J5NEWSROOM.COM, Yogyakarta – Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir menegaskan bahwa NU sudah seharusnya melakukan pembaharuan (tajdid),
“Sekarang NU sudah berusia satu abad lebih satu tahun. Itu sudah saatnya dilakukan tajdid (pembaharuan),” katanya saat Halaqah Nasional Strategi Peradaban NU di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, Senin (29/1/2024).
Kiai Afif mengutip hadits Nabi yang berarti, “Sesunggunya untuk umat ini, Allah ta’ala akan melahirkan pada setiap ujung 100 tahun dari padanya seseorang yang memperbaharui agamanya.” Barangkali hadits tersebut tidak saja ditujukan untuk pembaharuan agama, tetapi berlaku juga bagi jamiyah Nahdlatul Ulama.
“Ini menurut saya tidak hanya berlaku kepada agama Islam secara keseluruhan, akan tetapi juga bagi NU,” ujarnya.
Kiai Afif menyebut bahwa konsen PBNU menyelenggarakan halaqah fiqih peradaban di seluruh wilayah di Indonesia, itu mungkin merupakan salah satu bentuk pembaharuan alias tajdid dimaksud.
“Mungkin konsen PBNU dengan yang namanya fikih peradaban itu merupakan salah satu bentuk daripada tajdid, pembaharuan,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia menjelaskan tiga makna pembaharuan NU dalam pandangannya. Pertama, pembaharuan, menurutnya, adalah mengembalikan ke tujuan awal dibentuknya NU.
“Mengembalikan NU sebagaimana awal dia dilahirkan, seperti apa kondisinya NU saat itu, dikembalikan,” ujarnya.
Kedua, pembaharuan berarti menghidupkan perkara yang sudah tidak lagi berdaya. “Barangkali ada elemen-elemen yang sudah tidak berdaya dalam NU, perlu dihidupkan,” katanya.
Ketiga, lanjut Kiai Afif, adalah memperbaiki hal yang sudah dianggap tidak baik. “Itu adalah beberapa bentuk daripada tajdid,” katanya.
“Alhamdulillah sudah ada gagasan fiiih peradaban ini. Sudah barang tentu yang dimaksud peradaban di sini adalah peradaban Islam atau Al Hadharah al Islamiyah,” katanya.
Selain Kiai Afif, halaqah yang dipandu Prof Ismail Fajri Alatas ini juga diisi oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, H Muhammad Cholil (COO Center for Shared Civilizational Values, North Caroline, Amerika Serikat), dan Prof Robert W Hefner (Universitas Boston, Amerika Serikat).
Editor: Agung