J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia akibat serangan balasan yang dilancarkan Iran ke Israel, Sabtu (13/4).
“Dari sisi perekonomian, tentu kita melihat terjadi lonjakan harga minyak akibat serangan Israel ke Kedutaan Iran di Damaskus, dan juga terhadap retaliasi yang dilakukan oleh Iran. Dari segi ekonomi, Laut Merah dan Selat Hormuz itu menjadi penting terutama karena Selat Hormuz itu dilalui 33 ribu kapal minyak dan Laut Merah dilalui sekitar 27 ribu kapal. Peningkatan freight cost itu menjadi salah satu hal yang harus dimitigasi,” ungkap Airlangga usai melakukan rapat terbatas dengan Presiden Jokowi, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/4).
Meski demikian, jelasnya, fundamental perekonomian tanah air saat ini masih cukup positif. Hal ini, menurutnya, ditandai dengan tingkat inflasi yang masih terkendali di level 2,5 persen plus minus satu persen, neraca perdagangan yang masih surplus, dan cadangan devisa yang tercatat sebanyak USD136 miliar.
Airlangga mengungkapkan, eskalasi di kawasan Timur Tengah akan meningkatkan berbagai ketidakpastian. Namun, katanya, kondisi pasar keuangan dan pasar saham di dalam negeri saat ini masih relatif aman jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Guna mengantisipasi dampak eskalasi geopolitik ini, pemerintah pun akan melakukan beberapa bauran kebijakan fiskal dan moneter seperti menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, menjaga APBN, serta memonitor kenaikan logistik dan kenaikan harga minyak.
“Pemerintah akan terus melihat reformasi struktural dan menjaga ekspektasi investor dan juga memperkuat daya saing untuk menarik investasi jangka panjang ke Indonesia. Jadi kepastian-kepastian itu yang harus dijaga dan tentu berbagai skenario sudah dibahas, seperti menjaga agar defisit tetap dalam rentang yang diperbolehkan,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan, Indonesia akan terus mendorong deeskalasi dan pengendalian diri di antara negara-negara yang terlibat.
“Kita khawatir melihat perkembangan situasi di Timur Tengah dan kita yakin bahwa eskalasi tidak akan membawa manfaat bagi siapapun. Oleh karena itu, upaya diplomatik perlu terus dilakukan oleh semua pihak termasuk oleh Indonesia,” ujar Menlu Retno.
Pihaknya, kata Retno, telah melakukan komunikasi yang intensif dengan para pemimpin dunia, termasuk Menteri Luar Negeri dari Iran, Arab Saudi, Yordania, Mesir, Persatuan Emirat Arab, Uni Eropa, Jerman, Belanda, serta Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Komunikasi tersebut menegaskan pentingnya menahan diri dan mengurangi eskalasi konflik.
“Dua hal yang kita sampaikan di dalam semua komunikasi. Dengan pihak-pihak terkait langsung yang kita minta adalah self restraint, menahan diri, dan deeskalasi, pentingnya melakukan deeskalasi,” jelasnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya perlindungan bagi warga negara Indonesia (WNI) di kawasan konflik. Pemerintah, paparnya, telah menyampaikan himbauan perjalanan, menyiapkan saluran telepon darurat, termasuk menyampaikan arahan langsung kepada WNI di Iran dan Israel mengenai langkah-langkah yang harus diambil jika situasi memburuk.
“WNI kita sejauh ini dalam keadaan baik dan tidak terdampak situasi yang ada,” katanya, seraya menambahkan bahwa kementerian terus melakukan pemantauan dan telah menyiapkan rencana kontingensi.
“Kita terus melakukan pantauan dari dekat dan hampir setiap hari Kementerian Luar Negeri mengadakan rapat secara virtual dengan KBRI-KBRI dengan wilayah-wilayah yang kira-kira dapat terdampak kita terjadi eskalasi” tambahnya.
Presiden Jokowi, ujar Retno berpesan untuk terus melanjutkan upaya diplomasi guna mencegah terjadinya eskalasi yang bisa berdampak serius bagi stabilitas regional dan global, termasuk pada ekonomi dunia.
“Sekali lagi, kita pantau dari dekat, kita waspada, dan kita terus melakukan upaya diplomatik, agar masing-masing pihak menjaga, menahan diri, self restraint, dan kita mencoba untuk bicara dengan sebanyak mungkin pihak untuk menggunakan pengaruhnya agar eskalasi tidak terjadi,” tandasnya.
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan dalam jangka pendek, dampak yang akan dirasakan akibat konflik Iran-Israel ini adalah melambungnya harga minyak dunia yang diperkirakan bisa tembus USD100 per barel apabila konflik ini berkepanjangan. Sebagai informasi, saat ini harga minyak brent telah menyentuh level USD90 per barel.
Konsekuensi dari naiknya harga minyak dunia ini, kata Faisal, adalah naiknya harga BBM di dalam negeri baik untuk BBM yang tidak disubsidi maupun BBM yang disubsidi. Selain itu, menurutnya, hal ini juga akan meningkatkan tingkat inflasi global.
“Ini akan mempengaruhi inflasi, inflasi akan meningkat sebagaimana di tahun 2022. Bukan hanya menyangkut pada inflasi BBM saja tetapi merembet pada bahan pangan dan lain-lain. Artinya itu akan mempengaruhi daya beli masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,” ungkap Faisal.
Guna merespons hal tersebut, katanya, pemerintah harus melakukan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih akomodatif dan memperhatikan dampaknya bagi perekonomian dalam negeri, terutama untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah.
“Artinya dari sisi fiskal berarti kebijakannya harus lebih akomodatif, tidak ketat karena sebelum ada konflik ini, kebijakan fiskal sinyalnya sudah mengarah kepada pengetatan fiskal terutama di bawah pemerintah baru kita dengar ada rencana penambahan cukai, kemudian rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen,” jelasnya.
“Jadi artinya standpoint pemerintah yang sudah mau melakukan pengetatan fiskal, dengan kondisi yang terbaru ini semestinya pemerintah harus menimbang ulang untuk menaikkan dari sisi penerimaan dan juga mengurangi subsidinya karena kalau itu dilakukan akan semakin menekan lagi perekonomian masyarakat dan pertumbuhan ekonomi,” lanjut Muhammad Faisal.
Sementara dari sisi moneter, Faisal berharap, Bank Indonesia (BI) mempertimbangkan untuk menahan kenaikan suku bunga acuan, karena hal ini akan menekan sektor riil di dalam negeri.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung