Oleh Alex Runggeary
“PERSOALAN Papua sudah selesai sejak 1969. Papua secara sah menjadi bagian Indonesia. Jangan pernah berpikir untuk referendum?.” Itu kata kata yang dilontarkan oleh seorang pejabat tinggi Indonesia yang juga ahli hukum. Tetapi percaya atau tidak, kalau hari ini diberikan kesempatan untuk referendum, saya pikir akan menjadi tontonan yang konyol.
“Bapa dong berhenti bicara Papua sudah. Bapa sudah tahu to, di mana berkumpul dua atau tiga orang Papua, mereka pada akhirnya akan bicara Papua Merdeka”, seorang mahasiswa ketika bergabung pada perbincangan Satupena yang dipandu Swary Utami Dewi, mbak Tami, beberapa waktu lalu.
Benih benih sakit hati itu sudah ada jauh sebelumnya karena banyak perbedaan mendasar yang menyertai sejarah Papua dan penyatuannya dengan Indonesia. Apa sih perbedaan mendasar itu?
Satu, seperti argumen Muhamad Hatta pada pertemuan Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Juni 1945, ketika membahas cakupan luas negara baru Indonesia nanti. Muahamad Yamin dan Sukarno menghendaki wilayah Semenanjung Malaya, Kalimantan Utara, Filipina, Papua masuk ke negara baru ini nanti. Ketika debat berlangsung, Muhamad Hatta meragukan kemampuan negara baru dengan wilayah yang luas.
“Apakah kita sebagai negara baru juga akan mempraktekan prinsip imperialisme, mencaplok wilayah wilayah baru?” Debat itu terus berlanjut sampai ketika sampai pada wilayah Papua yang juga akan dimasukkan kedalam wilayah negara baru, Indonesia. Debat menjadi panas. “Tetapi mereka secara etnografi bukanlah bangsa Indonesia”, Muhamad Hatta.
Terjadilah perbedaan pendapat yang tajam, “Tetapi apakah tuan-tuan pernah membaca Prapanca? Di sana jelas kalau Papua adalah juga bagian wilayah kita”, Sukarno. Akhirnya untuk penentuan wilayah Papua akan masuk Indonesia atau tidak dilakukan dengan pemungutan suara. Muhamad Yamin, Sukarno dan kelompoknya keluar sebagai suara terbanyak. Muhamad Hatta dan kelompok kecilnya menerima hasil itu. Praktek demokrasi dengan menjunjung nilai – nilai. (Negara Paripurna – DR. Yudi Latif)
Perbedaan kedua, ketika wilayah Nusantara dijajah oleh Belanda karena keuntungan tanah yang subur tempat bertumbuh tanaman rempah-rempah yang hasilnya dijual mahal di Eropa, pada waktu yang bersamaan, Papua adalah wilayah tak dikenal.
Tak juga menjanjikan apapun. Adalah Gereja Jerman yang pertama kalinya membuka wilayah terisolir ini dengan melakukan Pekabaran Injil dan mendirikan sekolah-sekolah. Secara berangsur ditangani Gereja Belanda. Pemerintah Belanda baru masuk ke Papua setelah hampir 50 tahun kemudian. (komunitaa bambu id)
Banyak pengorbanan para Pekabar Injil itu. Inilah sebabnya Pengaruh Gereja di Papua luar biasa besarnya membentuk Manusia Papua, bahkan sampai hari ini. Ini juga sebabnya orang Papua tidak sekalipun merasa kalau Belanda adalah penjajah. Mereka baru tahu itu ketika belajar Sejarah Indonesia. Dan atau membaca karya sastra Dowes Dekker atau Pramoedya Ananta Toer. Betapa kejamnya Belanda terhadap bangsa Indonesia melalui tangan bupati pribumi
Peristiwa lain yang sangat berpengaruh yang tidak terjadi pada wilayah lain di Indonesia yang membedakan adalah Tri Komando Rakyat, Trikora 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat, Pepera 1969 serta Undang – Undang Otonomi Khusus Papua No. 21 Tahun 2001
Pada masa jelang Trikora dan setelahnya 1959 – 64 kedudukan Papua di bidang ekonomi, terindikasi pada kota kota besar di Papua jauh di atas Indonesia. Papua mengimpor beras dari Thailand lewat Singapore. Harga bahan makanan tersangka oleh daya beli penduduk kota. Banyak peluang kerja membuka penghasilan meningkatkan daya beli.
Pada waktu yang sama di Indonesia, diduga situasi ekonominya lebih buruk. Lebih banyak perebutan pengaruh partai partai utamanya partai komunis menjadi anak emas Sukarno. Faktanya setelah Belanda angkat kaki dari Papua, kami di asrama SGB Serui 1963-65 makan nasi bercampur beling. Tidak ada lagi pakaian di toko untuk dibeli. Sisa stok di gudang-gudang nigimey peninggalan Belanda harus dibeli dengan antrean panjang menggunakan kupon. Situasi terburuk yang pernah terjadi di Papua.
Peralihan Papua ke Indonesia lebih banyak dipengaruhi Amerika yang membujuk Belanda meninggalkan Papua. Tujuan utama Amerika adalah untuk membendung pengaruh komunis masuk ke Indonesia. Dan menggunakan kesempatan Trikora sebagai pintu masuk.
Itu alasan resmi Amerika. Motivasi lain yang tak diketahui oleh kebanyakan orang dan mungkin juga termasuk presiden Amerika John F Kenedy adalah upaya Alen Dulles sebagai penasehat keamanan (Direktur CIA) adalah – tukar guling Papua Merdeka dengan Gunung Emas Grasberg sisi Barat Daya Puncak Carstenz (The Incubus of Intervention, Greg Poulgrain)
Peristiwa lain yang menghujam dalam hati setiap orang Papua, paling tidak pada masanya adalah – kecurangan memalukan yang terjadi pada Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Juli 1969. Orang Papua yang berbeda pendapat ditangkap tentara dan dijelaskan ke dalam penjara. Konon diantara mereka tak ada yang pernah kembali. Catatan bagian sejarah paling kelam Papua bersama Indonesia [The Darkened Valley, Alex Runggeary]
Kemudian dari pada itu ketika terjadi goncangan Reformasi 1998, 100 tokoh Papua datang menghadap presiden B.J. Habibie minta Papua Merdeka. Terjadilah tukar guling kedua sepanjang sejarah Papua, menukar Papua Merdeka dengan Otonomi Khusus (UU No. 21 Tahun 2001) Setelah membangun Papua dengan pola Otonomi Khusus tadi selama lebih dari 20 tahun, rakyat Papua termiskin se Indonesia. Sejarah dunia telah mencatat bahwa kemiskinan adalah lahan subur bagi pemberontakan rakyat.
Hari ini kita menyaksikan di Mahkamah Konstitusi bagaimana kecurangan dibenarkan oleh hukum. Melanggar etika adalah hal yang boleh-boleh saja. Suasana pertikaian sesama anak bangsa yang coba diselesaikan dengan tata cara elegan. Sebagai suatu negara demokrasi terbesar didunia dalam arti jumlah penduduk dan luas wilayah, kita berharap semuanya akan bersatu padu kembali dalam NKRI yang kita cintai dan banggakan.
Kita tidak ingin ada keretakan antar sesama kita. Tetapi bila keretakan itu berlanjut dan sulit dihindari, orang Papua bisa saja memanfaatkan situasi keretakan ini sebagai pintu keluar menjadi Papua Merdeka.
We never know!
Bandar Lampung, 9 April 2024
Penulis adalah anggota komunitas penulis Indonesia, SATUPENA.