Ishlah Kemandirian Pertanian dan Peternakan

Pimpinan Ma’had Tadabbur al-Qur’an, Ahmadie Thaha. (Foto: J5NEWSROOM.COM

Oleh Ahmadie Thaha

PADA acara iktikaf yang difasilitasi kang Dede Nurhasan Zaidi, Ketum DPP Persatuan Ummat Islam (PUI), di masjid barunya di Paniis, Majalengka Jabar, saya menyampaikan ceramah ihwal pertanian dan peternakan. Peserta iktikaf adalah kawan-kawan aktivis PUI.

Saya cerita berdasar pengalaman saja. Misalnya, dengan punya 30 ekor ayam, diperoleh telur setiap hari sekitar 20-an butir. Silahkan hitung sendiri berapa pendapatan saya, yaitu sekitar Rp 40.000/hari, jika harga telurnya, yang masih termasuk telur kampung, Rp 2.000. Berarti, dari 30 ekor ayam akan diperoleh uang Rp 40.000 x 30 = 1,2 jt per bulan

Syarat utamanya, ayamnya memang jago bertelur seperti ayam arab, serta pakannya harus berkualitas. Pakannya harus bagus, yang memang disediakan untuk pakan ayam petelur. Dengan menggunakan pakan pabrikan saja, yang harganya Rp 8.000/kg, insya Allah masih ada sisa dari penjualan 1,2 juta tadi.

Akan lebih dahsyat lagi hasilnya, jika biaya pakan bisa ditekan di bawah Rp 8.000. Misalnya, harganya jadi Rp 5.000 per kg. Caranya, melalui kemandirian pakan, dengan menyediakan bahan-bahan pembuatan pakan sendiri, yang berasal dari produk pertanian.

Di sinilah pencarian saya berlanjut, yaitu dengan menekuni masalah pertanian. Saya sempat membaca buku al-Filahah, karya klasik pertanian dalam Islam, yang isinya cukup komprehensif bahas pertanian, termasuk memuat ayat-ayat Quran dan hadits terkait pertanian dan peternakan yang ternyata dimuliakan oleh Allah SWT.

Dalam konteks pertanian modern sekarang, kebetulan ada buku pertanian organik Jadam ala Korea, yang dapat memandirikan petani dalam penyediaan pupuk dan pestisida hingga herbisida. Saya sudah menguasainya, lalu mengadaptasinya ke dalam versi Indonesia, dan sudah siap disebar-luaskan.

Di dalam buku ini dibahas secara intensif dan praktis soal pupuk pemulihan tanah, yang dapat dibuat dengan cara sangat sederhana, dengan bahan humus daun, air laut/garam krosok, dan kentang sebagai pakan bakteri yang telah diekstrak dari humus daun tersebut. Saya pernah ambil humus daun dari hutan Situ Gunung Cisaat Sukabumi.

Dari sesendok humus daun, setelah diekstrak bakteri mikroorganismenya, akan diperoleh milyaran bakteri. Nah, cairan yang mengandung bakteri inilah yang dapat kita guyurkan ke lahan kita, agar kondisi lahan berubah menjadi seperti kondisi tanah di hutan Situ Gunung yang subur tadi.

Dari situ, dalam diskusi dengan para peserta saat iktikaf siang itu, kemudian muncul banyak problema yang dihadapi masyarakat terkait pupuk. Kang Dede sbg anggota DPR dari PKS yang duduk di Komisi VII memaparkan masalah perusahaan pupuk, yang dikatakannya sebetulnya siap mau bikin pupuk berapa pun banyaknya, namun meminta syarat agar pemerintah menyediakan subsidi pupuk yang lebih banyak lagi. Triliunan dana sudah disedikan pemerintah untuk pupuk, tapi gak pernah cukup.

Tampil juga kang Andi, yang menjadi agen pupuk di Talaga, tak jauh dari lokasi iktikaf, memaparkan ihwal tata niaga pupuk. Pemerintah sangat ketat dalam penyaluran subsidi pupuk. Antara lain, petani yang bersangkutan tidak boleh punya tanah di atas 2.000 m².

Jika tanahnya melebihi batas ini, dia tak berhak mendapatkan subsidi, alias harus beli pupuk dengan harga pasaran yang bedanya dengan pupuk subsidi bisa sampai Rp 100 ribu. Petani pun menjerit.

Ustadz Nazar Haris yang Wakil Ketua Majelis Syura PUI juga menambah penjelasan tentang kerumitan ihwal tersebut. Misalnya, petani yang berhak beli pupuk subsidi banyak yang tidak punya uang. Tak jarang, untuk memuluskan pembelian pupuk subsidi oleh petani nonsubsidi, kemudian terjadi manipulasi data, yang merupakan permainan yang seolah lumrah terjadi di masyarakat.

Nah, PUI mestinya masuk mengatasi masalah yang riil dihadapi masyarakat tadi, dengan melakukan ishlah-ishlah di bidang pertanian. Selama ini PUI banyak fokus pd dakwah dengan mengemukan ajaran-ajaran agama yang itu-itu saja, tanpa mampu menyentuh problema ekonomi yang riil di masyarakat kita.

Diskusi seperti di atas muncul dalam iktikaf puasa Ramadhan PUI kali ini, yang dirasakan memberikan bobot di luar kebiasaan iktikaf pada umumnya. Sebuah iktikaf yg mencerahkan.*

Penulis adalah Pimpinan Ma’had Tadabbur al-Qur’an dan alumni Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep Madura Jawa Timur