Revisi UU Penyiaran Ancaman Jurnalisme Investigasi

Jurnalis anggota AJI dan PPMI Kota Solo berorasi dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Monumen Pers, Solo. (Foto dok.: AJI Solo)

J5NEWSROOM.COM, Sejak undang-undang yang mengatur tentang penyiaran di Indonesia disepakati dan mulai diberlakukan pada tahun 2002, teknologi penyiaran kini sudah jauh berkembang dengan hadirnya teknologi digital yang menggantikan siaran analog, serta diversifikasi platform penyiaran itu sendiri melalui digitalisasi.

Publik kini tidak lagi berperan sebagai konsumen informasi yang disiarkan, tetapi juga bisa turut berkontribusi dan memiliki kebebasan untuk memilih jenis informasi yang diinginkan berkat adanya berbagai jenis platform media non-konvensional yang dapat diakses kapan pun dan di mana pun.

Perkembangan teknologi tersebut sejatinya menjadi sebuah kesempatan bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk dapat menjangkau, memperoleh, dan memperkenalkan lebih luas informasi, tidak hanya dalam skala nasional tetapi juga dunia.

Direktur Eksekutif lembaga studi dan pemantauan media Remotivi, Yovantra Arief, menjelaskan bahwa revisi undang-undang penyiaran perlu bisa menyesuaikan perkembangan terkini dan seharusnya mampu mengakomodir semangat tersebut, bukan sebaliknya.

“Kami melihat bahwa draf (RUU Penyiaran) yang ada sekarang itu sangat jauh dari kepentingan nasional kita gitu ya, dan dia juga justru memberangus banyak hak kebebasan kreativitas, kebebasan pers, berekspresi, dari warga,” sebut Arief kepada VOA, Minggu (19/5).

Ancaman Terhadap Jurnalisme Investigasi

Mengutip hasil survei Katadata Insight Center bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2021, mayoritas masyarakat Indonesia mengakses informasi paling banyak melalui media sosial, dengan persentase mencapai 73 persen.

Disusul dengan platform televisi sebanyak 59,7 persen dan berita online sebanyak 26,7 persen.

Tingginya konsumsi informasi masyarakat melalui media sosial—media non-konvensional yang sejatinya menjadi platform berbagi pesan—mau tidak mau membuat perusahaan media konvensional, serta profesi jurnalistik secara umum, turut bergeser lebih banyak ke platform tersebut untuk menyiarkan informasinya.

“Peredarannya bisa lewat Instagram, lewat TikTok, lewat Facebook atau lewat YouTube. Jadi arus informasi ‘jurnalistik’ saat ini lebih didominasi audio visual,” sebut Aqwam Fiazmi Hanifan, Produser Narasi Newsroom kepada VOA, Jumat (17/5).

Selaku Produser Investigasi Visual, Aqwam juga mengimplementasikan hal serupa untuk produk jurnalisme yang dihasilkannya.

Efektivitas audio visual dalam amplifikasi informasi hasil investigasi jurnalistik, terlebih jika sampai viral, menurutnya menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah dan DPR ingin campur tangan dalam pengawasannya melalui RUU Penyiaran terbaru.

“Kalau kita berkaca kepada pemilu kemarin, di mana banyak produksi kawan-kawan audio visual seperti misalkan mas Dandy (melalui Watchdog), misalkan juga kawan-kawan Tempo yang mengconvert, dikurangi peran berbasis teks mereka dengan format podcast,” tuturnya.

Menurut Aqwam, alasan tersebut terlihat jelas dalam pembahasan RUU terkini yang secara spesifik menyasar pengawasan audio visual, bukan hasil jurnalisme investigasi dalam bentuk tulisan.

“Karena yang mengatur (lewat UU penyiaran) kan KPI ya, bukan Dewan Pers. Jadi sebetulnya yang ingin mereka setop, yang ingin mereka regulasi secara penuh memang konten-konten investigasi berbasis audio visual,” Jelas Aqwam.

Timbul Tenggelam Wacana RUU Penyiaran

Wacana untuk mengubah UU No. 32 tahun 2002 yang mengatur penyiaran telah lama timbul tenggelam pembahasannya dalam beberapa periode pemerintahan terakhir.

Namun, setidaknya hingga 27 Maret lalu, draf RUU penyiaran sudah sampai pada tahap proses di Badan Legislatif (Baleg) DPR RI sebelum nantinya akan diserahkan ke Komisi I DPR.

“Pertanyaannya bukan kenapa baru digagas sekarang, tetapi kapan mau selesai? Jadi prosesnya sudah cukup panjang dan justru luar biasa lamanya,” terang Rizki Natakusumah, Anggota DPR Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat kepada VOA, Selasa (21/5).

Menurut Rizki, pesatnya perkembangan teknologi penyiaran, termasuk salah satunya Over-The-Top atau siaran melalui jaringan internet yang tidak melibatkan operator penyiaran audio visual konvensional seperti televisi dan radio, menjadi salah satu alasan agar KPI memiliki wewenang yang lebih luas dalam pengawasannya, dimulai dengan merevisi UU tersebut.

Tetapi Rizki tidak menampik adanya kontroversi dari masyarakat, khususnya kekhawatiran terkait kebebasan pers yang terancam melalui revisi tersebut.

“Tentu etika jurnalisme dan lain sebagainya itu UU Pers yang mengatur. Intinya di UU Penyiaran ini dibahas apa yang layak, apa yang pantas (disiarkan), atau etika dalam penyiaran itu sendiri. Bukan kebebasan pers yang ingin kita atur di situ,” jelas Rizki.

Tumpang Tindih Tugas Penegak Hukum?

Rizki menyebut bahwa dalam pembahasan RUU Penyiaran ini, DPR memang menerima masukan dari aparat penegak hukum bahwa jika mereka sedang menangani suatu kasus agar tidak dibuka secara berlebihan oleh media.

Aqwam pun mengiyakan bahwa ada tudingan bahwa kinerja media sering overlap dengan apa yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

“Masalahnya dalam beberapa kasus, dalam pengalaman pribadi saya, aparat penegak hukum enggak bekerja dengan semestinya,” ujar Aqwam.

“Ada banyak laporan investigasi oleh teman-teman media di Indonesia yang pada akhirnya itu mampu membongkar satu kasus yang pada mulanya gagal diselesaikan secara maksimal oleh aparat penegak hukum. Contohnya kasus Sambo,” pungkasnya.

Menurut Aqwam, jika kasus tersebut tidak ada dorongan media untuk mengungkap fakta sebenarnya, kasus tersebut akan menguap begitu saja seperti halnya dengan Joshua yang meninggal dalam peristiwa baku tembak.

Semangat Kebebasan Informasi & Berekspresi

Arief menyebut bahwa Remotivi kini sedang berupaya menghentikan proses pembahasan RUU tersebut karena dinilai terlalu tergesa-gesa dan perlu adanya keterlibatan setiap para pemangku kepentingan dalam pembahasannya.

“Jangan terlalu dipaksakan selesai dalam periode ini. Enggak apa-apa dibahas lagi di periode selanjutnya karena undang-undang ini akan menyangkut hajat hidup banyak orang,” tegasnya.

Meski begitu, Arief tidak memungkiri UU Penyiaran saat ini sudah usang dan perlu diperbarui relevansinya dengan industri terkini, namun dengan tetap menjaga semangat menjaga keragaman kepemilikan, serta keragaman konten maupun informasi yang disiarkan.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah