J5NEWSROOM.COM, Jakarta – “Yang kasih bansos dan BLT (bantuan langsung tunai) siapa? (Pak Jokowi!). Yang suka sama Jokowi angkat tangan!! (Yaaa)…”
Inilah petikan pernyataan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan ketika berkampanye di Kendal, Jawa Tengah, awal Januari lalu. Zulhas, demikian panggilan menteri perdagangan itu, berkampanye untuk pasangan calon presiden (capres)/calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Meskipun Zulhas, dan kemudian Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, menegaskan bahwa bantuan sosial (bansos) itu merupakan program afirmasi bagi rakyat miskin, dan tidak ada hubungannya dengan proses pemilu, polemik terlanjur meluas. Terlebih setelah pernyataan Zulhas yang viral itu, muncul pula foto dan video yang menunjukkan bantuan sosial berupa beras ukuran 10 kilogram dengan gambar pasangan Prabowo-Gibran. Bansos rasa pemilihan presiden (pilpres) itu ditemukan di banyak daerah di Jawa Tengah.
Koordinator Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan dan Perlindungan Sosial, PR Kependudukan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo, menjelaskan tren kenaikan anggaran perlindungan sosial setiap menjelang pemilihan umum.
Tahun ini saja ada kenaikan sekitar Rp400-an triliun dibanding tahun sebelumnya. Menurutnya tren kenaikan anggaran ini bukan hanya terjadi pada saat Pemilu 2024 ini, tetapi juga pemilu-pemilu sebelumnya.
Selain kenaikan anggaran bansos, di awal tahun terjadi pula pencairan dana bansos lain. Yanu menyebut Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan dan bantuan lainnya yang “cair” yang biasanya didistribusikan pada pertengahan tahun, atau bahkan akhir tahun; kini terjadi di awal tahun. Alasannya demi verifikasi atau pembaruan data penerima.
“Nah, ini (sekarang) semua ada empat bansos yang kemudian digelontorkan hampir bersamaan di akhir Januari atau beberapa minggu menjelang Pemilu. Satu, Program keluarga harapan (PKH). Kedua, bansos 10 kilogram beras yang cadangan pangan pemerintah. Ketiga, Program Indonesia Pintar dan keempat, bansos El Nino. Jadi bukan koinsiden sih, nampaknya ini sebuah desain yang memang menjadikan bansos itu bahan untuk kepentingan politik,” ungkapnya.
Bukan Hal Baru
Bansos merupakan bentuk kehadiran negara untuk melindungi mereka yang “miskin” atau “yang membutuhkan” dan merupakan bagian dari skema perlindungan sosial. Sumber dana program ini dari APBN. Mengingat tujuan program ini untuk memberi dampak secara langsung pada penerimanya, bansos menjadi sangat rentan dipolitisasi.
Yanu menilai ini bukan hal baru, dan terus terulang setiap menjelang pesta demokrasi. Dua masalah utama terkait bansos ini, tambahnya, adalah kebijakan dan penyaluran.
Banyak kementerian dan lembaga memiliki program bansos masing-masing. Bahkan di setiap level pun, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota mempunyai bansos masing-masing. Hal seperti inilah, lanjut Yanu, yang menyulitkan pengawasan dan memperluas tumpang tindihnya distribusi atau penyalurannya.
Belum lagi nama program dan bansos yang terus berganti sehingga sulit merekam peta jalan bansos yang benar-benar dijalankan pemerintah.
Dari riset yang dilakukannya pada pemberian bansos saat masa pandemic pada 2021 sampai 2022, ada lebih 23 nama bansos atau program bansos yang beredar. Sampai saat ini program bansos tersebut ada yang masih bertahan dan ada yang tidak.
Sementara dari sisi penyaluran, banyaknya kementerian dan lembaga yang memiliki program bansos masing-masing menyebabkan data kurang akurat dan pembaharuan data juga masih bermasalah sehingga banyak mal administrasi dan korupsi di dalamnya.
“Walhasil bansos terfragmentasi dan berpotensi digunakan untuk kepentingan masing-masing pihak yang berkepentingan. Berbeda kalau dia (bansos) lebih tersentralisasi atau lebih otonomi sekalian sehingga mudah dipantau,” jelas Yanu.
Lebih jauh, peneliti utama di BRIN ini menyarankan agar bansos tidak disalurkan pada masa Pemilu. Selain mencegah polemik politisasi dan personalisasi bansos, penangguhan distribusi akan mencegah berbagai konflik, prasangka dan kecemburuan sosial.
Bansos = Uang Negara
Diwawancarai secara terpisah pengamat politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno mengatakan pihak yang memberikan dan pihak yang menerima sedianya sama-sama menyadari bahwa bansos adalah uang negara. Ini penting agar bansos tidak dikaitkan dengan salah satu calon, partai atau figur tertentu.
“Bahwa bantuan yang diberikan negara kepada mereka, itu kewajiban negara dan hak rakyat. Oleh karena itu sehebat apapun bantuan sosial itu, jangan dimaknai dari pemberian penguasa. Penguasa dan pemerintah itu hanya sekedar perantara untuk menyalurkan bantuan itu kepada masyarakat,” ujarnya.
Adi mengingatkan agar elit politik tidak berupaya melakukan propaganda dan penggiringan opini terkait dengan bansos.
Penyaluran Bansos di Tahun Politik Hadapi Tantangan
Sementara itu, Kementerian Sosial mengakui proses penyaluran bantuan sosial menghadapi tantangan di tahun politik menuju Pemilu 2024. Berbagai upaya telah mereka lakukan, tetapi politisasi bansos tetap terjadi.
Staf Khusus Menteri Sosial Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Program, Suhadi Lili mengatakan pihaknya tidak bisa menjatuhkan sanksi langsung kepada dinas sosial yang membawahi pendampingan sosial. Secara struktur birokrasi, kepala dinas berada di bawah pemerintah daerah yang otonom. Kemensos hanya bisa menghimbau agar penyaluran bansos sesuai aturan.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah