J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui bahwa mata uang rupiah sedang mengalami tren melemah. Menurutnya, salah satu pemicunya itu adalah berbagai pemberitaan saat ini.
“Tapi kalau dalam jangka pendek ya ada faktor-faktor berita, faktor-faktor berita dalam 1-2 minggu terakhir yang berpengaruh terhadap tekanan nilai tukar , tidak hanya rupiah tapi (juga mata uang-mata uang lain di, red) seluruh dunia,“ ungkap Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, Selasa (30/1).
Perry menjelaskan berita-berita ini termasuk arah kebijakan Bank Sentral Amerika, yang juga dikenal dengan sebutan The Federal Reserve (The Fed). Pasar, kata Perry, sebelumnya memprediksi bahwa suku bunga The Fed akan mulai turun pada triwulan I atau II.
“Tapi ternyata FOMC kayaknya sabar untuk tidak buru-buru menurunkan Fed Fund Rate. Karena apa? Ekonominya masih tumbuh bagus dan inflasi intinya juga belum turun di bawah sasaran,” jelasnya. FOMC adalah Komite Pasar Terbuka Federal AS, yang merupakan badan utama kebijakan moneter The Fed.
Menurutnya, sinyal tersebut menghantarkan indeks dolar AS menguat ke kisaran di atas 103, dan menekan mata uang negara-negara lain, termasuk rupiah.
“Berita apa lagi? Eskalasi tensi geopolitik di Timur Tengah, dan di Laut China sehingga gangguan pasokan. Demikian juga kebijakan regulator China, yang supaya pasar sahamnya tidak merosot menghentikan peminjaman saham tertentu, tidak boleh lagi untuk soft selling. Berita-berita itu yang kemudian meningkatkan tekanan terhadap nilai tukar seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah,” paparnya.
Menyikapi tren pelemahan ini, menurut Perry, BI sebagai regulator akan terus melakukan intervensi, termasuk di pasar valas.
“Ke depan kami meyakini bahwa nilai tukar rupiah akan stabil bahkan akan ada kecenderungan menguat khususnya nanti pada paruh kedua tahun 2024 didukung dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global, kecenderungan penurunan yield obligasi negara-negara maju termasuk US treasury bond dan menurunnya tekanan penguatan dolar AS,” tegasnya.
Pasar Wait and See
Ekonom Indef Nailul Huda menyebut kondisi yang cenderung memanas jelang 14 Februari menjadi salah satu pemicu melemahya nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir ini. Menurutnya, kabar burung mundurnya sejumlah menteri, terutama menteri keuangan, bisa menjadi sentimen negatif dalam pergerakan rupiah kali ini.
“Karena spekulan ada. Kita kalau di pasar valas tidak hanya untuk yang berinvestasi jangka panjang tetapi juga spekulan. Biasanya kalau spekulan begini dia melihat gimana nih keadaan politik kita, siapa sih yang akan terpilih dan sebagainya, itu yang menjadi faktor penentu spekulan ini membeli rupiah atau tidak,” ungkap Nailul.
Senada dengan Gubernur BI, Nailul menyatakan bahwa arah kebijakan moneter di negeri Paman Sam juga berpengaruh kuat dalam pergerakan mata uang rupiah akhir-akhir ini.
“Karena The Fed tidak menurunkan Fed Fund Rate, para investor pada akhirnya memilih untuk menaruh uangnya dalam bentuk dolar AS di Amerika sana, dibandingkan dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Makanya permintaan untuk dolar AS cukup kuat. Ini yang mudah-mudahan sudah ada beberapa berita yang menyebutkan The Fed ingin melunak dan menurunkan Fed Rate-nya. Itu mungkin bisa menjadi momentum untuk kita memperkuat kembali rupiah. Tapi kita tidak tahu sampai kapan The Fed ini menahan suku bunganya yang cukup tinggi ini,” jelasnya.
Menurutnya yang bisa dilakukan BI untuk menstabilkan rupiah adalah dari sisi fundamental dengan cara memperkuat neraca perdagangan maupun neraca pembayaran, serta melakukan operasi pasar dengan menggelontorkan dolar AS di pasar uang sehingga jumlah dolar cukup banyak di pasaran dan harganya terdorong turun.
Terkait apakah rupiah nanti bisa tembus hingga Rp16.000, Nailul menjawab, hal tersebut bisa saja terjadi tetapi ia yakin hanya bersifat temporer.
“Kalau kita lihat bergerak ke angka Rp16.000 ketika ekspektasi pasar tidak memenuhi investor. Kemudian kalau kita lihat seperti faktor internal yakni gejolak politik menteri yang mundur dan sebagainya akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan rupiah. Dari faktor global saya masih berharap The Fed tidak menaikkan suku bunga acuannya dan bahkan kalau bisa turun sehingga bisa memperkuat rupiah kita. Jadi, ada kemungkinan menyentuh angka 16 ribu tapi mungkin akan temporer sehingga akan kembali lagi ke angka psikologisnya di angka 15.500,” jelasnya.
Sementara itu ekonom senior Chatib Basri memproyeksi bahwa The Fed kemungkinan menurunkan suku bunga acuannya pada paruh kedua 2024, sehingga kemungkinan besar rupiah akan menguat. Namun, secara umum ia melihat bahwa pergerakan rupiah masih stabil.
“Kalau dilihat exchange rate kita relatively stable. Kan range-nya ada dalam kisaran itu dan saya selalu melihat bahwa depresiasi rupiah itu masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara lain. Jadi kalau ada penurunan, 200 perak, contohnya, tidak apa-apa,” jawab mantan menkeu ini dengan singkat.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah