J5NEWSROOM.COM, Kairo – Kelompok Islam Hamas pada Jumat (15/3) mengkritik Presiden Palestina Mahmoud Abbas karena secara “sepihak” menunjuk sekutu dan tokoh bisnis terkemuka sebagai perdana menteri dengan mandat untuk membantu reformasi Otoritas Palestina (Palestinian Authority/PA) dan membangun kembali Gaza.
Penunjukan Mohammad Mustafa terjadi setelah meningkatnya tekanan untuk merombak badan pemerintahan wilayah Palestina yang diduduki dan meningkatkan pemerintahan di Tepi Barat yang diduduki, yang menjadi basis badan tersebut.
Hamas mengatakan keputusan itu diambil tanpa berkonsultasi terlebih dahulu, meskipun pada kenyataannya mereka baru-baru ini mengambil bagian dalam pertemuan di Moskow yang juga dihadiri oleh gerakan Fatah pimpinan Abbas untuk mengakhiri perpecahan yang telah lama melemahkan aspirasi politik Palestina.
“Kami menyatakan penolakan kami untuk melanjutkan pendekatan yang telah dan terus merugikan rakyat dan perjuangan nasional kami,” kata Hamas dalam sebuah pernyataan.
“Mengambil keputusan individu dan melakukan langkah-langkah yang dangkal dan kosong seperti membentuk pemerintahan baru tanpa konsensus nasional hanya akan memperkuat kebijakan unilateralisme dan memperdalam perpecahan.”
Pada saat berperang dengan Israel, warga Palestina membutuhkan kepemimpinan terpadu untuk mempersiapkan pemilu demokratis yang bebas yang melibatkan seluruh komponen masyarakat mereka, tambahnya.
Di Tepi Barat, Fatah membalas kritik Hamas terhadap Abbas, dan menyalahkan Hamas atas apa yang menimpa Gaza sejak mereka secara sepihak melakukan “petualangan 7 Oktober”.
“Apakah Hamas telah berkonsultasi dengan pemimpin Palestina saat mereka sedang bernegosiasi dengan Israel dan menawarkan konsesi, dalam upaya untuk mendapatkan jaminan keselamatan pribadi para pemimpinnya sebagai imbalan?” kata pernyataan Fatah.
Tuntutan asing
Sebagai presiden, Abbas tetap menjadi tokoh paling berkuasa di Otoritas Palestina. Namun penunjukan pemerintahan baru menunjukkan kesediaan untuk memenuhi tuntutan internasional untuk perubahan dalam pemerintahan.
Mustafa, yang membantu mengatur rekonstruksi Gaza setelah konflik sebelumnya, ditugaskan untuk memimpin bantuan dan pembangunan kembali wilayah tersebut, yang telah hancur akibat perang selama lebih dari lima bulan. Menurut surat penunjukan tersebut, dia juga ditugaskan untuk mereformasi lembaga-lembaga Otoritas Palestina.
Dia menggantikan mantan Perdana Menteri Mohammed Shtayyeh yang, bersama dengan pemerintahannya, mengundurkan diri pada bulan Februari.
Upaya Arab dan internasional sejauh ini gagal untuk mendamaikan Hamas dan Fatah, yang merupakan tulang punggung PA, sejak pengambilalihan Gaza oleh Hamas pada 2007, sebuah langkah yang mengurangi kewenangan Abbas di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Palestina menginginkan kedua wilayah tersebut sebagai inti negara merdeka di masa depan.
Hamas mengatakan setiap upaya untuk mengecualikan mereka dari kancah politik setelah perang adalah sebuah “khayalan.”
Dalam sebuah peringatan baru-baru ini, seorang pejabat keamanan mengatakan kepada situs berita yang terkait dengan Hamas bahwa upaya yang dilakukan oleh klan atau pemimpin komunitas untuk bekerja sama dengan rencana Israel untuk mengelola Gaza akan dianggap sebagai “pengkhianatan” dan akan ditanggapi dengan “tangan besi.”
Namun kelompok tersebut membantah laporan media bahwa mereka telah membunuh beberapa pemimpin klan setempat dalam beberapa hari terakhir karena mengganggu distribusi bantuan.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah