Dua Tahun Invasi Rusia ke Ukraina: Biden Jatuhkan 500 Sanksi Baru

Dua tentara penjaga kehormatan Ukraina meletakkan karangan bunga dalam upacara di tembok peringatan pahlawan Ukraina di Kyiv, pada peringatan kedua invasi Rusia ke Ukraina. (Foto: AFP)

J5NEWSROOM.COM, Pasukan pertahanan Ukraina terus berusaha mengusir tentara Rusia yang menggempur negara mereka.

Pada Jumat (23/2), Presiden Amerika Serikat Joe Biden menandai peringatan dua tahun invasi Rusia ke Ukraina dengan mengumumkan pemberlakuan sanksi terhadap 500 individu dan entitas yang terkait dengan invasi tersebut dan yang terlibat dalam kematian pemimpin oposisi Kremlin, Alexey Navalny, di penjara Rusia. Menurut Biden, Presiden Rusia Vladimir Putin salah memperhitungkan keberanian rakyat Ukraina.

“…Dan Putin yakin bahwa ia dapat dengan mudahnya mengubur tekad dan mematahkan semangat rakyat Ukraina yang merdeka; bahwa ia bisa masuk ke Ukraina dan menaklukkan mereka. Dua tahun berlalu, dia tetap salah. Kyiv masih berdiri. Ukraina masih merdeka, dan rakyat Ukraina tetap tak tergoyahkan dan tak putus asa dalam menghadapi gempuran kuat Putin,” tegas Biden.

Biden menyampaikan bahwa ia telah bertemu dengan istri dan anak perempuan mendiang Navalny pada Kamis (22/2) lalu di California dan meyakinkan mereka bahwa ia akan memastikan Putin mendapat ganjaran atas apa yang ia sebut sebagai “agresi Rusia di luar negeri dan penindasan di dalam negeri”.

Di sela-sela kunjungannya ke Argentina, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menjawab pertanyaan dari VOA bahwa ia yakin sanksi dari AS akan berdampak jangka panjang pada kemampuan Rusia untuk memodernisasi sektor ekonomi, militer dan energinya. Blinken pun tidak melupakan Navalny.

“Kami juga memberi sanksi kepada tiga orang, khususnya yang terlibat dengan kematian Alexey Navalny: sipir penjara, kepala penjara setempat, dan wakil direktur Lembaga Pemasyarakatan Federal (Rusia),” kata Blinken.

Sementara itu, Putin menghadiri upacara patriotik “Hari Pembela Tanah Air” di Moskow dan memuji mereka yang ia sebut sebagai “pahlawan sejati” yang bertempur di Ukraina.

Sejumlah pengamat menilai kematian mendadak Navalny saat berada di bawah pengawasan Rusia menunjukkan rapuhnya Putin.

“Saya kira ia tidak akan membunuh Alexey Navalny jika ia merasa percaya diri. Menurut saya, itu adalah tanda seseorang yang merasa takut. Dan (Presiden Rusia Vladimir) Putin takut kehilangan kekuasaannya, karena jika dia kehilangan kekuasaan, dia akan mati,” ungkap Bill Browder, kepala Global Magnitsky Justice Campaign, dalam sebuah wawancara Zoom.

Rusia mengatakan bahwa Navalny meninggal karena sebab alami.

Browder menyambut positif serangkaian sanksi baru terhadap Moskow, namun ia mengatakan bahwa Kremlin masih menikmati salah satu sumber pendapatan utama mereka.

“Jadi, selama Rusia bisa terus menjual minyak mereka, mereka akan dapat terus membeli rudal dan peluru, serta membayar tentara. Dan perang akan terus berlanjut. Dan kita belum mampu memahami hal itu. Dan itulah masalah besar yang harus diatasi,” tambahnya.

Pemimpin Mayoritas Senat dari Partai Demokrat, Chuck Schumer, tiba di Ukraina pada Jumat (23/2) dengan beberapa senator lainnya untuk mencoba meyakinkan Ukraina bahwa Kongres AS akan mengucurkan suntikan dana AS berikutnya, meskipun paket bantuan $60 miliar (sekitar Rp9,3 triliun) untuk Kyiv masih tersendat di DPR AS, yang dikuasai Partai Republik.

Setelah lebih dari setahun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dalam sebuah konferensi pers pada Minggu (25/2) memberikan angka resmi tentara Ukraina yang telah terbunuh sejak invasi besar-besaran Rusia dua tahun lalu, yaitu sebanyak 31.000 orang.

Zelenskyy mengatakan ia tidak dapat mengungkapkan jumlah korban yang terluka karena hal itu akan membantu perencanaan militer Rusia. Ukraina sendiri belum memberikan angka kerugian militernya sejak akhir 2022.

Sama halnya dengan Ukraina, Rusia pun tidak mengungkapkan jumlah kerugian militernya karena dianggap sebagai rahasia.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung