J5NEWSROOM.COM, Polisi Kota New York menangkap para pengunjuk rasa di Columbia University pekan lalu (30/4). Namun, mereka berusaha terlebih dahulu mengusir para jurnalis mahasiswa di kampus itu.
Saat polisi datang dan menyingkirkan para demonstran yang menduduki gedung Hamilton Hall, para jurnalis mahasiswa menyampaikan kepada VOA bahwa hanya sedikit dari mereka yang tersisa untuk bisa meliput peristiwa itu.
“NYPD (Departemen Kepolisian Kota New York) sangat membatasi akses awak media, termasuk jurnalis mahasiswa yang berada di dalam kampus. Beberapa anggota pers mahasiswa yang berada di luar Hamilton Hall dikeluarkan dari kampus,” kata Meghnad Bose, mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Jurnalisme Columbia University, melalui wawancara Zoom.
“Ini sangat meresahkan, karena mereka tidak bisa berada di sana untuk mendokumentasikan atau menjadi saksi atas tindakan yang akan dilakukan polisi di situasi rawan.”
Bose dan jurnalis mahasiswa lainnya di Columbia University mengatakan, kebebasan pers telah dirampas. Meski demikian, liputan mereka justru menginspirasi jurnalis mahasiswa lainnya.
“Terutama seperti saat mendengarkan siaran radio Columbia,” ujar Franziska Wild, redaktur eksekutif majalah berita The Georgetown Voice di Georgetown University, Washington, D.C.
“Saya pikir siaran itu menjadi pelajaran yang baik bagi kami, jurnalis mahasiswa, untuk memahami bahwa narasi resmi itu ada, tapi liputan kami dapat mempertanyakannya.”
Sementara di Pesisir Barat AS, polisi antihuru-hara pada Kamis (5/2) membongkar perkemahan demonstran pro-Palestina di University of California, Los Angeles (UCLA).
Jurnalis mahasiswa berada di garis depan ketika polisi bergerak untuk merobohkan perkemahan dan menangkap pengunjuk rasa. Surat kabar mereka melaporkan setidaknya empat wartawan mereka diserang pihak tak dikenal.
“Saya pikir, apa yang mereka lakukan menunjukkan betapa pentingnya jurnalis mahasiswa di institusi pendidikan. Mereka melaporkan berita terbaru secara rutin kepada para dosen dan mahasiswa, tentang apa yang terjadi di kampus mereka, terutama pada situasi saat ini,” terang George Dutton, dosen bahasa di UCLA.
Para jurnalis mahasiswa mengatakan, keselamatan menjadi prioritas utama mereka. Beberapa di antaranya melakukan peliputan secara berpasangan. Yang lainnya mengenakan tanda pengenal pers berukuran besar.
Liputan mereka banyak mendapat pujian.
Dewan Pulitzer Prize, yang memberikan penghargaan atas pencapaian-pencapaian luar biasa dalam bidang jurnalistik di AS, mengapresiasi para jurnalis mahasiswa di negara itu karena tanpa lelah meliput aksi demonstrasi, meski menghadapi risiko pribadi.
Para pengamat hukum juga memantau berbagai peristiwa di lapangan. Mereka mencatat bahwa jurnalis mahasiswa disemprot merica, ditembak dengan peluru karet dan diberi sanksi oleh universitas karena mereka meliput.
“Ketika jurnalis mahasiswa disamakan dengan pengunjuk rasa yang ingin mereka liput, ini merugikan semua orang,” kata Jonathan Falk, staf kuasa hukum di Student Press Law Center di Washington, melalui wawancara Zoom.
Di George Washington University, selama berbulan-bulan, jurnalis mahasiswa meliput berbagai peristiwa menjelang pecahnya konflik kampus yang kian memanas. Aksi mendirikan perkemahan itu merupakan upaya bersama delapan kampus di wilayah Washington.
Banyak jurnalis yang sudah berada di universitas itu sejak tenda pertama didirikan pada pertengahan April lalu.
“Mereka mengatakan kepada kami, ‘Hei, ada sesuatu yang sedang terjadi. Kalian harus siaga.’ Untuk itu, para anggota tim media berkumpul dan menyusun rencana peliputan,” jelas Eddy Binford-Ross, redaktur media The Georgetown Voice.
Terlepas dari itu semua, sejumlah jurnalis mahasiswa mengatakan kepada VOA bahwa mereka sekadar melanjutkan apa yang telah mereka lakukan selama ini, sebelum kampus mereka menjadi pemberitaan internasional dan karya mereka mendapat pengakuan, yaitu untuk meliput berita kampus.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah