Kesuksesan Film ‘Gadis Kretek’ Gairahkan Industri Layanan Video Streaming

Perjuangan Perempuan. Dian Sastrowardoyo memerankan Dasiyah, perempuan yang berusaha mendobrak batasan dalam industri yang secara tradisional berpusat pada laki-laki. (Foto: Courtesy/Netflix)

J5NEWSROOM.COM, Keberhasilan “Gadis Kretek” menembus pasar internasional diprediksi banyak pihak menggairahkan industri layanan streaming film di Indonesia. Seiring meningkatnya platform OTT (over the top), atau media streaming, drama seri ini diperkirakan akan mendorong para pembuat film berlomba memproduksi karya-karya yang kental konten lokalnya untuk menembus pasar yang lebih luas.

Sejumlah pengamat bahkan mengatakan, jika semua ini terwujud, drama Indonesia (I-drama) bukan tidak mungkin bersaing dengan drama Korea (K-drama) yang banyak digandrungi di berbagai penjuru dunia.

Dian Sastrowardoyo, aktris yang membintangi “Gadis Kretek”, tidak menepis kemungkinan itu, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 275 juta – atau hampir enam kali populasi Korea Selatan – dan hadirnya 11 layanan OTT di Indonesia.

“Saya percaya ini (Gadis Kretek, red) bisa menjadi start,” kata Dian.

Namun, katanya, untuk merealisasikannya masih perlu waktu. Dian terutama menyoroti masih rendahnya jumlah mereka yang bisa dikatagorikan sebagai penonton di Tanah Air yang menurutnya, hanya 2% dari populasi Indonesia.

Aktris ini mengatakan persentase itu sangat rendah dibandingkan dengan di Korea Selatan, yang sudah mencapai dua digit – atau di atas 10%.

“Budaya menonton film, budaya subscribe OTT dan pergi ke sinema sudah mendarah daging di Korea Selatan. Sama halnya dengan budaya menonton sinema di India dan Thailand,” ujar Dian.

Dian berasumsi, bila saja jumlah mereka yang bisa dikategorikan sebagai penonton meningkat secara signifikan, Indonesia akan menjadi pasar film yang unggul. Pasar film yang unggul, pada gilirannya kelak, bisa menggairahkan industri film Tanah Air dan membuka kesempatan kolaborasi dengan pemain-pemain besar industri film internasional. Walhasil, katanya, film-film Indonesia dengan mudah bisa menembus pasar internasional, dan bahkan bersaing dengan film-film Korea Selatan yang lebih dikenal dengan sebutan K-drama.

“Kalau kita ingin dianggap serius, seperti halnya mereka mereka memandang serius pasar China dan Korea Selatan, itu karena mereka sudah melihat besaran pasarnya. Pasar China dan Korea Selatan itu sudah menjadi the next big thing setelah Hollywood market. Kalau ingin expand ke Asia, mereka akan meng-consider kedua negara itu,” tukasnya.

Putri Silalahi, Kepala Humas Netflix Indonesia, sepakat dengan pernyataan Dian. Ia juga optimistis bahwa keberhasilan “Gadis Kretek” — produk original Netflix yang merupakan hasil kerja sama dengan rumah produksi Base Entertainment — menggairahkan industri film streaming. Setelah “Gadis Kretek”, platform OTT itu sendiri berencana memproduksi karya-karya yang lebih spektakuler.

“Karena dengan memproduksi lebih banyak karya seperti ‘Gadis Kretek’, akan ada lebih banyak orang yang mengenal kultur dan tradisi Indonesia,” katanya.

Menurut Putri, keberhasilan “Gadis Kretek” tidak lepas dari tema ceritanya yang relatable dengan banyak penonton, dan proses produksinya yang apik dan direncanakan matang. Film yang disutradrai bersama oleh pasangan suami-istri Kamila Andini dan Ifa Isfansyah ini menyorot perjuangan Dasiyah (diperankan Dian Sastrowardoyo), yang lahir dari keluarga pengusaha kretek, untuk mendobrak batasan dalam industri yang secara tradisional berpusat pada laki-laki.

Neflix sendiri kabarnya tak sungkan menghabiskan biaya besar untuk menjamin kualitas produksi. Media-media di Indonesia mengatakan, Netflix mengalokasikan sekitar US$250.000 hingga US$400.000 (sekitar Rp2,3 miliar – Rp6,1miliar) untuk masing-masing episode drama tentang industri rokok Indonesia pada 1960-an ini.

Putri sendiri tidak membenarkan atau membantah angka itu. Ia hanya mengatakan, karena Neflix eksis di 190 negara, yang artinya konsumennya mendunia, produksi platform ini terfokus pada dua hal, yakni kualitas produksi yang tinggi dan elevated storytelling. Yang disebut terakhir merujuk pada penceritaan yang tidak hanya merangkai informasi, tetapi juga membangkitkan emosi penonton

“Itu sudah harus menjadi DNA, konten-konten originalnya Netflix,” ujarnya.

Menurut Putri dan Dian, selain kualitas produksi yang sangat baik, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan dalam memajukan industri film Tanah Air.

Dian sendiri mencontohkan apa yang terjadi di Korea Selatan, di mana pemerintahnya mengalokasikan dana investasi, serta secara aktif mempromosikan karya-karya domestik dan memberikan insentif, termasuk potongan pajak, kepada para pembuat film dan karya seni kreatif lainnya.

“Sebenarnya pemerintah (Indonesia, red.) perlu mulai melihat bahwa perkembangan film dan musik ini tidak cuma sekadar remeh temeh atau ekstrakurikuler dalam perkembangan ekonomi negara,” tukasnya.

Menurut Dian, film dan karya-karya seni lain, seperti musik, adalah bagian dari diplomasi budaya (soft power) yang sangat dibutuhkan di dunia internasional dalam menggalang opini publik, yang bukan tidak mungkin pada gilirannya kelak akan menguntungkan Indonesia di sektor-sektor lain. Singkat kata, menurutnya, mengembangkan industri film sama halnya dengan mengembangkan diplomasi budaya

“Bila ibu di Afghanistan sudah mulai nge-fans sama BTS, ketika mereka punya extra income untuk membeli smartphone, mereka akan membeli smartphone produksi negara asal idola mereka. Kalau ‘Gadis Kretek’ laku di Argentina, restoran yang jualan nasi goreng atau klepon mungkin sudah ada pembelinya. Begitu juga kalau jualan kebaya,” katanya.

Putri mengatakan, dukungan pemerintah yang dimaksud Dian seharusnya juga mencakup perbaikan kualitas internet di Indonesia. Layanan OTT, katanya, hanya akan bisa meluas bila semakin banyak wilayah di Indonesia yang memiliki internet dengan konektivitas yang cepat dan stabil. Itulah juga alasan mengapa pelanggan Netflix hanya terbatas di Jakarta, dan kota-kota besar di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

“Jadi di mana broadband internet itu kuat, di situlah subscriber Netflix berada,” ujar Putri.

Menurut sejumlah pengamat, sebetulnya tidak hanya “Gadis Kretek” yang memicu perbincangan bahwa I-drama bisa jadi hal besar berikutnya setelah K-drama. Drama seri menegangkan “Katarsis” di layanan streaming Vidio dan drama seri komedi “Tilik” di WeTV juga disukai oleh banyak penonton lokal, dan banyak mendapat pujian para kritikus film.

Namun, kemampuan Indonesia untuk bisa bersaing dengan K-drama, menurut Dwi Nugroho, masih memerlukan waktu panjang. Dosen film Institut Seni Yogyakarta dan kritikus film montasefilm.com ini mengatakan, dari segi kualitas, Indonesia mungkin bisa bersaing, tetapi dari segi kuantitas masih tertinggal.

“Jika antara kuantitas dan kualitas sudah meningkat, dan mampu merebut pasar internasional dan dalam negeri, pada titik itulah kita mampu menyaingi serial-serial dari luar negeri seperti Korea dan negara-negara lain,” kata Dwi.

Lebih jauh Dwi mengatakan, menonton layanan streaming belum membudaya di Indonesia, mengingat sejauh ini hanya diakses sejumlah kecil masyarakat Indonesia.

Layanan streaming, menurutnya, memerlukan konektivitas internet yang cepat dan stabil, sementara konektivitas seperti itu hanya tersedia di kota-kota besar. Belum lagi biaya berlangganan layanan OTT yang relatif mahal, yang umumnya tidak terjangkau oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

“Biaya berlanganan Neflix, contohnya, untuk paket paling murah adalah Rp65.000 per bulan.” katanya.

Jika Indonesia ingin memajukan industri filmnya sehingga bisa bersaing dengan negara-negara lain, menurut Dwi, partisipasi pemerintah sepenuhnya sangat diperlukan. Dwi mengatakan, pemerintah Korea Selatan sangat intens memajukan industri film dengan berbagai cara, sementara pemerintah Indonesia seperrtinya masih bersikap setengah hati.

“Kami belum pernah mendapat dukungan yang benar-benar jadi perhatian khusus insan film,” kata Dwi.

Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Ratih Kumala, “Gadis Kretek” menorehkan sejarah besar dalam industri sinema Indonesia. Sewaktu dirilis di Netflix di penghujung 2023, drama seri lima episode ini ini sempat masuk daftar 10 teratas film yang paling banyak ditonton di dunia untuk acara televisi non-bahasa Inggris selama dua minggu berturut-turut.

Film ini juga sempat berada di peringkat 10 besar mingguan di tujuh negara: Indonesia, Malaysia, Chili, Rumania, Meksiko, Spanyol, dan Venezuela.

Tidak hanya itu, film ini juga banyak mendapat pujian para kritikus film. Di Festival Film Internasional Busan 2023, sutradaranya dianugerahi Visionary Director Award.

Menurut hasil studi terbaru Media Partners Asia, industri video di Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat dalam lima tahun ke depan karena layanan online akan mengambil alih pangsa pasar TV konvensional. Masih menurut lembaga riset yang berbasis di Singapura itu, total pendapatan industri video (TV gratis, TV berbayar, dan video online) diperkirakan akan tumbuh pada tingkat pertumbuhan rata-rata gabungan sebesar 8%. Para penelitinya memperkirakan pasar akan berkembang dari $2,5 miliar pada 2023 menjadi $3,7 miliar pada 2028.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah