J5NEWSROOM.COM, Mahkamah Agung AS pada Senin (26/2) mengulas isu kebebasan berpendapat di era digital dalam dua kasus yang menguji keabsahan undang-undang di Florida dan Texas, yang didukung Partai Republik, yang membatasi kemampuan platform media sosial untuk meredam konten yang mereka nilai tidak dapat diterima.
Pihak-pihak yang terlibat masih beradu argumen di pengadilan tertinggi AS itu.
Yang dipermasalahkan adalah apakah undang-undang di kedua negara bagian yang disetujui pada tahun 2021 untuk mengatur praktik moderasi konten raksasa media sosial itu melanggar jaminan kebebasan berpendapat bagi perusahaan sesuai Amandemen Pertama Konstitusi AS. Dua pengadilan di tingkat yang lebih rendah membuat putusan yang berseberangan: pengadilan yang satu menyebut undang-undang di Florida tidak sah, sementara pengadilan yang lain justru mendukung undang-undang di Texas.
Ketua Mahkamah Agung John Roberts, yang berhaluan konservatif, meminta pengacara pemerintah Florida menguraikan kekhawatiran mereka soal jaminan kebebasan berpendapat terkait bagaimana “negara bagian meregulasi apa yang kini kita sebut sebagai alun-alun publik era modern,” merujuk pada media sosial.
Undang-undang itu ditentang oleh kelompok perdagangan industri teknologi NetChoice dan Asosiasi Industri Komputer dan Komunikasi (CCIA), yang anggotanya termasuk Meta yang menaungi Facebook dan Instagram, Google Alphabet yang menaungi YouTube, serta TikTok dan Snap yang menaungi Snapchat.
Kedua undang-undang itu belum berlaku karena masih menghadapi litigasi.
Para hakim harus memutuskan apakah Amandemen Pertama melindungi hak editorial platform media sosial dan melarang pemerintah memaksa mereka menerbitkan konten yang tidak mereka setujui. Perusahaan-perusahaan itu mengatakan bahwa tanpa diskresi editorial – termasuk kemampuan untuk memblokir atau menghapus konten maupun akun pengguna, mempriotitaskan postingan tertentu di atas yang lain, atau menyertakan konteks tambahan – situs-situs mereka akan dibanjiri dengan spam, perundungan (bullying), ekstremisme dan ujaran kebencian.
Para hakim juga harus memutuskan apakah undang-undang negara bagian di Florida dan Texas itu secara tidak sah membebani hak kebebasan berpendapat perusahaan media sosial dengan mewajibkan mereka memberikan penjelasan secara individual kepada para pengguna terkait keputusan moderasi konten tertentu, termasuk penghapusan berbagai postingan dari platform mereka.
Pemerintah Presiden AS Joe Biden, yang menentang UU Florida dan Texas tersebut, mengatakan bahwa pembatasan moderasi konten perusahaan media sosial melanggar Amandemen Pertama, karena memaksa platform menampilkan dan mempromosikan konten yang mereka anggap tidak dapat diterima.
Di sisi lain, pejabat pemerintah Florida dan Texas menyatakan bahwa tindakan moderasi konten yang dilakukan perusahaan-perusahaan media sosial tidak dilindungi Amandepen Pertama karena tindakan – yang mereka anggap sebagai bentuk “penyensoran” – itu sendiri bukanlah pendapat.
Kritikus perusahaan raksasa teknologi yang berhaluan konservatif mencontohkan penangguhan akun Twitter Donald Trump, yang saat itu masih menjabat presiden, setelah peristiwa 6 Januari 2021, sebagai bentuk penyensoran oleh platform media sosial. Peristiwa 6 Januari adalah peristiwa serangan ke gedung Kongres AS oleh massa pendukung Trump. Twitter, yang kini berganti nama menjadi X, saat itu menangguhkan akun Trump dengan alasan “berisiko menghasut kekerasan lebih lanjut.” Akun X Trump kini sudah kembali setelah perusahaan itu diakuisisi Elon Musk.
Dalam penandatanganan undang-undang pada 2021, Gubernur Florida Ron DeSantis mengatakan, “Banyak di negara bagian kita yang telah mengalami penyensoran dan perilaku tirani lainnya secara langsung di Kuba dan Venezuela. Jika raksasa teknologi tukang sensor menegakkan aturan secara tidak konsisten untuk melakukan diskriminasi yang menguntungkan ideologi Sillicon Valey yang dominan, kini mereka akan dimintai pertanggungjawaban.”
Undang-undang di Florida mewajibkan platform media sosial besar untuk “menampilkan pendapat yang mungkin mereka tidak ingin tampung” dengan melarang tindakan penyensoran, pelarangan kandidat politik atau “perusahaan jurnalistik”.
Sementara itu, ketika mengesahkan undang-undang di negara bagiannya tiga tahun lalu, Gubernur Texas Greg Abbott mengatakan, “Ada gerakan berbahaya yang dilakukan beberapa perusahaan media sosial untuk membungkam gagasan dan nilai konservatif. Ini salah dan kita tidak mengizinkannya di Texas.”
Undang-undang di Texas melarang perusahaan media sosial yang memiliki sedikitnya 50 juta pengguna aktif untuk “menyensor” pengguna berdasarkan “sudut pandang” yang mereka miliki, dan mengizinkan pengguna maupun jaksa agung Texas untuk mengajukan tuntutan hukum demi menegakkan undang-undang itu.
Pemerintah Florida berusaha menghidupkan lagi undang-undang tersebut setelah Pengadilan Banding AS Sirkuit 11 di Atlanta mengeluarkan putusan yang menentang legislasi itu.
Sementara kelompok-kelompok industri teknologi mengajukan banding atas keputusan yang dibuat Pengadilan Banding AS Sirkuit 5 di New Orleans, yang justru mempertahankan undang-undang di Texas, yang putusannya kemudian diblokir Mahkamah Agung pada tahap awal pengusutan kasus.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung