J5NEWSROOM.COM, Batam – Ratusa buruh yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Batam menggelar aksi damai di Kantor Wali Kota, Jalan Engku Putri, Batam Center, Rabu (12/6/2024).
Aksi damai ini untuk menyuarakan penolakan terhadap Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Sebab, Tapera ini dinilai meresahkan masyarakat Indonesia, khusunya buruh dan pegawai.
Salah satu orator aksi damai itu menyoroti cara Wali Kota dalam menyambut masyarakatnya. Di mana, saat Wali Kota melakukan kunjungan ke tengah masyarakat selalu disambut dengan baik tanpa ada riak-riak penolakan.
Namun, ketika rakayat mendatanginya untuk menyuarakan aspirasi, mereka malah disambut kawat berduri milik aparat keamanan. “Dalam surat kami, tertulis aksi damai, kenapa kami disambut dengan kawat berduri dan pengamanan luar biasa? Dengan bahasa apalagi yang harus kami pakai selain kata damai?” ucap orator itu dengan rasa heran, yang disambut tepuk tangan oleh peserta aksi.
Menurutnya, Pemerintah Kota Batam sangat berlebihan dalam menyambut aksi damai para buruh. “Anda datang ke tempat kami, kami percaya Anda akan bersikap damai. Tetapi kenapa kedatangan kami, disambut seperti ingin membuat onar? Kami pencinta damai!” tegas orator itu.
Sementara itu, Ketua Consulat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KC-FSPMI) Yapet Ramon, menyampaikan perumahan untuk rakyat adalah kebutuhan bagi para buruh dan pekerja. Sama halnya kebutuhan makanan dan pakaian.
Bahkan UUD 1945, negara dengan jelas diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat. Tapera yang dibutuhkan buruh dan rakyat adalah kepastian untuk mendapatkan rumah yang layak melalui dana APBN dan APBD.
Ia menilai program Tapera yang dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh tidak tepat. Karena sangat membebani buruh dan pekerja, khususnya masyarakat.
“Setidaknya ada beberapa alasan kami menolak adanya Tapera ini. Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera,” tegasnya.
Secara akal sehat dan perhitungan matematis, lanjut Ramon, iuran Tapera sebesar 3 persen dengan rincian dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen, tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK.
Mengingat saat ini upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Apabila dipotong 3 persen per bulan maka iurannya adalah sekitar Rp 105 ribu bulan atau Rp 1.260.000 per tahun.
Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000. “Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan, apakah ada harga rumah yang seharga Rp 12,6 juta hingga Rp 25,2 juta? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah,” terangnya.
Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. “Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” tegasnya.
Kedua, mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini? Ia menilai dalam lima tahun terakhir ini upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30 persen. Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turu dan tahun ini naik upahnya murah sekali.
Bila dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat. Apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
Ketiga, dalam UUD 1945 tanggungjawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat yg murah, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah.
Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. Menurutnya hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Bukan malah buruh disuruh bayar 2,5% dan pengusaha membayar 0,5%.
“Tapera membebani buruh dan rakyat. Program Tapera tidak tepat dijalankan sekarang sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan,” pungkas Yapet Ramon.
Pada aksi demai kali ini, para buruh juga menyinggung terkait rencana pemerintah untuk menaikkan Tarif Dasar listrik (TDL) dan rencana kenaikan BBM.
Editor: Agung