Oleh Swary Utami Dewi
“SEKARANG banyak yang kaya mendadak. Entah bagaimana… Istilahnya Crazy Rich.” Seorang kawan baik berkomentar. Beberapa nama disebutkan dan rata-rata masih berusia relatif muda.
Ya memang benar. Jika ditilik, beberapa bahkan bisa menjadi begitu kaya tanpa tahu bagaimana asal-usul pekerjaan dan apa yang dilakukan. Pokoknya, mereka kaya sekaya-kayanya; Mewah semewah-mewahnya. Trendnya kini: muda, kaya luar biasa dan begitu mudah menimbun pundi-pundi harta.
Aku sempat beberapa kali menyimak podcast para kaya-kaya ini, di mana mereka bercerita tentang sejarah bagaimana bisa kaya. Rata-rata penjelasannya tidak masuk akal. Ada yang mulai dari pegawai bank biasa di satu kota di Sumatera dengan gaji ratusan ribu. Lalu belajar main selisih kurs.
Lalu mendekati para customer bank. Lalu ditawari pindah ke Jakarta untuk mengelola money changer. Lalu sesudah pindah dalam waktu sekitar 3 tahun sudah mendadak begitu kaya dan membangun rumah super mewah yang tidak masuk akal di satu wilayah super elite di Jakarta.
Ada pula laki-laki muda yang bisa menikahi seorang artis top. Ia mengaku punya perusahaan terkait tambang. Pria tersebut mampu membeli jet pribadi, yang bahkan bagi mereka yang punya pesawat pun tergolong mewah.
Saat anaknya yang masih bocah ulang tahun, hadiahnya bukan main-main. Pesawat jet!!! Bukan pesawat mainan anak-anak, apalagi sekedar pesawat dari kertas yang dibuat sendiri oleh anak atau orangtua. Wow… Sangat tidak masuk akal kayanya.
Trend muda dan kaya secara cepat dan mudah ini makin digandrungi oleh generasi muda. Bantuan media sosial untuk menampilkan cerita-cerita setengah fantasi ini semakin meriah sejalan dengan hobi flexing para super crazy kaya ini.
Tanpa ragu-ragu, sungkan dan jengah berseliweran unggahan gaya hidup mewah dalam berbagai bentuk. Entah itu rumah, liburan, pakaian, makanan, tempat yang dikunjungi, kumpul-kumpul pesta dan bentuk-bentuk lainnya.
Inilah fenomena orang super kaya Indonesia yang makin gemar pamer harta dan kemewahan, yang dimudahkan dengan kehadiran berbagai macam platform media sosial. Cerita-cerita wah ini kadang disertai bumbu “sok humanis”. Sesekali para crazy ini menyambangi kaum yang tidak mampu atau membagikan sezarah hartanya untuk si miskin.
Semua hobi pamer ini tanpa ragu dan begitu dingin sering dilakukan di tengah-tengah fenomena soal yang “jomplang”. Njomplang? Betulkah? Bukankah negara ini sudah lama membangun? Bahkan semangat pembangunan akhir-akhir ini disertai dengan semangat berhutang yang luar biasa oleh pemerintah.
Aku mengintip suatu data terkait hal ini. Menurut World Inequality Report 2022, dalam dua dekade terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan. Laporan itu menyebutkan, dalam kurun waktu 2001-2021 sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional (total household wealth).
Selain itu juga disebutkan bahwa, “Sejak tahun 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah.”
Duh. Ada rasa tertusuk di hati membaca data-data tersebut. Negara ini tidak disangkal memang mengalami pertumbuhan ekonomi. Tapi siapa yang nyatanya menikmati dan terus-menerus menikmati? Yang itu-itu sajakah? Atau kelompok ini juga giat merangkul sesamanya untuk bisa makin kaya bersama dan menikmati kekayaan negeri ini?
Hatiku makin tertusuk saat membaca berita bahwa ada beberapa crazy rich yang digelandang Kejaksaan Agung karena tindak pidana korupsi. Duh ..jangan-jangan ini hal yang biasa terjadi di antara mereka juga. Berkongkalikong memainkan kekayaan alam dan uang negara untuk keserakahan diri yang tak berujung.
Pulang dari suatu kegiatan, di persimpangan jalan, saat menunggu lampu merah berakhir, aku menatap di sisi kiri seorang ibu yang sedang menarik gerobak. Ia tampak begitu kepayahan dan sesekali berhenti mengambil napas. Saat dekat di arahku, aku bisa melihat ke dalam gerobak itu. Di gerobak itu ada tumpukan pakaian lusuh, kardus dan karton. Di atas tumpukan itu seorang bocah perempuan tampak terlelap. Aku menatap termangu.
Sebelumnya, aku juga kerap mengamati banyaknya pengemis, pengamen jalanan, orang-orang berpakaian badut dan kaum fakir miskin lainnya. Itu nyata di depan mata kita. Mereka ada dan lalu-lalang di sekitar kita. Keberadaan mereka sama banyaknya dengan seliweran tampilan kemewahan para jetset negeri ini, yang tanpa malu-malu terus “nongo”l di berbagai media sosial.
Tiba-tiba aku teringat pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dulu. Salah satunya tentang fakir miskin yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 34 disebutkan: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Dipelihara? Betulkah dipelihara? Mengapa masih banyak yang hingga kini bergelimangan di jalan dan pojok-pojok kota hingga pelosok desa? Jika pertumbuhan ekonomi kita memang baik, siapakah yang sebenarnya menikmati? Lalu siapakah yang menaungi dan memperhatikan sekian puluh juta mulut menganga dan perut kosong keroncongan para pengemis, fakir, manusia gerobak, gelandangan dan kaum papa lainnya?
Ah aku kembali termangu. Sayup-sayup kudengar bisikan itu: “Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Ternyata apa yang dikatakan Percy Bysshe Shelley dalam esainya “A Defence of Poetry” pada tahun 1821 itu masih kutemui hingga kini.
Jakarta, 1 April 2024
Penulis adalah Sekretaris Komunitas Penulis SATUPENA.