Cerpen Swary Utami Dewi
HARI ini tanggal 22 Oktober 2006. Kata Abah malam takbiran. Kata Emak? Ah, aku harus menanyakan lagi besok apa kata Emak sewaktu aku menjenguk makamnya?
Tapi ya, betul… Anang, temanku sehari-hari yang setia bersamaku pergi dari pagi sampai sore untuk menyemir sepatu di bandara Syamsuddin Noor, juga mengatakan ini adalah malam takbiran. Tapi yang Muhammadiyah aja. Yang NU baru lusa lebarannya, tanggal 24. Lho, kok bisa beda gitu? Aku tidak mendapat jawaban kecuali garukan kepala Anang menandakan kebingungannya.
Aku tidak peduli, apakah lebaran hari ini atau lusa. Bagiku tetap sama, lebaran membawa berkah. Pak Kusnanto, yang kerap kusemir sepatunya di bandara menyuruhku mampir ke rumah untuk mengambil hadiah lebaran. Dan janjinya malam ini. Pak Rusdi, langgananku yang lain, yang katanya punya belasan toko di Jakarta dan hampir dua kali seminggu bolak-balik Banjarmasin Jakarta, menyuruhku datang ke hotelnya, yang tidak jauh dari bandara, untuk mengambil hadiah lebaran untukku.
Mmh, aku membayangkan apa bentuk hadiah dari mereka. Aku memimpikan baju yang bagus, atau .. aku melirik sendal jepitku yang sudah hampir putus. Akhhh, sendal jepit lebih perlu kubeli. Itu kalau aku mendapatkan uang dari mereka. Kalau baju? Aku masih punya dua yang lumayan bagus dan hanya kupakai pada saat-saat tertentu saja: saat ulang tahunku, ulang tahun Abah dan pergi nyekar ke makam Emak.
Uhuk uhuk… Tergesa-gesa aku mengambilkan Abah segelas air putih. Abah meludah dan hi … aku agak ngeri melihat ludahnya bercampur darah. Abah, yang katanya belasan tahun lalu pindah ke Kalimantan dari Sumedang, ingin mengadu nasib di rantau orang. Nyatanya hanya Emak dan kamu yang Abah dapatkan, ingatku akan cerita Abah yang seringkali diulang-ulangnya.
Lantas, Abah akan bercerita padaku tentang Emak, perempuan Banjar berkulit hitam, tapi manis, yang sangat disayang Abah. Emak, kata Abah, meninggal saat dia melahirkanku. Karena Abah hanya seorang tukang becak, dia tidak mampu membawa Emak bahkan ke bidan, saat dia melahirkanku. Emak meninggal karena pendarahan. Bidan Neneng, yang kemudian dipanggil tetangga sebelah untuk menolong Emak, hanya bisa menyelamatkan nyawa sang bayi. Akulah si bayi itu, Asep, yang kini berusia 7 tahun.
“Bah, minum Bah,” aku menyorongkan segelas air ke Abah. Huk, huk. Abah kembali terbatuk. “Obat Abah habis ya yang dari Puskesmas?” Abah menjawab dengan anggukan.
Aku diam melihat Abah hanya diam. Aku mengingat-ingat berapa uang yang sudah kudapatkan dari semiran seminggu ini. Rasa-rasanya, hampir cukup untuk membelikan obat Abah di tukang obat Cina dekat pasar Banjarbaru. Mudah-mudahan toko Akong masih buka malam lebaran ini.
“Bah, aku keluar dulu ya. Sebentar juga pulang.” Aku bergegas berlari mengambil sendal jepitku yang hampir putus, tanpa sempat mendengar jawaban iya atau tidak dari Abah.
Aku bergegas lari, mengetuk rumah Anang. “Hayo, lekas…Ingatkan kubilang ada janji dari Pak Kusnanto dan Pak Rusdi. Hadiah lebaran buatku.” Anang bergegas luar dan mengenakan jaket lusuhnya.
Mengenakan sepeda ontel milik ayah Anang, aku dan Anang sampai di komplek Ratu Elok. “Ini mungkin rumah Pak Kusnanto ya. Nomornya sama 76.” Aku ragu-ragu ingin mengetuk. Kulihat rumah megah ini begitu bersih, membuatku begitu takut bahkan untuk memencet bel.
Melihat aku terdiam lama berdiri ragu-ragu, Anang yang lebih pemberani, memencet bel tersebut. Tidak berapa lama, keluar seorang laki-laki muda.
“Mencari siapa?” dia bertanya setengah bingung melihat penampilan kami berdua. “Dari Asep, Pak. Kata Pak Kusnanto…”
“Oh, ya ya. Bapak sudah bilang. Sebentar kuambilkan.” Aku belum sempat mengangguk ketika lelaki tersebut sudah hilang masuk ke rumah. Sebentar kemudian dia keluar membawa amplop. “Nih, buatmu kata Bapak.”
Aku ternganga, belum sempat mengucapkan terima kasih, lelaki tersebut sudah masuk kembali dan menutup pagar rumah.
“Lho, kok bingung?” Anang mencolekku. “Terima kasihnya belum,” jawabku lirih.
Di atas sepeda ontel yang dikayuh Anang, aku masih terdiam. Jika tadi memikirkan ketidaksempatanku berterima kasih, kini memikirkan apa yang mungkin kubelikan dengan uang seratus ribu ini.
“Auw,” aku menjerit menahan cubitan Anang. “Sudah sampai di hotel, Sep,” Anang menyuruhku turun, kemudian menyeret sepedanya masuk ke parkiran hotel. Tanpa mempedulikan lototan satpam, kami bergegas masuk ke bagian dalam hotel.
“Aduh, bagaimana cara mencari Pak Rusdi?” Aku sekarang yang menggaruk-garuk kepala. Petugas hotel yang sedari tadi mengamati gerak-gerik kami dengan curiga, akhirnya menghampiri.
“Ada perlu apa?” tanyanya menyelidik. Tiba-tiba aku teringat kertas segiempat kecil yang diberikan Pak Rusdi minggu lalu.
“Oh… Pak Rusdiyanto. Ada keperluan apa dengan beliau?” perempuan petugas hotel tersebut masih memperlihatkan tampang menyelidik.
Anang terbata-bata menjelaskan dan penjelasannya membuat perempuan cantik berbaju merah itu semakin mengerutkan dahinya. “Baiklah, saya coba tanyakan. Tunggu sebentar ya.”
Lewat telfon, kuliat perempuan itu berbicara. Sesaat kemudian dia mengangguk-angguk, melambaikan tangan kepada seorang petugas hotel laki-laki, yang dengan sigap langsung datang menghampiri.
Tidak sampai 5 menit, giliran pria berstelan merah yang tadi tergopoh naik ke atas tangga yang menghampiri kami. “Ini, dari Pak Rusdi. Katanya buat Asep.”
“Tolong bilang, teri..” Aku belum sempat menyelesaikan kalimat ketika pria berstelan merah tersebut sudah berlalu dan membukakan pintu buat seorang tamu.
Anang menggamit tanganku mengajakku keluar. Di parkiran, aku sempat mengintip apa yang ada di amplop. Hah, aku melonjak kaget. Uang dua ratus ribu. Dari Pak Kusnanto saja sudah membuatku bingung. Ini tambahan dua ratus ribu lagi.
Waduh, banyak yang bisa kulakukan dengan uang tiga ratus ribu: beli sandal jepit, baju koko Abah, bunga yang banyak untuk ditanam di makam Emak, lalu apa lagi? Oya, sandal jepit untuk Anang. Aku melirik ke kaki Anang mengamati sandal jepitnya yang bernasib sama dengan kepunyaanku.
Abah! Tiba-tiba aku teringat janjiku kepada Abah untuk pulang cepat. “Nang, lewat toko obat Akong ya. Beli obat buah Abah. Cepat, kasihan Abah menunggu lama.”
Aku menghela nafas lega, ketika kulihat Akong masih duduk terkantuk-kantuk di depan mejanya. “Kong, obat yang biasa, buat Abah.”
“Wah, untung kamu cepat datang. Lima menit lagi sudah mau tutup. Empat hari lagi baru buka. Akong juga mau ikut libur lebaran” ucapnya sembari memberikan bungkusan obat itu. Aku segera memberikan uang duapuluh ribu. Akong mengembalikan seribu.
Lima puluh meter menjelang sampai rumah, aku sudah mendengar batuk Abah yang terus menerus. Anang mempercepat sepedanya.
“Dari mana kamu?” Abah bertanya sembari menahan batuk. “Kenapa lama?” Batuk Abah semakin bertambah-tambah.
“Bah, airnya,” aku memberikan segelas air putih hangat ke Abah.
Sambil menggeleng, Abah mengulang pertanyaannya, “Kamu dari mana?”
Anang membantu menjelaskan, sementara aku pura-pura sibuk menyiapkan obat. Aku tahu, Abah akan marah besar jika tahu aku dari mana.
“Kurangajar. Jadi kau ambil uang dari mereka, Asep…?!!!” Aku terlonjak kaget dan hampir menumpahkan bungkusan obat yang ada di pangkuanku. “Apa kata Abah tentang mereka? Berapa kali Abah bercerita tentang mereka?”
“Lebih dari lima kali, Bah,“ jawabku terbata-bata ketakutan.
“Hayo, jawab. Apa kata Abah tentang mereka? Jawab sekarang!!!” suara Abah semakin meninggi, sebentar-bentar batuknya datang.
“Pak Rusdi penipu rakyat. Kerjanya memeras. Dia suka mengatasnamakan rakyat. Dia gemar menyogok. Pak Kusnanto pelaku penebangan liar di Hutan Meratus, yang mengakibatkan banjir di beberapa tempat. Mereka…” Aku tidak sempat melanjutkan ceritaku. Aku terloncat panik, melihat Abah muntah-muntah. Dan banyak darah di muntahannya itu.
“Abah, Abah, minum obatnya. Minum, Bah,” dengan panik aku menjejalkan obat ke mulut Abah. Anang tampak bingung dan ikut mengguncang-guncang badan Abah.
“Tidak, aku tidak mau makan obat dari uang ha…ram…,” Abah diam, lemas, kemudian tidak bergerak-gerak lagi.
“Abah…!!! Abah ….!!! Kenapa diam…!!!” aku semakin panik dan takut dan mengguncang-guncang tubuh Abah. Tapi Abah diam, kaku, tak bergerak.
Beberapa tetangga yang sudah dipanggil Anang, datang merubungi tubuh Abah. Satu dua orang kulihat menggeleng-geleng.
Aku duduk di pojok tempat tidur, meringkuk terisak-isak. Aku belum sempat mengatakan kepada Abah, kalau uang pemberian itu belum kuapa-apakan, dan obat Abah kubelikan dari hasilku menyemir sepatu selama seminggu.
“Abah….”
Sedetik kemudian aku tidak merasakan apa-apa lagi.
Banjarbaru, 22 Oktober 2006