Oleh L. Nur Salamah, S. Pd.
“INI Al-Qur’an punya siapa ya? Kok diletakkan sembarangan sih? Siapa yang punya ya? Ucapku lirih, sambil mencari barang yang bisa aku pakai meletakkan Al-Qur’an dengan ahsan. Al-Qur’an tersebut ada di dalam tas diletakkan sembarangan, di bawah kaki jamaah perempuan yang sedang menunaikan ibadah salat tarawih. Aku yang kebetulan tidak bisa salat dengan sempurna, karena harus mengawasi anak-anak, memastikan agar tidak menggangu jamaah lain yang sedang beribadah.
Bahagia sebenarnya melihat orang-orang ketika Bulan Ramadan rajin tilawah Al-Qur’an. Hampir di setiap masjid atau surau ramai dengan lantunan ayat suci.
Ramadan disebut bulan Al-Qur’an, peristiwa penting (Nuzul Quran) itu terjadi pada Bulan Ramadan. Maka amalan yang paling utama adalah sesuatu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, salah satunya adalah membacanya atau tadarus Al-Qur’an. Sehingga wajar orang berlomba-lomba untuk membuat target khataman Al-Qur’an.
Namun sayangnya, aktivitas tersebut tidak disertai dengan pemahaman yang benar tentang kemuliaan Al-Qur’an itu sendiri. Padahal, ketika kita beramal, yang kita harapkan tidak lain adalah pahala dan rida dari Allah Swt.. Artinya berharap amal kita diterima oleh Allah SWT.
Adapun syarat diterimanya amal perbuatan itu ada dua, yakni:
Pertama, harus ikhlas. Maksudnya apapun yang kita lakukan tidak berharap pujian dari makhluk, hanya mengharapkan rida Allah Swt. saja. Tidak peduli dengan pujian orang yang memuji dan tidak peduli cacian orang yang mencaci.
Kedua, caranya harus benar. Benar yang dimaksud sesuai sudut pandang Allah Swt. yaitu syariat Islam. Mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai suri tauladan kita. Bukan benar menurut adat istiadat atau pandangan masyarakat tertentu atau keputusan terbanyak, sebagaimana dalam pandangan demokrasi.
Untuk mengetahui amal yang kita lakukan itu sudah sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. atau belum, maka tidak ada cara lain kecuali dengan menuntut ilmu. Ilmu itu ibarat lentera yang menerangi di tengah malam gelap gulita. Dengan ilmu juga manusia itu menjadi mulia dan terhindar dari marabahaya. Dengan ilmu manusia tidak salah dalam bersikap dan bertingkah laku.
Termasuk bagaimana memperlakukan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah Kalamullah yang mulia dan agung, surat cinta-Nya Allah kepada hamba-Nya, yang berisi perintah dan larangan. Maka orang yang berilmu akan memahami bagaimana seyogyanya memperlakukan Al-Qur’an, harus memuliakan dan mentakzimkan. Tidak boleh meletakkan di sembarang tempat. Bahkan tidak boleh menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci dari hadats.
Dikisahkan dari Syekh Syamsul Aimmah Rahmatullah alaik. Sesungguhnya ia berkata: “Saya mendapatkan ilmu itu dengan menghormatinya. Sesungguhnya saya tidak mengambil buku tulis kecuali dengan bersuci”. (Kitab Ta’limu Al Muta’alim Thariqotu Ta’alum bab: Mengagungkan Ilmu dan Guru).
Dari penjelasan ulama di atas, sangat jelas. Bahwa hanya sebatas mengambil buku tulis dan kitab-kitab ulama saja mereka menjaga dari hadats (dalam keadaan suci). Apalagi Al-Qur’an.
Kemudian dijelaskan lagi dalam Kitab Adab Ta’limu Al Muta’alim, bahwa yang wajib bagi penuntut ilmu adalah tidak boleh menyelonjorkan kaki terhadap buku, dan tidak meletakkan sesuatu di atas kitab tafsir.
Dari penjelasan di atas sangat jelas. Untuk kitab-kitab selain Al-Qur’an saja harus diagungkan atau ditakzimkan, apalagi Al-Qur’an yang merupakan Kalam Allah Swt. Jelas merupakan sebuah kekeliruan yang nyata apabila meletakkannya di sembarang tempat termasuk di bawah kaki.
Waallahu A’lam Bish Shawwab.*
Penulis adalah Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Batam