Oleh L. Nur Salamah, S.Pd
GERAM. Beberapa waktu lalu viral sebuah video ceramahnya Pendeta Gilbert Lumoindong yang menyinggung tentang zakat 2,5% dan membandingkannya dengan perpuluhan. Hal ini sontak menuai kecaman dan menyulut perpecahan, terutama umat Islam.
Meskipun Gilbert sendiri telah menyadari dan mengakui kesalahannya, kemudian menemui para tokoh pemuka agama Islam, termasuk MUI, dalam rangka meminta maaf. Namun Gilbert tetap dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Kongres Pemuda Indonesia pada Sabtu (20/04/2024) atas dugaan penistaan agama, yang sebelumnya juga telah dilaporkan oleh Farhat Abbas pada Selasa Lalu.
Terlepas sengaja atau tidak, paham atau tidak, pernyataan itu terkesan melecehkan.
Jika benar dia sengaja. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Karena sebagai seorang pendeta, menjadi panutan jamaahnya, tidak pantas mengeluarkan kata-kata yang mengandung pelecehan dan merendahkan agama lain.
Selanjutnya, jika tidak ada unsur kesengajaan sepertinya juga tidak mungkin. Karena kapasitasnya sebagai pemimpin umat, seharusnya apa yang akan dikatakan adalah suatu kebaikan atau kebenaran dari ajaran agamanya. Sehingga apa yang disampaikan itu mampu menginspirasi umat dalam kebaikan.
Kalau memang dia tidak paham terkait masalah zakat, seharusnya dipelajari terlebih dahulu. Tidak asal njeplak. Karena bicara masalah zakat tidak sesimpel yang disampaikan. Namun, perlu kajian fiqih secara mendalam. Apa itu zakat? Ada berapa jenis atau macamnya? Siapa yang memiliki kewajiban berzakat? Kepada siapa zakat itu mesti disalurkan? Apa syarat dan ketentuannya. Seperti itu seharusnya.
Kalau mau jujur 2,5% zakat umat Islam itu dibebankan kepada mereka yang mampu (Muzakki) dan wajib diberi kepada yang berhak menerima (mustahiq) yaitu delapan asnaf sebagaimana yang telah tertulis di dalam Al-Qur’an.
Sangat berbeda dengan perpuluhan yang disebut oleh Pendeta Gilbert. Perpuluhan itu pun diakuinya saat podcastnya bareng dr. Richard, merupakan kewajiban jamaah kepada para pendeta. Hal ini jelas sangat berbeda dengan zakat yang Allah Swt. syariatkan dalam Islam.
Dengan pernyataan tersebut diakui atau tidak, dia telah merendahkan martabatnya sendiri dan agamanya. Ingat sebuah nasihat: “Setiap kebaikan akan kembali kepada pelakunya, begitu sebaliknya. Setiap keburukan juga akan kembali kepada pelakunya”.
Mari kita renungkan sejenak. Kasus pelecehan atau penistaan agama, khususnya Islam. Bukan kali pertamanya terjadi. Tapi berulang kali. Namun sayangnya, kasus mereka menguap begitu saja. Tidak ada proses hukum yang adil. Bahkan seakan ada semacam pembiaran.
Sekularisme Menyuburkan Penistaan
Berbagai macam kasus penistaan atau pelecehan terhadap Islam dan simbol-simbol agama Islam terus tumbuh subur dalam sistem sekuler, yaitu sebuah sistem yang memisahkan agama dari aktivitas kehidupan dan negara.
Dengan demikian dalam setiap aspek kehidupan tidak memakai aturan agama. Manusia membuat aturan sendiri yang sarat akan kepentingan dan hawa nafsu.
Sehingga aturan yang diciptakannya pun meniscayakan pertentangan, kerusakan dan kezaliman. Termasuk dalam ranah hukum. Hukum saat ini tak ubahnya seperti pisau dapur, tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum berpihak atau membela yang bayar bukan membela yang benar.
Sudahlah begitu, hukuman yang diberlakukan sama sekali tidak menimbulkan efek jera. Maka wajar jika para penista agama makin banyak dan tumbuh subur.
Islam Memiliki Seperangkat Aturan
Berbeda dengan Islam. Islam turun sebagai ideologi yakni akidah yang memancarkan segenap aturan, yang mengatur seluruh aspek kehidupan mulai dari hal terkecil hingga yang besar. Mulai perihal masuk kamar mandi sampai masalah politik dan bernegara. Termasuk dalam aspek hukum dan keadilan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada masa kekhilafahan Utsmaniyah, Sultan Abdul Hamid II berhasil menghentikan rencana pementasan drama karya Voltaire yang akan menista kemuliaan Rasulullah saw..
Beliau langsung mengultimatum Kerajaan Inggris yang bersikeras akan melegalkan pementasan drama murahan tersebut. Sebagai penguasa dengan tegas beliau mengancam akan mengeluarkan perintah kepada Umat Islam untuk mengobarkan jihad akbar. Akhirnya Kerajaan Inggris ketakutan dan pementasan itu dibatalkan
Sungguh saat ini kita sangat merindukan sosok pemimpin yang tegas, amanah, adil dan bertakwa, yang mampu menjaga Muruah Islam dan kemuliaan ajaran Islam. Namun, hal tersebut hanya sebuah ilusi jika kita masih tetap mengadopsi sistem sekuler demokrasi.
Oleh karenanya diperlukan peran kita untuk menyadarkan umat bahwa hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah lah keadilan dan kemuliaan ajaran Islam terwujud.
Waallahu A’lam Bish Shawwab.*
Penulis adalah Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Bermestautin di Batam