Oleh Akmal Nasery Basral
1/
Akhir pekan kemarin saya menjalani staycation di Mahakam24 Residence, Blok M, Jakarta Selatan. Ini budget hotel yang pernah mempunyai Pisa Gelato dan Café Pisa24, dua tempat makan favorit Gen X dan Gen Y, namun kini tinggal kenangan dalam arus deras perubahan sejarah kuliner warga Jakarta.
Jalan Mahakam 1 di depan hotel masih tetap ruas jalan sibuk pada siang hari dan lebih hiruk pikuk di malam hari, dengan limpahan para pemburu kuliner jalanan ( food street) yang mengincar eksotisme rasa gultik (gule tikungan), sate taichan, roti cane, telur gulung, es doger, dan aneka jajanan tradisional lainnya. Lokasi stasiun MRT Blok M yang canggih dan pusat komunitas kesenian di Wapres (Warung Apresiasi) menjadi magnet selanjutnya kawasan yang penuh vitalitas ini.
Akan tetapi saya datang dan bermalam di Mahakam bukan untuk bercengkerama dengan masa silam. Saya sebagai Gen X dan digital immigrant sedang berada di gerbang masa depan kecerdasan buatan ( artificial intelligent/AI). Pameran 188 lukisan Denny J.A dengan bantuan AI merupakan medium yang tepat untuk merasakan degup kehidupan baru terra incognita ini.
Bagaimana saya harus memaknai kreasi inovatif Denny JA–yang bukan seorang pelukis dalam pengertian konvensional–dan saya pun bukan pelukis atau kritikus seni rupa? Maka, datang dan melihat dalam sekali kunjungan seperti lazim dilakukan wartawan budaya untuk menulis reportase atau kritikus seni rupa dalam menuangkan telaah, bukan pendekatan yang tepat. Saya memilih cara pandang yang lebih menantang: sebagai tamu hotel yang tinggal 1×24 jam sehari semalam. Tak berbeda dengan mayoritas tamu yang menginap di Mahakam24 Residence.
Dengan demikian, tulisan ini lebih bercirikan diary atau jurnal personal ketimbang resensi mendalam atau ulasan kritikus.
2/
Usai check-in jam 14 pada Sabtu (8/6), saya makan siang mencicipi menu ayam ketumbar ( chicken coriander) sambal matah dan cold americano coffee. Eksperimen menu yang saya lakukan ini, untungnya, tak salah pilih dan mengecewakan ekspektasi. (Bagi yang hobi bertualang sensasi rasa, silakan coba sendiri di Nomu Lounge dengan harga setara kedai makan pinggir jalan!).
Sekitar jam 15 tur lukisan yang dipandu Tina, Manajer Mahakam24 Residence, dimulai. Berawal dari lantai 7—lantai tertinggi—yang memampangkan puluhan lukisan bertema “Imajinasi Anak-Anak”. Lukisan tersebar pada dinding-dinding selasar. Setelah itu kami turun ke lantai 6 yang mengusung tema “Derita Gaza, Palestina”, lantai 5 yang menampilkan “Revisiting Pelukis Dunia”, lantai 3 (karena tak ada lantai 4) yang mengibarkan topik “Meditasi” dan “Jakarta Tempo Dulu”, dan lantai 2 yang memamerkan “Pilpres 2024” dan “Covid-19”.
Di setiap lantai terdapat kanvas yang bertuliskan “Kutiupkan nafasku dan emosi ke dalam lukisan yang dibantu oleh Artificial Intelligence – Pameran 182 Lukisan Denny JA + AI”, foto setengah badan sang pemilik nama, empat contoh lukisan AI dalam ukuran kecil, serta informasi tema lukisan pada setiap lantai.
Beberapa lukisan sudah pernah saya lihat di Galeri Cemara saat acara Penghargaan Satupena Awards 2022 kepada penyair Eka Budianta (kategori fiksi) dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Musdah Mulia (kategori nonfiksi), pada Desember 2022. Satupena adalah perhimpunan penulis nasional yang berdiri pada 2017 dengan ketua umum pertama Nasir Tamara (2017-2021), dilanjutkan oleh Denny JA (2021-2026).
Namun koleksi lukisan AI yang ditampilkan di Mahakam24 Residence jauh lebih melimpah. Rentang waktu 1,5 tahun (Desember 2022 – Juni 2024) rupanya dimanfaatkan Denny JA dengan menggarap lukisan-lukisan baru yang lebih variatif dan eksploratif.
Malam harinya, saya kembali mendapatkan kesempatan tur visual. Kali ini dipandu Direktur Operasional Fadiel Muhdi Bahar, membuat saya lebih terhubung dengan lukisan-lukisan yang ditampilkan meski saya masih belum membuat catatan khusus selain membiarkan sepasang mata menikmati komposisi yang tersaji dan benak merekam kesan secara acak. Ada dua alasan mengapa saya melakukan itu.
Pertama, dalam konteks sebagai tamu hotel, saya perlu ‘ me time’, waktu mandiri, untuk berinteraksi lebih dekat dengan seluruh lukisan. Memperhatikan lebih seksama semua gurat, torehan, sapuan, dan elemen visual yang terhampar di atas kanvas, sembari menyelami sedalam mungkin setiap pesan komunikasi visual yang disampaikan.
Kedua, saya masih ingin sebuah eksperimen yang lebih luas. Maka usai bertemu Fadiel, saya keluar hotel untuk mencicipi gultik, telur gulung, dan es doger, di keramaian pecinta kuliner Jalan Mahakam dalam dekapan sepoi angin malam. Saya mengundang empat orang Gen Z yang aktif dalam dunia seni kreatif.
Mereka adalah Lolaa Adiya (pendiri-pemilik PH Creative Eunoia, sutradara film pendek), Mir Dupin/Gatya Ranu (Mir Dupin nama panggung sebagai musisi indie yang memproduksi single “Waterfallian” di Spotify, sedangkan Gatya Ranu nama asli dan identitas sebagai TikToker), Adithya Pram (mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta), dan Aurora Zaslin (asisten sutradara Hanung Bramantyo untuk film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa yang sedang tayang di bioskop). Keempatnya berusia 22-23 tahun, generasi digital native (born-digital) yang piawai berselancar dalam dunia virtual.
Mereka saya ajak melihat lukisan AI karya Denny JA, dan langsung merespon dengan kreasi masing-masing seperti membuat komposisi IG Story, IG Reel, dan TikTok, secara kreatif. Sepengetahuan mereka, belum pernah ada orang membuat pameran lukisan dengan bantuan AI seperti karya Denny JA, apalagi dengan jumlah hampir dua ratus kanvas berukuran besar. Ini saja sudah menjadi terobosan kreatif dalam dinamika kegiatan kesenian kontemporer.
4/
Minggu pagi (9/6) setelah menyantap pisang goreng hangat dan mocktail leci segar sebagai sarapan di Nomu Lounge, saya kembali bercengkerama dengan kumpulan lukisan. Kali ini seorang diri.
Entah berapa orang tamu yang lalu-lalang atau karyawan housekeeping yang memerhatikan saya di setiap lantai, sedang berkhidmat di depan lukisan demi lukisan, dengan antusiasme layaknya Charlie yang penuh semangat ketika mengunjungi pabrik cokelat karya Roald Dahl.
Ke-188 lukisan yang terpampang, saya kelompokkan ke dalam dua tipe yakni dipantik oleh pergulatan internal dunia batin Denny JA, dan sebagai responnya atas peristiwa-peristiwa eksternal yang terjadi di luar diri.
Tipe lukisan pertama contohnya tema “Lailatul Qadar” yang terdiri dari belasan lukisan dalam berbagai ukuran kanvas dan bauran visual. Komposisi lukisan bersifat tipikal dengan separuh bagian atas menggambarkan kondisi langit malam dalam format aneka bentuk garis, kurva, dan warna, sedangkan separuh bagian bawah menampilkan manusia dalam berbagai jumlah dan posisi. Kadang seorang, kadang banyak. Kadang lelaki, kadang perempuan. Semua dalam posisi berdoa. Khusyuk.
Lailatul Qadar—malam pengaturan/penetapan, sering juga diterjemahkan bebas sebagai malam kemuliaan—adalah konsep tentang adanya sebuah malam suci pada bulan puasa Ramadan yang dinantikan kedatangannya oleh umat Islam. Malam kemuliaan ini bernilai lebih baik dari seribu bulan (QS 97: 3).
Dengan membuat serial lukisan bertema ini, Denny JA bukan saja sedang meletakkan meletakkan hati dan kerinduan spiritualnya ke atas kanvas, juga seakan hendak melengkapi Teori Kebutuhan Dasar ( Hierarchy of Needs) dari Abraham Maslow. Bahwa manusia tak cukup hanya ditopang dengan kebutuhan fisiologis ( physiological needs), kebutuhan keamanan ( safety needs), kebutuhan sosial ( social needs), kebutuhan ego ( egoistic needs) dan kebutuhan aktualisasi diri ( self-actualization needs). Manusia juga perlu kebutuhan keyakinan ( spiritual needs) secara mutlak, terlepas dari tingkat aktualisasi diri yang sudah diraihnya.
Termasuk dalam kelompok ini adalah lukisan-lukisan yang menginspirasi Denny JA bersumber perkataan guru sufi Jalaluddin Rumi berjudul “The Light Enters You Through The Wound” dan “Sit, Be Still and Listen”.
Sebuah lukisan lain membuat saya terpaku agak lama. Seorang lelaki berada di atas kuda putih dalam pelukan remang hutan di bawah langit malam diterangi cahaya beberapa–ya, bukan satu—rembulan. Judul “Which Light Should I Follow?” yang tertoreh pada kanvas membuat saya menduga bahwa kalimat itu merupakan pantulan pertanyaan batin Denny JA sebagai kreator lukisan. Namun, wajah sang penunggang kuda yang tak terlihat tersebab posisinya yang membelakangi, membuat pertanyaan simbolis-eksistensialis pada judul itu tak lagi bersifat personal karena bisa menimbulkan resonansi di kepala siapa saja yang melihatnya. Mereka yang sedang menjadi para pencari cahaya.
Lukisan yang bersifat internal (diproduksi dalam olah jiwa dan pikiran Denny JA) namun tidak bersifat sakral-relijius adalah tema “Child’s Imagination”.
Pada bagian ini kita melihat anak-anak kecil dengan berbagai kondisi surealis, bahkan absurd. Misalnya seorang gadis kecil berdampingan dengan gajah raksasa dengan kaki kurus panjang khas imajinasi Salvador Dali dalam The Elephants. Sang gadis cilik dan gajah aneh berada di sebuah ruas jalan kota besar dikurung gedung-gedung jangkung seperti di New York City (“Child Imagination #1”).
Lukisan yang menggambarkan pantai ramai pengunjung dengan seorang bocah lelaki melayang di atas mereka, bukan dengan papan seluncur namun berdiri di atas gawai raksasa, juga mengandalkan imajinasi yang kuat. (“Child’s Imagination #13).
Belasan lukisan lain menggambarkan anak-anak dalam beragam kemusykilan (mengendarai anjing raksasa yang mengalahkan kuda-kuda balap dalam sebuah pacuan; mengendarai lumba-lumba yang melayang di depan pantai sebuah waterfront kota supermodern; atau menyelam di dasar samudera bersama putri duyung di depan sebuah istana megah (milik Raja Neptunus?), menimbulkan imaji dan fantasi yang klop dengan bantuan AI sebagai generator kecerdasan buatan.
Namun senyum lebar saya melihat kegembiraan anak-anak itu langsung berganti dengan nafas tercekat dan mata berkabut begitu sampai di depan kumpulan lukisan bertema “Derita Gaza, Palestina”.
Seorang anak perempuan berwajah sedih menunduk di depan tank Merkava tentara Israel. Asap tebal membumbung di bagian kiri lukisan dan di reruntuhan gedung dan bangunan di bagian kanan (“New Year in Gaza #1”).
Sebuah lukisan menggambarkan seorang anak lelaki berlutut di antara puing-puing bangunan dengan latar belakang langit merah membara. Kaos lusuh yang dipakai menampilkan bendera Palestina. Bocah lelaki ini memiliki dua sayap putih lebat terkepak sebagai penanda bahwa dia sudah tiada (“Help Us in Gaza #1”). Lukisan ini juga digunakan sebagai sampul depan buku Perang Pecah (Lagi) di Gaza: Antologi Kemanusiaan Palestina SATUPENA yang diluncurkan Desember 2023 di Restoran Al Jazeerah, Jatinegara, berbarengan Penghargaan Satupena Awards 2023 yang diberikan kepada Putu Wijaya untuk kategori fiksi dan Prof. Komarudin Hidayat untuk kategori nonfiksi.
Melihat dua sisi kehidupan anak-anak yang manis, lucu, menyenangkan (“Children’s Imagination)” dan pahit, tragis, menyedihkan (“Derita Gaza, Palestina”) menimbulkan sensasi bitter sweet pada perasaan saya, dan mungkin juga pada para tamu hotel lainnya.
Lukisan-lukisan tipe kedua yang lebih merupakan respon estetika Denny JA terhadap rangkaian karya pelukis dan seniman dunia seperti Edvard Munch (“The Scream”), Fernando Botero (“Monalisa Age 12”), Pablo Picasso (“The Old Guitarist”), Edgar Degas (“The Blue Dancers”), Gustav Klimt (“Portrait of Adele Bloch-Bauer”), Vincent van Gogh (“Café Terrace at Night”), Frida Kahlo (“The Wounded Deer”), Rembrandt (“The Night Watch”), Leonardo da Vinci (“The Last Supper”), Claude Monet (“The Water Lily Pond”), Michelangelo (“Pieta”), Salvador Dali (“The Persistence of Memory”), Dede Eri Supria (“Di Sudut Kota”), Affandi (“Ibuku”), Raden Saleh (“Penangkapan Pangeran Diponegoro”), dan banyak lainnya, mengajak saya bolak-balik ke masa silam dan masa depan.
Interpretasi ulang Denny JA terhadap karya-karya para maestro dengan membubuhkan label “revisiting/revisited” itu sebuah langkah berani yang tak memadai ditakar dengan pakem-pakem konvensional atas nama sakralitas karya. Sebab, semua karya masyhur itu ditambahkan Denny JA dengan minimal satu elemen visual baru yang mengasosiasikan eksistensi dunia digital. Entah dalam bentuk cyborg (separuh manusia separuh mesin), hewan robotik, dan lainnya.
Ada karya bernuansa humoris seperti “Mao” (1973) ciptaan Andy Warhol, yang ditambahkan Denny JA dengan latar belakang Cina modern dan gedung-gedung pencakar langit hasil olahan AI, atau pada “The Night Watch” (1642) karya monumental Rembrandt. Jika pada karya aslinya terlihat sekumpulan lelaki anggota milisia penjaga kota dalam gaya tenebrisme (gaya lukisan yang menampilkan cahaya kontras dengan efek gelap yang mendominasi kanvas dan berfungsi sebagai latar belakang), maka dengan bantuan AI yang digunakan Denny JA ada tambahan seorang pemuda zaman now dan trendi memegang gawai dalam posisi selfie, memotret dirinya dan para milisia.
Pada lukisan “The Art of Painting” (1668) adikarya Johannes Vermeer, versi revisited Denny JA (dengan bantuan AI) menampilkan seorang perempuan yang sedang menjadi model lukisan seorang pelukis yang sedang bekerja. Tangan sang pelukis terlihat. Namun alih-alih memegang palet dan kuas, yang digunakannya adalah iPad dengan stylus warna merah mencolok. Menurut saya, inilah lukisan yang paling jitu menangkap spirit lukisan sebagai sebuah karya visual (dalam paradigma dunia lama) dengan sentuhan AI (sebagai produk dunia baru). Bahkan judul “The Art of Painting” yang diberikan Vermeer masih bisa diinjeksi semangat serupa menjadi “The Art of Painting (with AI)” oleh Denny JA, jika dia mau.
Selain para maestro seni lukis, para tokoh global yang muncul di kanvas adalah Bunda Theresa (“Attention to Loneliness”), Dalai Lama (“Listening to Loneliness”), Mahatma Gandhi (“Listening to Poverty”), Albert Einstein (“Listen to The Laws of Nature”), hingga Elon Musk (“Living In Mars”) dan Jeff Bezos (“Online Shopping”).
Dua tema lainnya dari pameran lukisan ini yaitu “Covid-19” dan “Pilpres 2024” yang memenuhi dinding dan selasar hotel di lantai 2, lebih bercorak news gallery dibandingkan sebuah ikhtiar kontemplatif dalam menyelami makna di balik peristiwa. Elemen inovasi dan kebaruan gagasan pada lukisan-lukisan dengan dua tema ini tak sekuat pada tema-tema lainnya dalam pengindraan saya.
5/
Seperti sudah saya tulis di depan bahwa saya bukan kritikus rupa, maka saya tidak berpretensi menulis kritik komprehensif. Saya hanya seorang tamu hotel dalam 1×24 jam. Entah turis backpacker mancanegara atau pebisnis UMKM dari luar kota yang sedang ada urusan di Blok M.
Tema lukisan yang paling saya nikmati adalah revisiting/revisited karya-karya pelukis dunia. Bagi peminat seni lukis serius, apalagi kritikus, boleh jadi sebaliknya. Lukisan-lukisan tema ini bisa terlihat sebagai pastiche (karya imitasi yang meminjam elemen karya-karya lain yang lebih sohor), bahkan sebagai kitsch yang dalam pandangan Theodor Adorno (1903 – 1969, sosiolog-filsuf Jerman motor Mazhab Frankfurt), adalah “fenomena industri budaya dimana seni diposisikan sebagai karya yang dibuat dan dikendalikan oleh kebutuhan pasar”. Penilaian seperti ini sangat mungkin muncul dari lukisan lainnya seperti “Café Terrace at Night” karya van Gogh namun dengan ‘improvisasi’ penambahan sosok baru, seorang perempuan berwajah Oriental sedang bekerja dengan laptop di seberang para pengunjung café.
Tema yang menarik lainnya bagi saya adalah serial meditasi, permenungan, dan cuplikan kata-kata sufistik. Ini sangat dibutuhkan sebagai tamu hotel yang biasanya bergegas dengan riuh kesibukan duniawi. Dengan melihat lukisan-lukisan tema ini yang digarap dengan memadukan kedalaman makna spiritual dan eksperimen visual AI akan cukup mampu memberikan efek keteduhan.
Yang paling kurang saya nikmati—dalam konteks sebagai tamu hotel—adalah tema “Covid-19” dan “Pilpres 2024”. Visualisasi korban Covid-19, bentuk virus, pemakaman, petugas dengan hazmat, proses vaksinasi, hemat saya bisa mendatangkan pengalaman kurang menyenangkan, sampai trauma, bagi tamu hotel yang kehilangan anggota keluarga tercinta pada masa pandemi yang belum lama berlalu. Bahkan bagi para penyintas pun, melihat kembali rangkaian lukisan pandemi saat mereka masuk dan keluar kamar, atau sekadar melintasi selasar, akan membuat kurang nyaman.
Pun dengan tema “Pilpres 2024”. Kendati Denny JA menampilkan secara proporsional sosok ketiga pasangan (Anies Baswedan-Cak Imin, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo-Mahfud MD) dan para pendukung utama mereka (Rhoma Irama, Ahmad Dhani, Slank) pada berbagai kanvas, namun estetika visual dan peran AI sebagai ‘asisten’ Denny JA dalam mengkreasi lukisan, tidak mencapai daya kejut optimal seperti pada tema ‘Revisiting’ atau ‘Meditasi’.
Penempatan beberapa lukisan juga berpotensi mengurangi kenikmatan seperti terganggu tiang bangunan. Atau lokasi penempatan yang kurang optimal seperti lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (Raden Saleh, 1857) yang dalam versi revisited Denny JA (2023) dipasang pada dinding kanan undakan menurun di lantai 5. Sementara persis di seberang tangga, pada posisi yang lebih strategis, terpampang lukisan Gustav Klimt “Portrait of Adele Bloch-Bauer” yang–saya yakin–sangat asing bagi mayoritas tamu hotel kecuali penikmat serius lukisan. Jika posisi lukisan Raden Saleh dan Gustav Klimt ini ditukar posisi, hasilnya akan lebih bagus lagi.
Di luar beberapa catatan kecil ini, pertanyaan saya tentang mengapa nuansa gloomy, kesendirian, kesepian, kesedihan, penderitaan, begitu mendominasi dan terasa kental pada 188 lukisan kreasi Denny JA, rupanya mendapat jawaban dari salah satu lukisan yang terpajang di lantai 3. Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan duduk di atas kasur, memandang keluar jendela. Tak ada orang lain di dalam kamar tidurnya kecuali sesosok cyborg di pojok kanan lukisan yang tak dilihat perempuan itu.
Judul lukisan? “Lonely Heart Can’t Be Healed By A.I”. Dahsyat, bukan?
Apakah ini sebuah nujum teknologi masa depan dari Denny JA? Waktu yang akan menjawabnya.
Untuk saat ini, mari nikmati saja sensasi lukisan yang tersaji sesuai wawasan dan ekspektasi masing-masing. Dan Anda–entah pecinta lukisan atau pecinta kuliner atau bahkan keduanya–bisa datang kapan saja ke Mahakam24 Residence setiap saat karena lukisan-lukisan itu akan dipasang permanen.
Termasuk Elon Musk dan Jeff Bezos yang sedang bersemayam di Mahakam.
Saat check-out jam 13 Ahad siang dari hotel, saya rasakan ini salah satu momen berkesan untuk staycation yang sehat dan bermanfaat.
Cibubur, 10 Januari 2024
Penulis adalah penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 dari Universitas Andalas untuk kategori Sastrawan/Budayawan Nasional dan Anugerah Penulis Nasional Satupena 2021 kategori fiksi.