Oleh Imam Shamsi Ali
ADA tiga tingkatan kehidupan manusia yang saling terkait dan menentukan. Yaitu kehidupan individual (al-fard), kehidupan keluarga (al-usrah), dan kehidupan komunal (al-ijtima’i). Dalam kehidupan individualnya manusia dituntut untuk melakukan banyak hal. Secara duniawi mereka perlu makan, minum, istirahat, dan seterusnya. Secara agama mereka harus sholat, puasa, dzikir bahkan qiyamul lail dan seterusnya.
Kehidupan keluarga juga menjadi sangat penting. Sebab dalam pandangan Islam keluarga memang diposisikan sebagai fondasi kehidupan komunal (publik). Sehingga dalam pandangan Islam dapat dikatakan bahwa sebuah bangsa bagaimanapun kuatnya secara ekonomi, politik bahkan militer, tapi mengalami banyak krisis keluarga, sesungguhnya bangsa itu berada di ambang kejatuhannya.
Sedemikian pentingnya keluarga dalam Islam sehingga dianggap sebagai sumber ketentraman hidup. Selain itu, dalam Islam regulasi atau aturan-aturan yang berkaitan dengan keluarga sangat rinci. Dari sejak mencari calon pasangan, menikah, melahirkan, hingga karena satu dan lain hal terjadi perceraian (hak-hak setelah perceraian) bahkan kematian Islam mengaturnya (hukum waris).
Namun tidak kalah pentingnya juga adalah kehidupan Komunitas (al-jama’i). Islam diyakini sebagai jalan hidup pastinya tidak saja mengatur kehidupan individu. Tapi juga memberikan petunjuk tentang kehidupan kolektif ini. Manusia adalah makhluk sosial dan Karenanya mereka memiliki naluri untuk hidup secara jama’i (sosial).
Oleh karena kehidupan kolektif adalah aspek kehidupan yang sangat penting maka wajar jika tatanan kehidupan kolektif itu juga diatur sedemikian rupa dalam ajaran Islam. Satu di antaranya adalah pentingnya imamah (kepemimpinan) yang memiliki acuannya dalam Islam.
Yang ingin saya garis bawahi kali ini adalah bahwa ketiga aspek kehidupan itu (fardi, usrah, jama’i) harus terbangun di atas fondasi yang solid. Sekiranya kehidupan itu dilustrasikan sebagai bangunan maka hal yang paling menentukan soliditasnya adalah fondasi dari bangunan itu. Fondasi kehidupan adalah akidah (al-iman).
Sebuah konsep yang telah disepakati oleh umat ini. Tanpa Iman kehidupan menjadi rapuh, apapun polesan-polesan indah yang melekat. Bagaikan bangunan yang dilengkapi dengan dekorasi-dekorasi yang indah tanpa fondasi yang kuat pastinya akan runtuh.
Iman dalam Islam didefenisikan dengan ragam defenisi. Salah satunya adalah hadits Rasulullahﷺ yang menyebutkan bahwa: “Iman itu bukan angan-angan dan bukan khayalan. Tapi apa yang tertanam kokoh dalam hati dan teraktualkan dengan amal”.
Di Al-Quran sendiri iman dijelaskan di berbagai tempat. Di ayat-ayat pertama surah Al-Anfal misalnya Allah menjelaskan siapa orang-orang beriman itu. Demikian pula di ayat-ayat pertama Surah Al-Mukminun dan ayat-ayat terlahir di Surah Al-Hujurat.
Yang ingin saya eloborasi singkat kali ini adalah defenisi Iman yang disebutkan di Surah Ibrahim ayat 24: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah memberikan contoh tentang “Kalimah yang baik” (Iman) bagaikan pohon yang baik. Akarnya kuat, rantingnya tinggi ke atas langit, memberikan buah-buahnya dengan izin Tuhannya. Demikianlah Allah memberikan perumpamaan bagi manusia untuk mereka berpikir”. Pada ayat ini Allah menyampaikan tiga karakter utama keimanan itu; akar kuat, ranting tinggi, dan memberikan buah-buah bagi manusia.
Pertama, bahwa keimanan itu memiliki akar yang kokoh. Makna akar pada ayat ini adalah keyakinan yang kuat. Bahwa orang yang memilki keimanan di hatinya dia akan memiliki pegangan kuat dalam kehidupannya. Dia takkan goyah oleh apapun dan bagaimana pun keadaan kehidupannya.
Kedua, bahwa keimanan itu memiliki cabang dan ranting yang tinggi ke atas langit. Hal ini memaknai bahwa kehidupan orang yang di hatinya ada iman itu tinggi dan akan nampak ke semua orang. Satu contoh yang terdekat saat ini adalah “kekuatan, kesabaran dan keberanian orang-orang Palestina di Gaza”. Mereka hanya 2.5 juta manusia. Tapi mereka sangat tinggi mempersaksikan makna keimanan dalam kehidupan mereka.
Ketiga, bahwa keimanan itu memberikan “buah-buahnya” bagi manusia. Buah yang dimaksud adalah aktualisasi dari konsep Islam sebagai “rahmatan lil-alamin”. Bahwa Islam itu bukan sekedar agama ritual untuk memuaskan kebutuhan spiritual individu-individu manusia. Tapi harus hadir menawarkan kontribusi bagi kehidupan di satu sisi. Sekaligus menghadirkan solusi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh dunia di sisi lain.
Dunia telah lama merindukan “tsamaraat” (buah-buah keimanan ini). Dunia merindukan kontribusi-kontribusi imaniyah seperti di masa silam. Orang-orang yang memiliki iman (al-Mukminuun) di masa lalu telah menghadirkan peradaban dunia yang dinikmati oleh alam semesta. Masanya kini kita tidak sekedar bangga dengan masa kegemilangan itu. Tapi kita harus kembalikan kegemilangan itu untuk terwujudnya kembali umat terbaik itu.
InsyaAllah!
Wallāhu ‘Alam bis-shawāb