Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi
SESUNGGUHNYA kita hampir kehabisan kata-kata untuk menggambarkan kebengisan penjajah Zionis Israel kepada bangsa Palestina, tidak saja di Gaza yang mengalami pembasmian dan penghancuran totalitas, genosida dan eliminasi etnis (ethnic cleansing). Tapi juga mereka yang di daerah pendudukan Israel lainnya, termasuk Ramallah dan Jenin, mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah zionis yang zholim.
Mata dan telinga tidak bisa dibutakan dengan realita yang ada. Apalagi jika akal sehat dan hati nurani masih hidup. Bahwa apa yang dilakukan oleh penjajah zionis di Palestina telah melampaui semua batas-batas yang dikenal oleh kemanusiaan kita. Apalagi jika hal itu kita bawa kepada pertimbangan agama, moral dan etika. Rasanya tak ada agama, ukuran moral dan etika apapun yang bisa memahami apalagi menerima kekejaman zionis itu.
Hampir-hampir saja keseluruhan masyarakat dunia ikut merasakan kekejaman itu. Mereka pun bangkit menyuarakan rasa simpati bahkan empati mereka kepada bangsa Palestina. Mereka menyuarakan dukungan kepada bangsa Palestina, bahkan bangkit dengan gerakan resistensi yang tegas kepada tindakan yang sangat tidak manusiawi dari penjajah zionis. Para aktifis dan tokoh pergerakan kemanusiaan, tokoh-tokoh agama, pelajar/mahasiswa dan akademisi, bahkan banyak dari kalangan aktifis Yahudi (salah satunya JVP) yang ikut menyuarakan itu.
Suara-suara itu semakin lantang dan mulai terdengar jelas oleh sebagian politisi yang masih memiliki mata dan telinga yang hidup. Politisi yang memiliki akal sehat dan hati nurani. Politisi yang tersadarkan bahwa jabatan harusnya tidak membutakan “rasa kemanusiaan” (human sense) yang bisa dijadikan sebagai pertimbangan minimum dalam memilah (distinct) mana yang baik dan etis (ethical) dan mana yang buruk dan jahat (evil).
Di Amerika Serikat khususnya kebutaan (blindness) pemerintahannya (kecuali sebagian kecil) justeru semakin membuka mata masyarakat dan kaum muda dan intelektualnya. Di berbagai universitas terbaik dunia seperti Harvard, MIT, Yale, Columbia dan banyak lagi mereka bangkit melakukan perlawanan kepada kejahatan, kekejaman dan genosida yang dilakukan oleh penjajah zionis Israel di Palestina.
Di Kongress Amerika saat ini juga mulai mengalami perubahan yang tidak disangka-sangka. Saya masih ingat dua dekade silam, menyebut Israel sebagai penjajah (colonial) dan penjahat (criminal) saja merupakan hal yang tabu dan dianggap kejahatan (crime). Kini di Kongress Amerika suara-suara resistensi itu semakin jelas terdengar. Dengan hadirnya politisi-politisi muda dan idealis seperti Ilhan Omar, Rashida Thalib, Jamal Bouman (Bronx, NY) dan lain-lain keritikan dan perlawanan kepada kesemena-menaan penjajah zionis Israel semakin terdengar jelas.
Pada tataran diplomasi tak dapat disangkal lagi bahwa Israel dan pelindung-pelindungnya (auliyaa-nya) mengalami babak belur yang memalukan. Di ruang-ruang sidang PBB, baik di New York hingga ke Geneva, kekalahan demi kekalahan itu nyata. Di arena pertarungan Mahkamah Internasional Israel juga babak belur dan memalukan. Terakhir dikeluarkannyan “arrest warrant” untuk Natanyahu merupakan tamparan yang nyata. Disejajarkannya Natanyahu dan pemimpin Hamas yang mereka label sebagai teroris sebenarnya sekaligus pernyataan bahwa dunia telah menetapkan Natanyahu sebagai teroris.
Pada tataran diplomasi global Zionis Israel hanya menggantung kepada Amerika dan hak vetonya. Amerika sendiri sesungguhnya mulai merasakan isolasi itu. Apalagi di hadapannya ada Rusia yang sedang terlibat langsung dengan kepentingan Amerika di Eropa Timur (Ukraine). Keterisolasian Amerika itu terlihat dengan keputusan ICJ menetapkan Natanyahu sebagai “war criminal” dengan arrest warrant. Semua negara-negara dunia menerima keputusan itu, termasuk Jerman dan Prancis. Hanya Amerika dan Inggris yang masih bertahan menolaknya.
Dari semua itu kita dapat menyimpulkan bahwa dengan segala getir pahit dan perihnya penderitaan Saudara-Saudara kita di Palestina kita yakin Allah tak akan menyia-nyiakan pengorbanan dalam keimanan itu. “Dan sesungguhnya Allah akan memberikan pertolonganNya kepada hamba-hambaNya yang beriman”. Pertolongan dengan wujud yang seringkali di luar batas nalar manusia (min haetsu laa yahtasib).
Yang ingin saya sampaikan kali ini juga adalah nasehat, atau tepatnya peringatan yang tulus, dari saya untuk komunitas Yahudi sedunia. Bahwa sesungguhnya apa yang dilakukan oleh penjajah zionis Israel di Palestina merupakan bagian dari “akumulasi kebencian dan kemarahan” yang terjadi dan bisa meledak di waktu-waktu mendatang. Kemarahan dan kebencian itu saja terjadi di kalangan bangsa Palestina, Arab dan Muslim. Tapi dunia secara menyeluruh. Tanda-tanda perubahan itu tidak lagi dapat dihalangi.
Karenanya komunitas Yahudi harus sadar sejarah dan perlu menengok sejarah mereka kembali. Bahwa Holocaust adalah peristiwa sejarah yang dapat terulang dengan wajah dan pembenaran (justifikasi) yang sama. Kejahatan pada tabiatnya hanya akan terbayar dengan kejahatan yang sama. Dunia berputar secara konstan dan tak akan berputar terbalik. Kejahatan yang dilakukan oleh sekolompok orang hari ini akan berbalik menjadi kejahatan terhadap dirinya di hari esok.
Karenanya nasehat saya kepada komunitas Yahudi, speak up (bersuaralah). Karena kekejaman penjajah Zionis adalah ancaman nyata bagi kalian di masa mendatang.
Ingat itu. So, wake up!
Manhattan City, 30 Mei 2024
Penulis adalah Direktur Jamaica Muslim Center New York Amerika Serikat. Naskah ini dikirim via japri oleh penulis ke J5NEWSROOM.COM, Kamis, 30 Mei 202