J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Ketua KPK Periode 2011-2015, Abraham Samad, mengimbau Presiden Jokowi untuk lebih berhati-hati dan selektif dalam memilih panitia seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK. Menurutnya, hal ini penting untuk menghindari kejadian serupa pada pemilihan pansel KPK t2019 yang menghasilkan pimpinan KPK yang kurang kredibel dan tidak berintegritas.
Menurutnya pansel KPK harus terdiri dari orang-orang yang berintegritas, jujur, independen dan tidak berafiliasi dengan kelompok politik tertentu, eksekutif, legislatif dan yudikatif.
“Jangan sampai terulang pemilihan pansel seperti di masa lalu yang menghasilkan pimpinan kpk yang cacat moral, merusak marwah KPK dan pemberantasan korupsi. Minta Jokowi berhati-hati memilih pansel, lebih selektif,” kata Samad kepada VOA, Senin (20/5).
Dalam seleksi terdahulu, panitia seleksi menghasilkan pimpinan yang tidak berintegritas, katanya. Tiga dari lima pemimpin KPK terpilih terseret pelanggaran kode etik, yaitu Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar dan Nurul Ghufron. Lili bahkan mengundurkan diri sebelum Dewan Pengawas KPK membacakan vonis atas pelanggaran etiknya. Adapun Firli direkomendasikan dipecat karena terseret kasus korupsi. Sedangkan Ghufron tengah menjalani pelanggaran etik di Dewan Pengawas.
Abraham Samad menyatakan bahwa performa komisi antirasuah saat ini sangat buruk. Selain adanya sejumlah pimpinan KPK yang bermasalah, juga terdapat sejumlah pegawai KPK yang terlibat dalam kasus suap. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, tambahnya, penting untuk menyelamatkan KPK dengan memilih panitia seleksi yang baik dan merevisi kembali Undang-Undang KPK.
Nama-nama calon panitia seleksi calon pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK periode 2024-2029 mulai beredar. Beberapa nama yang disebut-sebut akan mengisi Pansel tersebut antara lain Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BKPM) M. Yusuf Ateh, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, serta Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria.
Selain itu, nama-nama lain yang juga beredar yaitu pengajar hukum pidana Universitas Airlangga Surabaya Taufiq Rachman, Deputi Bidang Keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Komisaris PT PLN Nawal Nely, Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM Ambeg Paramarta, Rektor IPB Arief Satria, anggota Dewan Transparency International Indonesia Rezki Sri Wibowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Elwi Danil, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode M. Syarif, dan Ketua Pansel Capim KPK 2019 Yenti Garnasih.
Koordinator Staf Khusus Presiden, Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, belum bersedia mengkonfirmasi nama-nama yang beredar karena Presiden Jokowi belum membuat keputusan mengenai anggota Pansel calon pimpinan dan Dewas KPK.
Beberapa mantan pemimpin KPK secara bersama-sama telah mengajukan kriteria untuk panitia seleksi calon pimpinan KPK periode 2024-2029 kepada Presiden Jokowi melalui surat. Para mantan pimpinan KPK tersebut meliputi Erry Riyana Hardjapamekas, Mochamad Jasin, Mas Achmad Santosa, Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, Abraham Samad, Laode M. Syarif, Basaria Panjaitan, dan Saut Situmorang.
Surat tersebut dibuat sebagai bentuk keresahan para mantan pemimpin komisi anti rasuah terhadap kondisi pemberantasan korupsi saat ini dan nasib KPK. Nasib KPK tercermin dari skor indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 versi Tranparency International, yaitu berada pada angka 34 dari rentang penilaian 0-100. Peringkat Indonesia juga anjlok dari 110 menjadi 115.
Tak Terulang
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengingatkan agar seleksi pimpinan KPK 2019 tak terulang dalam seleksi kali ini. Kurnia menekankan independensi pansel ini sangat krusial karena mereka akan mencari figur yang independen untuk mengisi posisi pimpinan KPK dan anggota Dewan Pengawas KPK lima tahun ke depan.
Ia juga mempertanyakan rencana pemerintah mengisi pansel dengan komposisi lima orang dari unsur pemerintah dan empat dari masyarakat sipil. Dia menduga Undang-Undang KPK menjadi alasan pemerintah untuk memperbanyak unsur pemerintah dalam keanggotaan pansel. Namun Kurnia meminta Presiden memahami situasi KPK yang abnormal.
Proses pemilihan pansel 2024 ini, tambahnya, tidak bisa lagi menggunakan kacamata yang normal karena situasi KPK hari ini adalah “abnormal”. Maka dari itu ungkap Kurnia, jika presiden punya kompetensi dan pengetahuan yang baik tentang KPK belakangan ini mestinya komposisi itu bisa dirombak dengan memperbanyak figur-figur yang tidak memiliki aliansi dengan pihak manapun termasuk pemerintah .
“Kami sampai saat ini tidak tahu apa landasan dari angka-angka itu. Apakah semata-mata karena KPK sudah di bawah pemerintah sehingga pemerintah harus lebih dominal di dalam pansel. Atau mungkin yang kedua, ada upaya intervensi dalam proses pemilihan pimpinan maupun Dewas KPK,” ujarnya.
Selain itu, menurut Kurnia, transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi calon pimpinan KPK sangat krusial.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah