Gelombang Peringatan untuk Jokowi dari Berbagai Kampus Semakin Meluas dan Membesar

Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo (kedua kanan depan) serta civitas akademika UI mengkritik Jokowi, di Universitas Indonesia, Depok, Jumat (2/2/2024). (Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

J5NEWSROOM.COM, Surabaya – Jumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta terus mengkritik langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dinilai sudah membawa negara keluar dari rel demokrasi. Sejak diawali Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Petisi Bulaksumur pada 31 Januari 2023, jumlahnya kini terus bertambah dan meluas di berbagai daerah.

Pada Senin (5/2/2024), beberapa kampus menyampaikan seruan moral secara terbuka, yang intinya mengingatkan Jokowi untuk hati-hati. Di antaranya civitas akademika beserta sejumlah alumni Universitas Airlangga (Unair) dengan menggelar aksi “Unair Memanggil” menyoroti permasalahan demokrasi di negeri ini, di halaman Sekolah Pascasarjana Unair, Surabaya, Senin (5/2/2024).

Sedikitnya ada tujuh guru besar Unair yang juga mengikuti aksi tersebut, yaitu Prof Ramlan Surbakti, Prof Hotman Siahaan, Prof Henri Subiakto, Prof Abdul Hafid, Prof Annis Catur Adi, Prof Basuki Rekso Wibowo, dan Prof Thomas Santoso. Pada aksi tersebut, dibacakan pernyataan sikap bertema “Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik” oleh Prof Hotman Siahaan.

“Hal yang perlu diingat kembali oleh Presiden (Jokowi) bahwa legitimasi maupun dukungan rakyat kepada pemerintahannya semenjak 9 tahun lalu tidak bisa dilepaskan dari harapan bahwa Presiden akan menjalankan etika republik dan merawat demokrasi maupun pemerintahan yang bebas KKN,” kata Hotman.

Hotman melanjutkan, memasuki akhir masa pemerintahannya, Presiden Jokowi diharapkan bisa mengambil sikap yang tidak menodai etika republik maupun demokrasi. Mantan Dekan FISIP Unair itu juga menyerukan agar Presiden Joko Widodo selaku pemimpin tertinggi pemerintahan dan kepala negara dapat merawat prinsip-prinsip etika republik dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan, serta menghentikan upaya melanggengkan politik kekeluargaan.

Maklumat yang dibacakan Hotman juga menyerukan agar kemerdekaan politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sipil dijamin oleh negara. Sebab, kata dia, negara Indonesia ini milik semua rakyat, bukan milik kelompok atau golongan tertentu.

Maklumat yang dibacakan juga mengecam berbagai bentuk intervensi dan intimidasi terhadap mimbar-mimbar akademik di perguruan tinggi. Mereka juga meminta perguruan tinggi agar menjaga marwah, rasionalitas, dan kritisme kepada pemerintah demi tegaknya republik.

“Ini seruan yang kami lakukan hari ini. Kampus ini hanya memberikan seruan moral, kami tidak melakukan tindakan-tindakan politik praktis. Seruan moral ini sebagai bingkai dari seluruh moralitas bangsa ini dalam kerangka negara demokrasi,” ujarnya.

Presiden Jokowi diharapkan bisa mengambil sikap yang tidak menodai etika republik maupun demokrasi.

Dosen Ilmu Politik Unair, Airlangga Pribadi Kusman mengaku, pernyataan sikap tersebut sudah ditandatangani lebih dari 100 akademisi Unair, maupun kolega sejawat di luar Unair. Airlangga menegaskan, aksi tersebut merupakan respons terhadap dinamika politik yang terjadi saat ini.

“Pernyataan sikap ini berangkat dari keprihatinan kami sebagai insan akademik terhadap perkembangan yang berlangsung akhir-akhir ini. Karena kami melihat penyelenggara negara ini semakin lama semakin menjauh dari prinsip etika republik,” kata dia.

Civitas akademika Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta juga mengeluarkan kritikan terhadap Jokowi dalam deklarasi ‘Seruan Moral Kalijaga’, di Halaman Laboratorium Agama UIN Suka Yogyakarta, Sleman, DIY, Senin (5/2/2024).

Koordinator deklarasi ‘Seruan Moral Kalijaga’, Achmad Uzair mengatakan, menjelang Pemilu 2024 ini banyak perilaku yang menunjukkan sikap bertentangan dengan cita-cita ideal demokrasi, nilai-nilai luhur Pancasila, dan norma agama. “Ironisnya, itu dilakukan oleh aparatur negara,” kata Uzair yang juga dosen UIN Suka Yogyakarta tersebut.

Ditegaskan bahwa aparatur negara yang seharusnya bersikap netral untuk memastikan pemilu berjalan jujur dan adil, justru menunjukkan kecenderungan penggunaan instrumen kekuasaan demi kepentingan publik sesaat, kawan dekat, dan kekerabatan.

Uzair menuturkan bahwa pemilu sejatinya menjadi ruang transisi kepemimpinan yang deliberatif. Namun, lanjut Uzair, dengan mengamati fenomena mutakhir, justru mengalami degradasi sebagai ruang transaksional yang intimidatif.

“Kecenderungan ini bukan saja mereduksi institusi demokrasi sebatas legal-prosedural tanpa substansi, tetapi juga berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat pada negara dan membahayakan integrasi sosial,” jelas Uzair.

Sejumlah sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) juga menyampaikan Maklumat Kebangsaan yang terdiri dari anggota senat, guru besar, dan dosen. Mereka menyampaikan Maklumat Kebangsaan untuk menyikapi politik nasional yang dinilai telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan.

“Mencermati perkembangan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dewasa ini, utamanya terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Legislatif tahun 2024, maka terlihat dengan jelas telah terjadi penyimpangan, penyelewengan, dan peluruhan fondasi kebangsaan secara terang-terangan dan tanpa malu,” kata Prof Aidul Fitriciada Azhari membacakan maklumat Kebangsaan mewakili sivitas akademika UMS, Senin (5/2/2024).

Dalam pernyataan tersebut dijelaskan juga soal penyalahgunaan pranata hukum lewat Mahkamah Konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan yang berwatak nepotis dan oligarkis. Situasi itu diperburuk oleh praktik politik dari presiden yang tidak netral dalam kontestasi pemilu yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan secara masif.

Menurutnya, situasi tersebut menunjukkan bahwa kehidupan kebangsaan dan kenegaraan telah kehilangan adab dan etika yang mengancam masa depan demokrasi, supremasi hukum, dan terwujudnya keadilan sosial sebagaimana konstitusi.

Ratusan civitas akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) juga menyampaikan sikap keprihatinan dengan kondisi kebangsaan Indonesia. Mereka melihat tindakan Presiden Jokowi cawe-cawe dalam kegiatan pemilu, penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan fasilitas negara dan politisasi bantuan sosial menjadi gejala degradasi etika, nilai, dan moral.

Sejumlah guru besar, dosen, hingga mahasiswa serta alumni membacakan Petisi Bumi Siliwangi. Pembacaan petisi dibacakan oleh beberapa orang guru besar secara bergiliran dan mahasiswa. Guru besar yang hadir di antaranya yaitu Prof Cecep Darmawan, Prof Elly Malihah, serta Prof Amung Ma’mun.

“Kami forum civitas akademika UPI dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran moral menyatakan keprihatinan atas kondisi kebangsaan hari ini,” ucap guru besar UPI Cecep Darmawan saat membacakan petisi di hadapan sivitas akademika UPI, di Taman Partere.

Rentetan tindakan pengabaian etika, moral, dan nilai-nilai Pancasila serta pelanggaran norma konstitusi undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 ditampilkan oleh para pejabat publik tanpa rasa malu. Hal itu menunjukkan bingkai kebangsaan yang rusak dan kenegaraan hari ini.

“Tindakan cawe-cawe dalam pemilu, penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan fasilitas negara dan politisasi bansos untuk kepentingan politik elektoral, serta pelanggaran netralitas oleh para pejabat publik dalam pemilu menjadi gejala terdegradasinya nilai, moral, dan etika kebangsaan,” kata dia.

Di samping itu, ketidaknegarawanan presiden tidak selaras dengan ajaran trilogi kepemimpinan dari Ki Hadjar Dewantara Bapak Pendidikan Nasional yaitu “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”. “Artinya, tiga prinsip yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin ialah di depan memberi teladan, di tengah membangun ide atau gagasan, dan di belakang memberikan dorongan,” kata dia.

Dengan kondisi tersebut tidak memberikan pendidikan politik kebangsaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Apabila dibiarkan maka kondisi ini tentu berpotensi dapat memberikan ekses buruk terhadap tidak terlegitimasinya penyelenggaraan pemilu, meningkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu, dan lebih buruk dapat mengancam disintegrasi bangsa dan negara.

Dalam kesempatan yang sama, Majelis Wali Amanat (MWA) UPI mengatakan, Petisi Bumi Siliwangi merupakan gerakan kebangsaan dan bukan partisan. Oleh karena itu, suara guru besar, mahasiswa, dosen merupakan gerakan moral. “Ini adalah mimbar ilmiah atau gerakan moral kebangsaan, bukan gerakan politik, bukan gerakan partisan. Kalau membela salah satu partai politik itu namanya gerakan partisan. Ini adalah mimbar kebebasan sebagai warga negara,” ucap Ketua MWA UPI Asad Said Ali.

Saat ini, ia menilai penyelenggaraan pemilu tidak berpatokan kepada UUD 1945 dan peraturan. Namun, terlihat sangat berpihak dan nepotisme. “Penyelenggaraan negara itu ada patokannya yaitu UUD 1945 dan peraturan. Jadi apapun, termasuk pilpres itu muaranya di situ tidak boleh menyimpang dari UUD 45 dan peraturan. Yang terjadi sekarang adalah apa yang disebut dengan pelanggaran nepotisme dan keberpihakan,” kata dia.

Ini adalah mimbar ilmiah atau gerakan moral kebangsaan, bukan gerakan politik, bukan gerakan partisan.

Mantan wakil kepala BIN ini mengatakan, civitas akademika UPI ingin mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak melampui aturan yang berlaku. Sebab dampak yang ditimbulkan berpotensi menyebabkan chaos di masyarakat. “Kita ingin meluruskan, jangan sampai hal ini menimbulkan chaos seperti di zaman 1998, kita mencegah untuk tidak terjadi hal seperti itu. Jikalau diteruskan ini akan menjadi kegiatan yang anarki, seperti 1998,” kata dia.

Gelombang seruan penyelamatan demokrasi dari civitas akademika di berbagai kampus kini terus membesar. Seruan itu diawali oleh civitas akademika dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kemudian diikuti Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Andalas, dan beberapa yang lain. Kini, total sudah belasan kampus mengingatkan Jokowi untuk tidak bertindak kebablasan.

Sumber: Republika
Editor: Agung