Oleh Rahmat Mulyana
MENURUT laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk Indonesia berusia 15-24 tahun yang tergolong sebagai NEET (Not in Employment, Education, or Training). Ini berarti mereka tidak bekerja, tidak sedang dalam pendidikan, dan tidak mengikuti pelatihan apapun. Angka ini mencerminkan 22,25% dari total populasi usia muda di Indonesia, menunjukkan masalah serius dalam integrasi generasi muda ke dalam sistem ekonomi dan pendidikan.
Ketika dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah NEET perempuan mencapai 5,73 juta, yang mewakili 26,54% dari total populasi muda perempuan. Sementara itu, jumlah NEET laki-laki mencapai 4,17 juta, atau 18,21% dari total populasi muda laki-laki. Data ini menunjukkan bahwa perempuan muda lebih rentan untuk masuk dalam kategori NEET dibandingkan laki-laki muda, menyoroti ketidaksetaraan gender dalam akses terhadap pekerjaan dan pendidikan.
Dilihat dari kelompok usia, jumlah NEET paling banyak berada pada rentang usia 20-24 tahun, yaitu sebanyak 6,46 juta orang. Sementara itu, jumlah NEET pada kelompok usia 15-19 tahun adalah 3,44 juta orang. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar dalam mengintegrasikan generasi muda ke dalam dunia kerja atau pendidikan terjadi pada tahap transisi dari pendidikan menengah ke pendidikan tinggi atau pasar kerja.
Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, kelompok terbesar NEET adalah lulusan sekolah menengah atas (SMA), yang jumlahnya mencapai 3,57 juta orang. Disusul oleh lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan 2,29 juta orang, lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dengan 1,84 juta orang, dan lulusan sekolah dasar (SD) dengan 1,63 juta orang.
Jumlah NEET yang merupakan lulusan universitas adalah 452.713 orang dan lulusan diploma adalah 108.464 orang. Data ini menunjukkan bahwa bahkan pendidikan menengah dan tinggi tidak selalu menjamin akses ke pekerjaan atau pelatihan lebih lanjut.
Dampak Ekonomi
Fenomena NEET (Not in Employment, Education, or Training) di Indonesia berdampak signifikan terhadap ekonomi, terutama dalam hal produktivitas yang hilang. Dengan 10 juta individu NEET pada kelompk Gen Z, potensi kontribusi ekonomi yang signifikan tidak terealisasi, mengakibatkan jutaan jam kerja yang hilang yang seharusnya dapat meningkatkan produksi dan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, NEET menimbulkan beban fiskal bagi pemerintah karena hilangnya pendapatan pajak dan kebutuhan untuk mengalokasikan anggaran tambahan untuk bantuan sosial dan dukungan ekonomi. Rendahnya daya beli NEET juga menyebabkan penurunan konsumsi domestik, yang berdampak pada permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Ketimpangan sosial diperburuk oleh fenomena NEET, dengan individu yang tidak memiliki akses ke pendidikan dan pekerjaan terjebak dalam kemiskinan dan memiliki mobilitas sosial yang terbatas. Ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara kelompok masyarakat yang beruntung dan yang tidak. Banyak NEET memiliki keterampilan yang tidak terpakai, yang tanpa pendidikan lanjutan dan pelatihan yang memadai, menjadi usang dan tidak relevan dengan kebutuhan pasar kerja yang berkembang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tidak merata sering kali terkonsentrasi pada kelompok menengah atas dan sektor ekonomi tertentu, tidak memberikan manfaat yang merata dan meninggalkan banyak masyarakat di bawah garis kemiskinan. Deindustrialisasi dan penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB menyebabkan berkurangnya lapangan kerja yang tersedia.
Investasi asing yang tidak mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dapat menyebabkan penggusuran lahan dan kerusakan lingkungan. Utang negara yang meningkat menimbulkan risiko fiskal dan dapat mengurangi kemampuan pemerintah untuk membiayai program sosial dan pembangunan.
Kebijakan pajak yang tidak adil dapat mengurangi daya beli masyarakat dan memperburuk ketimpangan ekonomi, sementara kebijakan ekonomi yang menguntungkan kepentingan politik pribadi atau kelompok tertentu dapat merugikan kepentingan publik.
Untuk memperbaiki kondisi NEET, sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja, meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi yang berorientasi pada industri. Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta penting untuk menciptakan lebih banyak peluang kerja, terutama di sektor yang membutuhkan tenaga kerja muda.
Meningkatkan akses pendidikan dan pelatihan melalui program daring dan beasiswa dapat membantu mengatasi keterbatasan akses, terutama di daerah terpencil. Upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan bebas diskriminasi harus ditingkatkan, serta memberikan dukungan sosial seperti konseling karir, pelatihan keterampilan hidup, dan bantuan finansial.
Solusi kebijakan pembangunan termasuk fokus pada pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, diversifikasi ekonomi, dan pengembangan sektor-sektor yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam. Memberikan insentif bagi investasi yang menciptakan lapangan kerja, reformasi sistem pendidikan dan pelatihan, menyederhanakan regulasi ketenagakerjaan dan birokrasi, serta memberikan dukungan kepada UMKM dalam akses pembiayaan, teknologi, dan pasar.
Pembangunan infrastruktur, terutama di daerah terpencil, sangat penting untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Dengan menerapkan solusi-solusi ini, Indonesia dapat mengatasi masalah NEET dan memaksimalkan potensi ekonomi generasi muda, serta memastikan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Koreksi yang Diperlukan
Untuk mencegah terulangnya kondisi di mana 10 juta orang Indonesia tidak terlibat dalam pekerjaan, pendidikan, atau pelatihan (NEET), pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis. Investasi di sektor-sektor yang dapat menciptakan lapangan kerja luas seperti manufaktur, teknologi informasi, dan layanan kesehatan adalah kunci. Contohnya, pengembangan industri kreatif di Indonesia telah menunjukkan potensi dalam menyerap tenaga kerja muda dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pembangunan juga harus memperhatikan aspek lingkungan dan hak-hak masyarakat. Sebagai contoh, program reboisasi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan telah terbukti dapat menciptakan pekerjaan sambil melindungi lingkungan.
Reformasi kebijakan pajak yang membebani lebih sedikit kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah sambil memberikan insentif kepada perusahaan yang menciptakan lapangan kerja atau berinvestasi dalam pelatihan karyawan juga penting. Misalnya, pemberian insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam energi terbarukan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pentingnya mengutamakan kepentingan publik dalam kebijakan pembangunan tidak bisa diabaikan. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat memberikan manfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya sekelompok kecil. Contoh kasus di Indonesia adalah ketika pemerintah memprioritaskan pembangunan infrastruktur di daerah terpencil untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan dasar.
Investasi dalam infrastruktur pendidikan dan pelatihan sangat penting untuk mengurangi jumlah NEET. Contoh nyata adalah pembangunan sekolah vokasi yang berorientasi industri di berbagai daerah di Indonesia, yang telah berhasil menciptakan sumber daya manusia yang siap kerja.
Kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan harus diperkuat untuk mengatasi masalah NEET secara holistik. Sebagai contoh, kerja sama antara universitas dan industri dalam program magang telah membantu mahasiswa mendapatkan pengalaman kerja yang relevan.
Dengan pendekatan inklusif dan berkelanjutan, diharapkan jumlah NEET di Indonesia dapat berkurang dan potensi generasi muda dapat dimaksimalkan. Ini akan menciptakan fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semoga.*
Penulis adalah dosen IAI Tazkia dan Associate INDEF