J5NEWSROOM.COM, Yerusalem – Sejak dimulainya perang di Gaza pada 7 Oktober, Israel telah memanggil hampir 300 ribu tentara cadangan. Ini merupakan tambahan bagi tentara reguler, dengan hampir 90 persen pemuda Yahudi Israel bertugas di sana. Sebaliknya, di kalangan lelaki muda ultra-Ortodoks, hanya sekitar tiga persen yang menjalani wajib militer Israel.
Pengecualian hampir menyeluruh dari kewajiban itu diberikan untuk warga ultra-Ortodoks agar mereka dapat mempelajari Taurat di lembaga-lembaga keagamaan dan bukannya menjalani wajib militer. Tetapi hal ini sekarang menjadi topik perdebatan publik yang memanas.
Yohanan Plesner adalah presiden Israel Democracy Institute di Yerusalem. Ia mengatakan, “Jajak pendapat publik jelas menunjukkan bahwa Israel sangat peduli dengan isu perekrutan dan sangat khawatir tentang pengecualian bagi komunitas ultra-Ortodoks, pengecualian dari dinas militer. Ini sebelum 7 Oktober. Sekarang, mengingat situasi perang dan meningkatnya beban warga yang bertugas, ini sangat meresahkan mayoritas warga.”
Kebijakan pengecualian dimulai ketika negara Israel didirikan lebih dari 75 tahun lalu. Ketika itu, 400 mahasiswa ultra-Ortodoks mendapat pengecualian. Tahun lalu, angka itu melonjak menjadi 66 ribu.
Mahkamah Agung Israel telah berulang kali memutuskan bahwa pengecualian tersebut diskriminatif dan meminta pemerintahan berikutnya memaksa warga ultra-Ortodoks untuk wajib militer. Mahkamah mengatakan perubahan itu harus disahkan menjadi UU pada akhir Maret.
Akan tetapi partai-partai ultra-Ortodoks merupakan bagian penting dari koalisi garis keras PM Benjamin Netanyahu. Mereka mengancam akan menjatuhkan pemerintah jika pengecualian wajib militer itu dibatalkan.
Rabbi Utama Yahudi Sephardi Israel Rabbi Utama Yahudi Sephardi Israel menyatakan bahwa jika UU yang mewajibkan seluruh lelaki ultra-Ortodoks berdinas militer militer diloloskan, kaum lelaki mereka akan meninggalkan negara tersebut.
Demonstrasi kalangan ultra-Ortodoks menentang wajib militer itu berlangsung sengit dan kadang-kadang disertai kekerasan.
Israel Kaya, seorang demonstran ultra-Ortodoks, mengatakan, “Mereka menginginkan kami, orang-orang Ortodoks di Israel, untuk masuk militer Israel. Mereka punya satu niat – mereka ingin kami tidak relijius. Karena itu kami lebih suka mati. Kami tidak keberatan masuk penjara, kami lebih memilih untuk mati, dan tidak masuk militer Israel.”
Orang-orang ultra-Ortodoks hidup dalam komunitas terpencil, benar-benar terpisah dari masyarakat sekuler Israel. Mereka mengatakan bahwa bergabung dengan militer dapat menggoda banyak lelaki muda untuk meninggalkan cara hidup keagamaan mereka.
Tetapi ada juga di antara komunitas ultra-Ortodoks yang mendukung dinas militer, selama militer menyediakan makanan yang benar-benar kosher (halal) serta memisahkan kaum lelaki dan perempuan.
Yitzik Crombie mengelola pusat pelatihan keterampilan MeGo Center yang berupaya membaurkan warga ultra-Ortodoks ke angkatan kerja. Katanya, “Tidak bisa dipertahankan ada komunitas sebesar itu di negara yang kecil ini dan tidak kena wajib militer, terutama setelah 7 Oktober.”
Ia menambahkan, “Kita perlu tentara, militer perlu tentara. Jadi, kita perlu mencari cara untuk membuat haredim (orang ultra-Ortodoks) bergabung dengan militer dan bertugas di sana seperti semua orang. Di sisi lain, mereka dapat tetap menjaga jati diri dan cara hidup mereka.”
Di tengah maraknya perdebatan mengenai apakah pengecualian wajib militer ultra-Ortodoks akan diakhiri, para anggota parlemen Israel telah mengusulkan peningkatan dinas militer bagi tentara reguler maupun cadangan. Ini memunculkan protes baru untuk menentang pemerintah Netanyahu dan meningkatkan seruan bagi warga ultra-Ortodoks untuk berbagi beban.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah