hidup dari kecil dengan keistimewaan, maka cenderung suka-suka dalam bersikap. Ahli psikologi-lah yang punya otoritas untuk menjelaskan hal ini.
Beberapa kali Gibran menyinggung contekan Muhaimin Iskandar. Tidak sampai di situ, Gibran juga tiga kali menyebut nama Tom Lembong. Orang yang oleh Gibran dianggap sebagai mentor Muhaimin dalam debat. Seolah Gibran ingin memberi kesan: “meski telah kau ajari, Muhaimin tidak bisa melawanku”.
Ini boleh diartikan sebagai bentuk kekecewaan dan mungkin kemarahan Gibran ketika Tom Lembong menyeberang ke kubu Anies-Muhaimin. Sebelumnya, Tom Lembong berada dan menjadi orang penting di kubu Jokowi.
Dari debat kedua cawapres, ada kesan yang begitu kuat di mata publik akan adanya arogansi Gibran. Mungkin karena di debat pertama, Gibran diunggulkan atas Mahfud dan Muhaimin. Di debat kedua, Gibran merasa lebih percaya diri. Tapi sayangnya, Gibran over confidence. Ini masih tidak masalah. Yang menjadi masalah ketika Gibran mengeluarkan kata-kata dan bertindak yang oleh publik dibaca kesannya sebagai bentuk merendahkan kepada lawannya. Dan lawannya adalah dua tokoh penting dari NU. Satunya profesor, satunya lagi cucu pendiri NU.
Sikap dan tindakan Gibran bisa menjadi petaka bagi elektabilitas 02. Dengan sikap Gibran ini, banyak yang memprediksi akan terjadi migrasi suara. Suara 02 bisa beralih ke 01 dan 03. Karena pada dasarnya, masyarakat Indonesia tidak suka sikap arogan.
Sebanyak 10-15 persen mereka yang belum menentukan pilihan akan sulit untuk bersimpati ke Gibran. Mereka meragukan kematangan emosional Gibran.*
Sumber: RMOL
Penulis adalah pemerhati sosial politik