J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Kasus dugaan penguntitan jaksa muda bidang pidana khusus (jampidsus) oleh anggota Densus 88 telah menuai spekulasi luas, termasuk kecurigaan upaya melindungi petinggi institusi hukum yang terlibat kasus tertentu.
Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin belum memberikan keterangan resmi. Tapi, Menkopolhukam, Hadi Tjahjanto, mengatakan “mungkin berita itu simpang siur saja”.
Sementara itu, sejumlah kalangan mengingatkan jika kasus ini dibiarkan mengambang, dapat jadi preseden buruk dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin melemparkan senyum kepada wartawan saat keluar dari pintu Istana negara di Jakarta, Senin (27/5/2024).
Mereka digandeng menuruni tangga oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Hadi Tjahjanto usai pembukaan acara Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) Summit 2024 dan Peluncuran GovTech Indonesia.
“Ingat ya, sudah gandengan loh,” kata Hadi.
Saat pekerja media mengonfirmasi dugaan penguntitan jaksa agung muda tindak pidana khusus (jampidsus) oleh anggota Densus 88, baik Listyo maupun ST Burhanuddin memilih bungkam. Tidak membantah atau menanggapi.
“Tanya sama yang nanya,” kata Listyo.
“Nggak ada masalah apa-apa kok,” jelas ST Burhanuddin.
Sejumlah surat kabar nasional sebelumnya memberitakan Jampidsus Febrie Ardiansyah dibuntuti anggota Densus 88 Antiteror saat berada di sebuah restoran di Jakarta, Minggu malam (19/5/2024). Anggota Densus 88 itu sempat ditangkap oleh anggota polisi militer yang ikut bersama Febrie.
Jaksa Febrie sedang menangani kasus mega korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung senilai Rp271 triliun. Febrie sebelumnya juga menyidik kasus-kasus korupsi lainnya yang menyita perhatian publik seperti kasus Jiwasrawa, Asabri, Garuda Indonesia dan BTS Kominfo.
Dalam keterangan terpisah, Menkopohukam, Hadi Tjahjanto mengatakan isu penguntitan “mungkin berita itu simpang siur saja”.
Ia menegaskan tidak ada masalah di antara kepolisian dan kejaksaan agung.
“Yang penting masyarakat itu adalah melihat kedua institusi ini tetap terjaga marwahnya. Enggak apa-apa, semuanya aman. Percaya sama saya, nanti kalau ada apa-apa, saya akan bicara,” kata Hadi, seperti dikutip dari Kompas.
Keterangan gambar,Pegawai Kejagung melintas disamping mobil Polisi Militer yang terparkir di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (27/5/2024).
Sikap diam kapolri dan jaksa agung berarti membiarkan gelombang spekulasi liar di tengah masyarakat, kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic (ISESS) Bambang Rukminto.
“Ya, kalau seperti itu ya, membiarkan asumsi-asumsi liar itu berkeliaran di publik, kan Seperti itu,” kata Bambang.
Asumsi-asumsi liar itu beragam. Tapi ini yang mengemuka: ada upaya melindungi petinggi di kepolisian dari kasus tertentu yang sedang diselidiki kejaksaan.
“Kalau seperti ini artinya yang bersorak-sorak kan para koruptor… Artinya mereka bisa mengadu dua institusi negara,” jelas Bambang.
Bukan hanya memicu spekulasi liar, kasus ini juga berbuntut panjang.
Jampidsus Febrie Ardiansyah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan kerugian negara yang ditimbulkan akibat proses lelang PT Gunung Bara Utama di Kejaksaan Agung.
Ronald Loblobly yang mengatasnamakan diri sebagai Koodinator Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) mengatakan indikasi kerugian negara mencapai Rp9 triliun.
“Terlapornya Jampidsus (Febrie Adriansyah), kemudian PPA penilaian aset Kejagung, juga dari DJKN Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan lain-lain,” kata Ronald seperti dikutip dari Kompas.
Seperti apa kejanggalan kasus ini?
Anggota Densus 88 sejatinya mengawasi dan memata-matai potensi serangan teror atau jaringan lain yang mengancam publik atau negara. Tapi IM – inisial anggota Densus 88 yang ditangkap polisi militer – justru mengintai Jaksa Febrie, menurut laporan Tempo.
“Densus pun juga tidak memiliki kewenangan melakukan penangkapan maupun penyelidikan non-terorisme. Karena tugas pokoknya memang dalam pemberantasan terorisme, seperti itu,” kata Bambang.
Selain itu, kejanggalan lainnya adalah pengamanan yang dilakukan terhadap Jaksa Febrie oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Menurut Bambang, hal ini tidak ada dasar aturannya karena biasanya pengaman terhadap VVIP (Very Very Important Person) terhadap pejabat negara dilakukan oleh polisi.
“Makanya ke depan harusnya ada undang-undang yang mengatur terkait pengamanan VVIP, kemudian VVIP ini pejabat negara, kemudian pengamanan objek vital nasional, gedung kejaksaan,” katanya.
Sejak kasus dugaan penguntitan jampidsus dibicarakan publik, muncul konvoi kendaraan bermotor oleh anggota kepolisian di seputaran gedung Kejaksaan Agung. Lalu, Puspom TNI mengerahkan personelnya untuk mengamankan markas Korps Adhiyaksa.
Namun, dalam keterangan kepada media, TNI membantah pengamanan ini terkait dengan isu penguntitan Jampidsus oleh Densus 88. TNI sudah punya kesepakatan dengan kejaksaan terkait pengamanan.
“Bantuan pengamanan sudah dilaksanakan jauh sebelumnya dalam rangka mendukung giat penegakan hukum, karena kita di sana ada Jampidmil (jaksa agung muda bidang pidana militer),” kata juru bicara TNI, Mayjen TNI Nugraha Gumilar seperti dikutip Antara.
ICW: Ungkap motif penguntitan
Peneliti dari lembaga antikorupsi ICW, Dika Anandya, menilai sikap diam dari kepolisian dan kejaksaan agung “menandakan bahwa ada konflik yang kemudian itu tidak bisa dibuka kepada publik”.
“Saya kira menjadi penting juga bagi Jaksa Agung (ST Burhanuddin) untuk memberikan statement berkaitan dengan tindak lanjut atau perkembangan dari penanganan perkara yang saat ini sedang mereka tangani,” kata Dika.
Selain itu, ia mengatakan terungkapnya penguntitan jaksa penyidik kasus rasuah ini merupakan “upaya intimidasi kinerja kejaksaan Agung dalam menangani perkara tindak tindana korupsi”.
Sebenarnya untuk mengungkap motif dari kasus ini tidak sulit. Anggota Densus 88 yang sempat tertangkap dalam kasus ini bisa mengungkap dalangnya.
“Kapolri Listyo Sigit Prabowo bisa segera memberikan keterangan resmi dan juga menindaklanjuti semua anggota Densus yang terlibat dalam operasi tersebut, termasuk menyampaikan informasi sampai pada siapa yang memerintahkan anggota Densus tersebut untuk melakukan operasi pengintaian,” katanya.
Namun, belum ada keterangan resmi apapun dari polisi. Oleh karena itu, Dika bilang di tengah situasi ini, Presiden Joko Widodo bisa mengambil inisiatif memberikan pernyataan apa yang sebenarnya terjadi.
“Peran presiden menjadi sangat penting sebagai panglima tertinggi penegakan hukum agar kemudian ke depan koordinasi dan juga supervisi antar kejaksaan dan juga kepolisian itu bisa terjalin dengan baik,” katanya.
Ie menambahkan, jika tidak ada, maka ini bisa menjadi “preseden buruk” terhadap upaya penegakan hukum yang diduga melibatkan salah satu institusi ini.
BBC News Indonesia telah meminta komentar dari Staf Khusus (Stafsus) Presiden bidang Hukum, Dini Purwono. Tapi sampai berita ini diturunkan, belum mendapatkan respons.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Pangeran Khairul Saleh mengatakan isu ini sudah menjadi pembahasan dalam rapat pimpinan komisi tiga. “Sedang dibahas,” kata Khairul dalam pesan kepada BBC News Indonesia.
Kata dia, DPR akan membuat masalah ini menjadi “terang benderang sebagaimana kasus Sambo”.
Ada kemungkinan pihak kejaksaan agung dan kepolisian diminta keterangan dalam rapat kerja komisi hukum DPR. Tapi jadwalnya masih belum jelas. “Kita masih bahas dan bicarakan di rapim (rapat pimpinan),” jelas Khairul.
Sumber: BBC
Editor: Agung