Krisis Multidimensi Tengah Melanda Generasi

Nai Ummu Maryam. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Nai Ummu Maryam

MIRIS dan mengkhawatirkan. Begitulah potret buram remaja dalam jeratan sistem sekularisme saat ini. Ramadan yang seharusnya menjadi sarana meningkatkan takwa kini berubah menjadi sarana adu jotos dan kekerasan.

Viral perang sarung, sebuah aktivitas tawuran antar remaja menggunakan sarung sebagai senjata utamanya. Sarung tersebut dimodifikasi dengan cara dibundel dan diisi batu atau benda lainnya yang bertujuan melukai lawannya.

Sarung yang identik dengan santri dan kegiatan ibadah kini berubah menjadi senjata yang memakan korban jiwa.

Padahal, jika kita merujuk perang sarung pada umumnya, hanya digunakan sebagai permainan anak-anak tanpa perasaan amarah dan dendam. Justru, perang sarung dengan istilah slepet adalah permainan yang menyenangkan bagi para santri di pondok pesantren.

Namun, pergeseran nilai dan sistem kehidupan yang makin rusak, menjadikan perang sarung adalah sarana aktivitas tawuran bagi remaja. Mirisnya lagi kejadian ini pun memakan korban jiwa.

Dilansir dari tvOnenews.com, 17-3-2024, seorang pelajar berinisial AA (17) tewas seketika usai mengikuti perang sarung antar kelompok remaja di Jalan Arteri Tol Cibitung, Cikarang Barat, Bekasi pada Kamis (14-3-2024) dini hari.

Pun, sebenarnya perang sarung pernah marak terjadi beberapa tahun yang lalu ketika pandemi Covid-19 terjadi. Di mana masyarakat Cilegon dihebohkan dengan aksi remaja asal Waduk Krenceng, Lingkungan Cimerak, Kelurahan Kebonsari Kecamatan Citangkil, Kota Cilegon. Artinya aktivitas konyol dan unfaedah ini bukanlah hal yang baru, melainkan kejadian yang terus berulang, terutama saat Ramadan datang.

Hal ini membuktikan bahwa generasi hari ini tengah mengalami krisis multidimensi. Mental yang sakit dan minim akhlak. Tentunya ini menjadi tugas besar untuk semua pihak. Baik level individu, keluarga, masyarakat hingga negara.

Mari Cari Solusi untuk Generasi!

Perang sarung sebenarnya bukan baru pertama kali muncul. Ada istilah perang sarung ada juga tarung sarung. Tarung sarung (Sijagang Laleng Lipa) konon merupakan tradisi suku Bugis di Sulawesi Selatan. Merupakan solusi terakhir bagi masyarakat Bugis untuk menyelesaikan konflik kedua belah pihak saat musyawarah telah buntu. Ritual ini dilakukan dengan menyatukan dua pria, wakil dari pihak yang bertarung hingga sama-sama mati atau hidup.

Kendati demikian perang sarung yang kini marak di kalangan remaja, tidak dapat dikatakan berakar dari sejarah tarung masyarakat Bugis. Jelas dua hal yang berbeda antara perang sarung dan tarung sarung. Walaupun keduanya sama-sama menggunakan media sarung.

Bila kita amati, maraknya kekerasan remaja diakibatkan faktor sistem kehidupan di mana sistem ini menjadikan nilai-nilai agama dan kebaikan mulai bergeser.

Remaja ingin eksis dengan menunjukkan kemampuannya dalam adu jotos karena merasa lebih kuat dan tangguh. Kerapuhan mental dan ketahanan keluarga menjadi persoalan dasar yang harus diusut tuntas.

Peran orang tua kian dipertanyakan, sudahkah  mengontrol anak-anaknya dengan bekal akidah dan akhlak? Atau hanya pemenuhan nafkah lahir tanpa memperhatikan nafkah batin seperti komunikasi, interaksi, perhatian dan pendidikan.

Memang benar, dampak sistem dan kemajuan teknologi membuat tugas orang tua bertambah berat. Belum lagi biaya kebutuhan hidup yang meningkat sehingga orang tua disibukkan dalam mencari nafkah. Tidak hanya ayah, namun kadang seorang ibu memiliki peran ganda yakni menjadi tulang rusuk sekaligus tulang punggung.

Kontrol masyarakat juga kian memudar, sikap individualisme menumbuhkan sikap acuh dan tak acuh, ditambah pula sistem pendidikan hari ini yang banyak gagal mencetak generasi karena asasnya bukan berdasarkan akidah, melainkan hanya berpatok pada nilai-nilai angka di atas kertas.

Tugas negara pun kian berat, negara yang makin abai juga terlihat dari kontrol dan peraturan yang diterapkan tidak sesuai dengan Islam. Seharusnya negara mampu menciptakan suasana keimanan yang kuat dengan memberlakukan aturan -aturan yang bersumber dari Islam.

Misalnya membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang buka mahrom, memberikan efek jera kepada siapa pun yang berbuat kekerasan. Tidak ada istilah di bawah umur, karena dalam Islam ketika remaja sudah baligh maka ia terkategori sebagai orang dewasa.

Marilah, kita sama-sama berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendidik generasi agar tumbuh menjadi generasi taat dan cerdas. Karena di tangan mereka lah estafet peradaban berlangsung.

Wallahu’alam.

Penulis adalah Aktivis Musliman Peduli Generasi Bermestautin di Batam